Pidato Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN #HKMAN2014
18 Maret 2014 Berita Abdon Nababan[caption id="attachment_3342" align="aligncenter" width="300"] Sumber gambar; http://suaraagraria.com/detail-1424-abdon-nababan-jumlah-petani-susut-504-juta-itu-karena-izinizin-untuk-korporasi.html#.Uyf_l862_Mw[/caption]
Pidato Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN) menyambut Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara 2014 dan 15 Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Jakarta, 17 Maret 2014
Masyarakat Adat Bangkit Bersatu untuk Berdaulat! Bangkit Bersatu untuk Mandiri! Bangkit Bersatu untuk Bermartabat! Salam Nusantara Sebelumnya, ijinkan saya mengucapkan salam hormat kepada para leluhur Masyarakat Adat nusantara dan Sang Pencipta Alam Semesta Tuhan Yang Maha Kuasa . Bapak dan Ibu yang saya muliakan, Sahabat yang telah setia berjalan bersama masyarakat adat yang saya hormati, Saudara-Saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang berbahagia, Saya menyapa Anda sekalian dalam perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara 2014 dan Peringatan Ulang Tahun AMAN yang ke-15. Hari ini, 17 Maret. 15 tahun lalu utusan Masyarakat Adat dari seluruh pelosok Nusantara berkumpul di Hotel Indonesia Jakarta, menyelenggarakan Kongres yang pertama dan mendeklarasikan Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan bersepakat membentuk AMAN sebagai wadah perjuangan bersama untuk diakui dan dilindung hak-haknya dan dihormati keberadaannya sebagai Masyarakat Adat. Bangkit bersatu merebut kembali kedaulatannya sebagai bagian dari rakyat Indonesia, sebagai warga negara yang setara dengan warga negara yang lain, yang menyandang hak-hak konstitusional sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di dalam UUD 1945. 15 tahun kita sudah bangkit bersama, setiap tahun kita merayakannya. Tahun ini pun kita merayakannya dengan hikmat, di kampung-kampung adat, di rumah-rumah adat, di lahan-lahan adat kita, di Rumah-Rumah AMAN yang tersebar di seluruh pelosok. Semua Masyarakat Adat Nusantara, termasuk kita yang hadir di sini merayakan hari besar ini bersama-sama dengan penuh suka cita, penuh rasa syukur atas perjalanan gerakan ini selama setahun dan dengan penuh harapan kita menyerahkan langkah kita kepada Sang Pencipta Alam Semesta Tuhan Yang Maha Kuasa dan bermohon restu dari para leluhur agar kehidupan kita setiap tahun terus membaik, sampai suatu saatnya nanti Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia yang besar ini bisa kembali Berdaulat, Mandiri dan Bermartabat di Tanah-Airnya sendiri. Saudara-Saudariku yang berbahagia, para hadirin yang saya muliakan, Hari ini kita bersyukur kepada Sang Pencipta, berterimakasih kepada Leluhur. Satu buah dari perjuangan kita selama 14 tahun, kita dapatkan di tahun 2013 yang lalu. Permohonan uji materi UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh AMAN bersama Kasepuhan Cisitu dan Kekhalifahan Kuntu ke Mahkamah Konstitusi dikabulkan oleh Majelis Hakim Konstitusi melalui Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang dibacakan pada tanggal 16 Mei 2013. Putusannya sangat sederhana saja: “Hutan Adat bukan Hutan Negara, tetapi Hutan Hak Masyarakat Adat!” Tetapi kalau putusan ini kita, Masyarakat Adat, bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakannya dengan baik dan benar maka 40 sampai 70 juta hektar wilayah dan tanah-tanah adat bisa kembali kepada yang empunya, kembali ke pemangku haknya, yaitu rakyat Indonesia yang dengan penuh perjuangan sulit tetap merawat dan mempertahankan jati dirinya sebagai masyarakat adat. Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya mewakili AMAN, Kasepuhan Cisitu dan Kekhalifahan Kuntu, juga saya yakin bisa mewakili masyarakat adat yang selama ini bermasalah dengan hutan negara, mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada Majelis Hakim Konstitusi yang menguji permohonan kami, secara khusus kepada Mantan Ketua MK Prof. Mahfud MD dan Mantan Wakil Ketua MK Prof. Achmad Sodiki yang kami tahu dengan sungguh-sungguh bekerja dengan sepenuh hati dan mengerahkan pikirannya yang terbaik untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat adat di Indonesia. Dalam kaitan MK 35 ini, kami mengapresasi dan sungguh berbahagia mendengar respon Presiden RI yang disampaikan lewat Pidato Pembukaan pada Workshop Tropical Forest Alliance 2020 di Hotel Shangri-la Jakarta pada hari Kamis pagi, 27 Juni 2013, 8 bulan lalu di hadapan para peserta yang datang dari seluruh dunia. Beliau menyatakan: “... baru-baru ini Mahkamah Konstitusi Indonesia telah memutuskan bahwa hutan adat bukanlah bagian dari zona hutan negara. Keputusan ini menandai sebuah langkah penting menuju pengakuan penuh hak-hak atas tanah dan sumber daya yang dimiliki oleh komunitas adat dan komunitas-komunitas yang bergantung pada hutan. Ini juga akan membantu perubahan Indonesia menuju pertumbuhan berkelanjutan dengan keadilan di sektor hutan dan rawa.” Yang membuat kami lebih bangga lagi adalah janji dan komitmen personal beliau untuk menindak-lanjutinya dengan menegaskan, “Saya secara pribadi berkomitmen untuk memulai sebuah proses pendaftaran dan pengakuan kepemilikan kolektif atas wilayah-wilayah adat di Indonesia. Ini adalah langkah pertama yang penting dalam proses implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.” Presiden SBY masih punya waktu 6 bulan ke depan untuk memenuhi janji dan komitmennya kepada masyarakat dunia internasional dan terutama bagi masyarakat adat di Indonesia. Kita sudah menyiapkan dan menyampaikan draft INPRES tentang Wilayah Adat melalui UKP4 dan BAPPENAS untuk memudahkan Presiden memenuhi janji dan komitmen ini. Kita berdoa dan terus-menerus mengingatkan beliau agar janji ini dipenuhi sebelum masa kepresidenan berakhir. Bapak-Ibu, saudara-saudari Masyarakat Adat se-Nusantara, Kita juga bersyukur bahwa pada tahun 2013 yang lalu DPR RI secara resmi, melalui rapat pleno, telah menggunakan hak inisiatifnya untuk mengusulkan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) yang isinya mengambil sebagian besar dari draft RUU yang kita serahkan ke Badan Legislasi (BALEG) DPR RI di akhir 2011. Sayangnya, salah satu bagian sangat penting dari usulan AMAN agar RUU ini memuat pembentukan kelembagaan khusus berupa Komisi Daerah dan Komisi Nasional Urusan Masyarakat Adat tidak terakomodasikan dalam RUU inisiatif ini. Sebagai RUU yang masih akan dibahas lebih lanjut, masyarakat adat sudah sepantasnya memberikan terimakasih kepada Pimpinan BALEG DPR RI, Ketua Poksi FPDIP sebagai pengusul dan PANJA BALEG yang sudah bekerja keras menyelesaikan draft RUU inisiatif ini. Kita berdoa dan terus berjuang mendesak PANSUS DPR RI yang sudah dibentuk dan sudah mulai bekerja dan juga Pihak Pemerintah yang sudah ditunjuk oleh Presiden RI, yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral agar RUU ini disempurnakan lagi dan segera disahkan menjadi UU sebelum Pemerintahan yang baru terbentuk. Mahkamah Konstitusi dalam kesimpulannya sebelum membuat amar putusan MK 35 menyatakan bahwa selama ini telah terjadi pengabaian negara terhadap hak-hak konstitusional masyarakat adat. Pengabaian itu berlangsung 68 tahun sejak UUD 1945 dan untuk hak ulayat (hak atas wilayah adat) terjadi 54 tahun sejak UU Pokok Agraria No. 5/1960. Pengesahan segera RUU Masyarakat Adat yang di dalamnya termasuk mandat pembentukan Komisi Nasional Urusan Masyarakat Adat merupakan tindakan koreksi terhadap kelalaian dan kesalahan penyelenggara negara di masa lalu sebagai landasan dimulainya rekonsiliasi sejati antara Masyarakat Adat dengan Negara Republik Indonesia. UU ini nantinya akan membuka jalam untuk memulihkan kewarganegaraan dan rasa kebangsaan masyarakat adat sebagai bagian dari Bangsa Indonesia yang sudah diproklamirkan kemerdekaannya oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Saudara-Saudariku Masyarakat Adat yang saya banggakan, MK 35 dan RUU PPHMA inisiatif DPR RI memberi semangat baru untuk perjuangan kita, memberikan harapan lebih besar. Mahkamah Konstitusi boleh memberikan putusan yang adil, Presiden boleh berjanji dan berkomitmen, Fraksi-Fraksi di DPR boleh mendukung perjuangan kita, tetapi yang sungguh-sungguh ada di hadapan kita dan bersentuhan langsung dengan kehidupan kita, dengan hak-hak kita, adalah Kementerian-Kementerian dan Lembaga-Lembaga Non-Kementerian di bawah Presiden. Dalam hal Putusan MK 35, kita berhadapan langsung kebijakan dan program-program dari Kementerian Kehutanan. Demikian juga dalam upaya kita mendesak percepatan pengesahan RUU PPHMA, Kementerian Kehutanan lah yang ditugaskan oleh Presiden mengkoordinor 3 Kementerian lainnya dalam pembahasan RUU ini dengan Pansus DPR RI. Terhitung 47 tahun sejak UU Pokok Kehutanan No. 5/1967 dilanjutkan dengan UU Kehutanan No. 41/1999 sampai hari ini masyarakat adat bukannya menjadi merdeka tapi malah semakin terjajah, terampas haknya atas wilayah adatnya, terkuras hutannya di wilayah adat dan dieksploitasi secara massif melalui izin-izin yang dikeluarkan Departemen/Kemeterian Kehutanan. Sebagian besar wilayah adat di seluruh Indonesia secara sepihak dimasukkan menjadi kawasan hutan yang dipahami sebagai hutan negara. Putusan MK 35 sudah menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan hak, bukan hutan negara. Tetapi dalam Surat Edaran Menhut No. 1/2003 dan Permenhut P.62, hutan adat yang dikeluarkan untuk melaksanakan Putusan MK 35, justru isinya berbeda dari amar putusan MK. Hutan adat belum juga ditempatkan sebagai hutan hak, hutan yang berada di wilayah adat yang tanah dan hutannya adalah milik masyarakat adat yang mewarisinya dari leluhur dan sudah menguasainya secara turun-temurun jauh sebelum NKRI berdiri. Lebih jauh lagi Permenhut P.62 ini telah mengeluarkan aturan dan mekanisme yang sedemikian sulit, rumit dan sangat mahal bagi masyarakat adat untuk mendapatkan kembali hak kolektifnya atas hutan di wilayah adatnya. Kami menangkap ada niat dan rencana yang sistematis agar masyarakat adat tidak mendapatkan pengakuan hukum yang pasti atas hutan adat sebagaimana sudah diputuskan oleh MK. 47 tahun perampasan wilayah adat sudah lebih dari cukup. Saatnya kita menyatakan TIDAK! TIDAK! untuk penjajahan, TIDAK! untuk perampasan hak, TIDAK! untuk eksploitasi hutan adat, TIDAK! untuk Kementerian Kehutanan yang masih terus mengkriminalisasi masyarakat adat atas alasan apa pun! Bapak-Ibu, Saudara-Saudariku Masyarakat Adat di seluruh pelosok Nusantara, Selama setahun ini kami masih terus menerima berita buruk kekerasan yang dialami oleh warga masyarakat adat oleh aparat Kehutanan bersama polisi dan bahkan di beberapa tempat ada yang melibatkan tentara. Adanya Putusan MK 35 tidak berdampak pada menurunnya konflik dan kekerasan, bahkan cenderung meningkat. Tindakan-tindakan represif ini terjadi di kawasan-kawasan hutan yang masih penunjukan, yang belum ditata-batas dan belum dikukuhkan lewat penetapan Menteri Kehutanan. Di samping tidak melaksanakan Putusan MK 35, Kementerian Kehutanan juga tidak mengindahkan Putusan MK 45. Situasi ini tidak bisa kita terima. Kementerian Kehutanan sudah tidak punya dasar moral dan politik untuk tetap ada. Kami mendesak agar Pemerintahan yang terpilih lewat PEMILU dan PILPRES nanti untuk membubarkan Kementerian Kehutanan. Pemerintahan baru harus membagi habis kewenangan dan tugas-tugasnya ke dalam kementerian yang sudah ada dan atau kementerian baru hasil re-organisasi kabinet di masa mendatang dan yang sangat penting agar urusan kehutanan ini didesentralisasi mengikuti otonomi daerah dan otonomi khusus yang sudah berlaku yang bisa mencegah terjadinya diskriminasi terhadap masyarakat adat dan komunitas-komunitas lokal lain yang juga menjadi korban kebijakan dan program Kementerian Kehutanan selama ini. Bapak-Ibu, Saudara-Saudariku Masyarakat Adat yang budiman, Tantangan perjuangan kita bukan hanya di Kementerian Kehutanan, tetapi juga di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kami pernah membangun kesepakatan kerjasama dengan BPN di tahun 2011 lalu untuk melaksanakan upaya bersama menyelesaikan berbagai sengketa tanah-tanah ulayat dan mengembangkan kebijakan pertanahan yang mengakui keberadaan hak ulayat dengan kembali merevitasilasi norma-norma hukum di UUPA 5/1960. Kesepakatan dan rencana kerjasama sama ini pun mati suri. Tidak ada kelanjutannya seteleh pergantian Kepala BPN. BPN yang seharusnya mengambil tanggung-jawab yang besar dalam melaksanakan Putusan MK 35 sama sekali tidak memberikan respon yang layak. Keberadaan BPN ini dalam kaitannya dengan hak ulayat/wilayah adat, juga wajib dikaji ulang dan direorganisasi secara mendasar sehingga bisa memberikan manfaat nyata bagi kepastian hak dan kesejahteraan bagi masyarakat adat. Di tengah tantangan yang demikian berat kalau berurusan dengan Kementerian Kehutanan dan BPN, masyarakat adat juga mendapat banyak berkah dengan dukungan yang terus membesar dan meluas di kalangan pemerintah terhadap situasi kita. UKP4, KLH, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Sosial, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, seperti tahun-tahun sebelumnya, terus menunjukkan keseriusan dan kerja keras untuk menjembatani dialog dan kerjasama antara masyarakat adat dengan Pemerintah. Kita mengucapkan terimakasih atas kerjasama selama setahun ini dengan mereka dan kita berharap ke depan dialog dan kerjasama yang sudah terjalin ini terus berkembang dan makin produktif lagi. Kita juga dengan senang hati menyambut prakarsa Komnas HAM yang telah menyediakan fasilitas bagi masyarakat adat dengan adanya Pelapor Khusus Komnas HAM untuk Masalah-Masalah Masyarakat Adat, bahkan saat ini Komnas HAM sedang memulai prakarsa National Inquiry untuk mengkaji dan mencari solusi bagi persoalan-persoalan yang muncul dari masuknya wilayah adat ke dalam kawasan hutan sejak diberlakukannya UUPK No. 5/1967 sampai UUK No. 41/1991. Kita akan mendukung prakarsa ini dan memberikan kontribusi terbaik sehingga proses ini menjadi suatu bentuk pengungkapan kebenaran untuk memberikan jalan bagi proses rekonsiliasi antara masyarakat adat dengan Pemerintah. Bapak, Ibu sekalian Saudara-saudariku Masyarakat Adat di seluruh nusantara, Dihadapan kita dalam waktu dekat adalah Pemilihan Umum yang merupakan pesta demokrasi yang terjadi hanya setiap lima tahun. Sekian lama kata "pembangunan" menjadi momok bagi kita masyarakat adat. Berbagai kebijakan negara telah mencerabut hak-hak masyarakat adat dan menyebabkan penderitaan yang tidak berkesudahan. Sebagian besar masalah konflik, pelanggaran Hak Asasi Manusia, pemiskinan dan diskriminasi muncul dari kebijakan Negara. Kita semua tahu bahwa ini terjadi karena masyarakat adat absen dalam proses politik formal dimana kebijakan pembangunan dibuat. Untuk itulah KMAN-IV di Tobelo-Maluku Utara telah memandatkan bahwa masyarakat adat harus berpolitik. Kita harus ikut menentukan kebijakan-kebijakan publik untuk memastikan bahwa kebijakan baru tidak menimbulkan penderitaan baru bagi Masyarakat adat dan seluruh bangsa Indonesia. Kalau tidak maka maka elit-elit yang sekarang merampas dan menindas akan terus berkuasa. KMAN-IV Tobelo mewajibkan kita untuk berpolitik tetapi tidak boleh tunduk pada satu partai politik tertentu. Untuk itu maka pada bulan Oktober 2013 yang lalu kita telah memilih 185 kader terpilih untuk bertarung di Pemilu 2014. Mereka kita pilih melalui musyawarah adat di kampung-kampung dan musyawarah organisasi di berbagai tingkatan. Caleg AMAN adalah mereka yang kita percaya. Mereka adalah figur pejuang yang bersih, jujur, sudah teruji dan memiliki rekam jejak dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Meskipun mereka berasal dari latar belakang partai politik yang berbeda, mereka telah berjanji untuk memperjuangkan keadilan agraria dan hak-hak masyarakat adat melalui jalur parlemen. Pemilu adalah merupakan kelanjutan perjuangan mereka selama ini bersama masyarakat adat. Bapak, Ibu, Saudara, Saudariku masyarakat adat Ijinkan saya untuk mengingatkan bahwa Pemilu 2014 tidak mudah. Kita semua paham bahwa Pemilu di Indonesia sarat dengan politik uang dan kecurangan. Sayangnya masih banyak diantara kita yang mengkonversi harapan politik dalam bentuk uang untuk berbagai alasan ekonomi. Untuk itu, ijinkan saya melalui kesempatan ini untuk menghimbau agar 2253 Komunitas Anggota, 20 Pengurus Wilayah, 93 Pengurus Daerah dan Peengurus Besar AMAN – tidak terseret dengan politik uang. Saya meminta Pengurus, Anggota dan Kader-kader AMAN tetap teguh memelihara harapan politiknya, mengelola harapan politik menjadi sebuah semangat perjuangan untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia yang adil, jujur dan bersih. Untuk itu yang harus kita lakukan adalah mengawal seluruh Caleg AMAN dan mengantarkan mereka sampai titik kemenangan. Bapak, Ibu, saudara-saudariku masyarakat adat, Mohon doa dan dukungannya bagi seluruh elemen gerakan masyarakat adat Nusantara, bagi para penggerak dan pembela hak adat yang terus berjuang, khususnya bagi pejuang yang saat ini terpaksa hidup terkurung di berbagai ruang tahanan dan penjara di seluruh pelosok Nusantara karena keberanian mereka mempertahankan hak-haknya sebagai masyarakat adat. Selamat kepada Masyarakat Adat di seluruh pelosok Nusantara yang sedang berbahagia merayakan hari besar kita di tahun 2014 ini. Dirgahayu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Teruslah bangkit untuk mewujudkan Masyarakat Adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Masyarakat Adat Bangkit Bersatu untuk Berdaulat! Bangkit Bersatu untuk Mandiri! Bangkit Bersatu untuk Bermartabat! Semoga Leluhur Masyarakat Adat, Alam Semesta dan Sang Pencipta Tuhan Yang Kuasa menolong kita semua Terimakasih. Salam AMAN! Jakarta, 17 Maret 2014