Catatan Perjalan ke Kobe, Setelah Hutan Tak Lagi Bisa Dijamah
12 Maret 2014 Berita Munadi Kilkoda[caption id="attachment_3285" align="aligncenter" width="300"] Plang tanah adat yang dilakukan oleh Suku Sawai di dalam konsesi PT WBN. Sumber: https://twitter.com/MKilkoda1/status/342572804757131265[/caption] Pernah dimuat Harian Sore Sinar Harapan, 8-9 Maret 2014 Oleh: Munadi Kilkoda Ketua BPH AMAN Maluku Utara (Malut) Desa Kobe tidak diakui sebagai wilayah adat sehingga suku Sawai sulit mengakses hutan. Weda, Halmahera Tengah - Konflik tenurial mempengaruhi aktifitas masyarakat adat Kobe. Itu yang terungkap dalam diskusi dengan Dewan Adat, Pemerintah Desa dan Masyarakat Adat Kobe di balai desa. Sore menjelang malam, saat itu tanggal 9 Februari 2014, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Kobe salah satu desa yang ditempati oleh Suku Sawai, setelah beberapa hari berada di komunitas Pnu Messem. Perjalanan kali adalah dalam rangka melaksanakan tugas pelayanan organisasi pada anggota AMAN, sekaligus mensosialisasi Keputusan Mahkamah Konstitusi No 35 tentang hutan adat. Kobe adalah salah satu desa yang berdekatan dengan Taman Nasional Aketajawe. Jarak tempuh sekitar 1 jam 30 menit dari Ibukota Kabupaten Halmahera Tengah yang berkedudukan di Weda. Topografi wilayahnya didominasi pegunungan dan dikelilingi hutan yang masih prima. Desa ini berada di ketinggian 200 meter di atas permukaan air laut. Letaknya berkisar 4 kilometer dari bibir pantai. Perkampungan mereka belum dijangkau oleh PLN, sehingga setiap rumah hanya mengandalkan lampu loga – loga untuk kebutuhan penerangan pada malam hari. Hampir 99 persen masyarakatnya berprofesi sebagai petani yang bergantung pada hutan. Mereka membuka lahan untuk menanam kelapa, pala, sagu. Ada hutan sagu (sagu aha) yang merupakan milik komunal. Sagu tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan sehari – hari. Memang makanan pokok mereka adalah sagu dan ubi. Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Dewan Adat itu, terungkap satu demi satu masalah yang selama ini dihadapi oleh mereka, salah satunya adalah penetapan Taman Nasional yang tumpang tindih dengan hutan adat mereka. Berdasarkan SK Nomor : 397/Menhut – II/2004, Menteri Kehutanan menetapkan kawasan Taman Nasional Aketajawe dengan luas ± 77.100. Kawasan yang dikuasai Taman Nasional itu merupakan wilayah adat mereka bersama beberapa suku di sekitarnya. Menurut keterangan warga, penetapan batas taman nasional ini tidak melalui musyawarah dengan mereka lebih dulu. Mereka hanya mendapat sosialisasi ketika batasnya sudah selesai ditetapkan oleh pemerintah. Yang membuat warga tidak terima, karena batas Taman Nasional tersebut berada dalam areal perkebunan, bahkan sekitar 3 kilometer dari pemukiman penduduk. Mereka mengeluh karena sekian lama wilayah adatnya tidak diakui oleh pemerintah. Hutan adat yang sudah dikelola secara turun – temurun sejak dari leluhur mereka itu justru dianggap sebagai hutan negara. “Hutan ini bukan berian negara tapi kenapa dicaplok oleh taman nasional. Pemerintah harus tahu bahwa kami ini sudah hidup ratusan tahun tahun lalu bukan baru sekarang,”ungkap Hery Bane dengan nada kesal. Melky Sambirang, salah satu warga Kobe mengatakan,”pada tahun 2012 lalu, beliau bersama temannya pernah diusir oleh empat orang anggota Polisi Kehutanan (Polhut) karena menebang kayu di kebunnya yang masuk dalam taman nasional. Warga juga pernah menolak kehadiran TN ini karena membatasi akses mereka ke hutan. Pengusiran ini menunjukan yang berkuasa di hutan mereka adalah Taman Nasional, bukan masyarakat adat Kobe. Kondisi ini menurut dia sangat merugikan mereka yang sehari – hari memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi. Mereka tidak bisa hidup kalau tidak bisa mengakses hutan. Salah satu masalah yang terjadi juga dengan keberadaan Yayasan Sawai Ecotourism Foundation milik Mr. Rob, warga berdarah Belanda namun sudah berkebangsaan Indonesia. Yayasan tersebut menguasai tanah seluas ± 200 hektar di dalam wilayah adat. Tanah tersebut diperoleh dari masyarakat melalui transaksi jual beli. Namun memberikan dampak, karena masyarakat kemudian tidak bisa berbuat apa-apa di dalam kawasan yang sudah mereka jual. Sebatang pohon saja di tebang, pasti dipenjarakan oleh pemiliknya. Hutan adat Kobe memiliki memiliki keanekaragaman hayati yang langkah (endemic) seperti burung bidadari Halmahera. Ekosistem seperti terumbu karang juga masih sangat bagus, namun sudah dikomersilkan dan hasilnya tidak bisa dinikmati oleh masyarakat adat. Kontribusinya hanya kepada pemerintah bukan kepada masyarakat. Kepala Desa Kobe dalam pertemuan tersebut berharap bisa dilakukan pemetaan wilayah adat agar hak mereka bisa terlindungi. Beliau berharap pemerintah kabupaten Halmahera Tengah segera melaksakan keputusan MK-35 yang mengakui hutan adat mereka. Putusan MK – 35 tentang hutan adat menjadi urgen untuk diimplementasikan segera oleh pemerintah, jika tidak sama saja pemerintah ikut berkontribusi besar memiskinkan masyarakat adat Kobe dengan membatasi akses mereka terhadap hak dalam kawasan hutan. Masyarakat juga sewaktu – waktu bisa dikriminalisasikan kalau memanfaatkan hasil hutan dalam wilayah adatnya yang sudah berubah status. Apa yang diungkapkan oleh masyarakat adat Kobe adalah potret nyata penguasaan hutan oleh pihak lain yang justru memberikan dampak negatif terhadap keberlanjutan hidup mereka setiap saat. Karena itu tidak boleh dibiarkan model penguasaan hutan seperti ini terus berlanjut. Segera akui dan lindungi hak mereka agar Indonesia menjadi lebih baik Penulis : Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut