Lebih dari seribu anggota masyarakat adat Nanga Bulik, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah masih memblokir pintu masuk PT Gemareksa Mekarsari hingga Selasa (19/11) siang. Masyarakat memblokir pintu perusahaan sawit tersebut sejak Senin (18/11). Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Lamandau melaporkan, PT Gemareksa Mekarsari telah menyerobot wilayah masyarakat adat seluas 856 hektare dari luas izin kordinat HGU yang diberikan pada perusahaan sawit tersebut. “Oleh karenanya masyarakat adat Lamandau meminta wilayah yang telah digarap tersebut dikembalikan pada masyarakat adat atau komunitas pewarisnya,” kata Ketua PD AMAN Lamandau Yosep Maran. Aksi ini juga menuntut agar PT Gemareksa Mekarsai memenuhi kewajiban membangun kebun rakyat. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No.5/2011, perusahaan perkeunan yang memiliki izin usaha perkebunan (IUP) atau izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUP-B) wajib membangun kebun untuk masyarakat setidaknya seluas 20 persen dari total luas areal yang diusahakan. “Manajer perusahaan di lapangan sudah mengakui dan menyanggupi kebun rakyat itu, namun masih menunggu keputusan dari manajemen perusahaan di Jakarta,” tutur Yosep, Selasa (19/11). “Kami akan tetap menutup pintu perusahaan hingga hak kami dipenuhi,” tambahnya. Basis data daring milik The Land Matrix mencatat, investor sekunder PT Gemareksa Mekarsari adalah Felda Global Ventures Holdings Bhd. dan Lembaga Tabung Haji. Keduanya milik Malaysia dengan kontrak seluas 6.398 hektare. Pada Senin, PD AMAN Lamandau juga melakukan aksi orasi di depan Kantor Bupati Lamandau. “Kami meminta agar Bupati Lamandau segera melaporkan PT Gemareksa Mekarsari ke Kapolres Kabupaten Lamandau dan Kejaksaaan Negeri Kabupaten Lamandau,” tulis Yosep di surat Pernyataan Sikap Komunitas-Komunitas AMAN Lamandau yang ditembuskan ke Pengurus Besar AMAN Jakarta, bertanggal 18 November 2013. PD AMAN Lamandau juga menuntut agar bupati mencabut izin PT Gemareksa Mekarsari di Kelurahan Naga Bulik dan Desa Bunut seluas sekitar 3000 hektare karena tidak memiliki IUP, HGU, dan izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan.

Writer : Infokom AMAN | Jakarta