AMAN Selenggarakan Konsultasi Nasional II Mengenai Perubahan Iklim Terkait Reducing Emissions From Degradation and Deforestation (REDD+)
06 Desember 2013 Berita JLGKompleksitas Kebijakan Pemerintah Tentang Kehutanan dan Penerapan Strategi Nasional REDD+ Serta Implikasinya Terhadap Masyarakat Adat Jakarta 26 November 2013. Ketidak harmonisan perundang-undangan dapat terjadi, baik secara horizontal (antar sektor) maupun vertikal (antara pemerintah pusat maupun daerah). Untuk mengurai ketidak harmonisan tersebut serta untuk menggali masukan dari para ahli dan utusan pemerintah, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengadakan Konsultasi Nasional ke II pada tanggal 26 November 2013 di Hotel Grand Alia Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat. Sebagai pembicara dalam konsultasi nasional ini hadir William Sabandar (UKP4 / Tim Satgas REDD +), Mina Susana Setra (Deputi II PB AMAN), Andiko Sutan Mancayo (Huma) dengan moderator Rukka Sombolinggi’. Sekjen AMAN, Abdon Nababan dalam sambutannya menyampaikan bahwa Masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim ini. Kami mengidentifikasi bahwa sebagian besar kelompok masyarakat adat sangat rentan, khususnya masyarakat adat di pulau-pulau terpencil. AMAN ingin melihat ini secara terintegrasi, dimana posisi masyarakat adat bisa melakukan upaya terbaiknya melakukan mitigasi, mencegah yang terburuk dan kami mengagendakan hal itu. Mempersiapkan perubahan iklim, sebagai fenomena yang hadir di tengah masyarakat adat. Lebih jauh Abdon Nababan menyampaikan harapannya agar dalam konsultasi nasional ini ada peta jalan bagi masyarakat adat. “Saya melihat UKP4, lalu ada Stagas REDD yang akan habis masa tugasnya. Proses ini berat, kita ingin mendiskusikan bagaimana perkembangannya selama ini. Bagaimana kita merespons Keputusan MK no.35, lalu melaksanakan perubahan hukumnya ketika RUU masyarakat adat disahkan. Di DPR ada dua Rancangan Undang Undang yang akan mempengaruhi kebijakan pemerintah, ada RUU Desa dan RUU Pertanahan. Selain mendorong kebijakan pemerintah, masyarakat adat juga harus memperbaiki diri pada tingkat komunitas. Membersihkan lembaga adat, merevitalisasi kelembagaan adat serta mengkonsolidasikannya. Kita tahu di tengah masyarakat adat sedang terjadi kekacauan. Kami mengundang teman-teman dari DNPI, dari Kemenhut dan kementerian lain, agar pertemuan ini melahirkan keputusan dan rancangan kebijakan yang bisa dipertanggung jawabkan dan juga bisa diimplementasikan,’ujar Abdon Nababan dalam sambutannya . Pemerintah Harus Bermitra Dengan Masyarakat Adat Sebagai pembicara pertama William Sabandar mengatakan bahwa dia akan fokus pada bahasan REDD+ dengan tantangan dan peluangnya meski harus diakui, sebagai sesuatu yang sangat kompleks. Kita ingin merubah paradigma pembangunan, kalau kita lihat STRANAS REDD+, dimana ada lima pilar. Salah satunya adalah merubah paradigma, pemerintah tidak lagi di depan tetapi bersama-sama dengan masyarakat mendorong pembangunan. “Pada banyak kasus dapat kita temui bahwa pemerintah sendiri bermasalah dalam pembangunan. Maka belajar dari itu, pemerintah harus bermitra dengan masyarakat adat. Kenapa dengan masyarakat adat ?. Karena dari sana berasal implikasinya, masyarakat adat sebagai subjek dan saling mengisi. Proses yang melibatkan masyarakat adat sekarang sedang berjalan, memang kami akui belum optimal karena baru belajar. Ada keinginan hati dan batin kita, untuk melibatkan masyarakat adat dalam strategi nasional terkait REDD+. Apa yang mau kita lakukan hari ini ?. Dengan konsultasi publik yang luas mungkin belum sempurna. Tapi saya katakan ini bagaikan living document yang akan terus berlaku dan tolong pakai meski belum sempurna namun bisa terus untuk disempurnakan. Pembicara ke-dua Mina Susana Setra menyampaikan,” bahwa kita semua mengetahui iklim berubah, lalu apakah kelakuan kita sebagai manusia berubah?,” tanya Mina pada para hadirin mengawali paparannya. Seiring dengan berjalannya waktu peluang pengakuan terhadap masyarakat adat meningkat, maka munculah statement “No Right, No REDD. Kalau tidak ada perlindungan masyarakat adat, maka REDD tidak bisa dilaksanakan. Apa saja prasyarat dan persoalan yang dibutuhkan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim?. Dalam deklarasi Sinar Resmi menuntut prasyarat bahwa kearifan lokal terkait pengelolaan wilayah ini perlu didukung. Dari tahun 2009, AMAN sudah menyiapkan proses adaptasi perubahan iklim. Namun kita harus sepakat dulu untuk membuat profil didukung perencanaan partisipatif ini yang berhubungan dengan agenda perubahan iklim nasional dan internasional. Hal paling penting bagi masyarakat adat adalah penguatan komunitasnya. Sebenarnya ini respon dari berbagai perkembangan sebelumnya, misalnya deklarasi PBB untuk pengakuan masyarakat adat. Hal ini memicu perkembangan lebih jauh pada tingkat nasional. Lalu tahun 2006, presiden membuat pernyataan pada hari masyarakat adat nasional. Presiden mengakui bahwa selama ini telah salah memperlakukan masyarakat adat, sehingga perlu ada ranah hukum yang melindungi masyarakat adat. Kita berharap Pemerintah mendukung pemetaan yang dilakukan oleh AMAN, sehingga mempercepat poses pemetaan wilayah masyarakat adat secara partisipatif. Apakah bapak dan ibu pernah melihat ada informasi terkait REDD yang sederhana dan mudah dipahami ? maka kita perlu mengemas yang lebih sederhana. Yang terahir sebagai rekomendasi, kami mengharap kelambagaan REDD+, bukan hanya konsultan dan observer, tapi juga ikut sebagai pengambilan keputusan. Sementara itu Andiko Sutan Mancayo menyampaikan pendapatnya bahwa dalam situasi ini kita harus berpikir, perlu ada panduan, karena beberapa waktu lalu saya membaca aturan pelepasan wilayah hutan oleh Kemenhut karena keterlanjuran. Saya kira badan REDD akan menjadi kawan dalam diskursus ini. Lalu, dalam peta jalan, kita tidak bisa menaruh semua telur dalam keranjang yang sama, maka ada kerja Nota Kesepahaman Bersama (NKB). Saya punya kenyakinan, kita mulai mendorong konteks mitigasi dalam hutan adat, namun harus dimulai dari pengakuan, sehingga punya contoh. Beberapa pengalaman, misalnya restorasi hutan desa, dibentuk setelah fakta lapangan terjadi. Ketika badan REDD datang, PP 7 berubah menjadi PP 3, ini rilnya. Yang kita diskusikan, bukan normative, tetapi ril politiknya. Tidak ada jembatan yang siap untuk menjalin kerjasama antar instansi, saya menangkapnya hanya dengan pendekatan birokrasi. Seperti lempar bola, kalau tidak ada insitiaf di daerah, maka tidak ada perubahan di daerah. Saya kira badan REDD potensial, kita akan gunakan dan perbincangkan ini dengan cara menerobos bottle neck-nya dalam tataran kongkrit,”papar Andiko.*** JLG