Petisi 35, Menggalang Dukungan Publik Untuk Memulihkan Hak-Hak Masyarakat Adat
06 Juni 2014 Berita Fadhel[caption id="attachment_3254" align="alignleft" width="316"] Penandatanganan Mendukung Petisi 35[/caption] Jumat 28 Februari 2014 - Tim penggalangan dukungan untuk Petisi 35 melakukan upaya menjaring dukungan publik melalui kegiatan kampanye bersamaan dengan digelarnya acara hari jadi Green Radio yang ke 6. Tim Petisi MK 35 yang terdiri dari staf PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) bersama relawan AMAN, memanfaatkan acara tersebut untuk sosialisasi dan upaya meraih dukungan publik. Dengan menandatangani Petisi 35, publik ikut membantu melepaskan belenggu “Negara” atas penguasaan Hutan Adat yang selama ini justru semakin mencerabut identitas dan hak-hak Masyarakat Adat Indonesia. Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan putusan yang memiliki kekuatan Hukum mengikat, keputusan tersebut dibacakan pada tanggal 16 Mei 2013 dengan no Putusan MK No 35/PUU-X/2013 yang menyatakan bahwa “Hutan Adat bukan Hutan Negara” namun hingga kini belum terlihat ada inisiatif pemerintah bersama Kemehut, untuk mengakui dan melaksanakan putusan tersebut. Respons pemerintah melalui Kementerian Kehutanan pasca dibacanya Putusan MK 35 justru menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.62/Menhut-II/2013, yang mengingkari status masyarakat adat sebagai subjek hukum dengan tidak memasukkannya ke dalam kategori pihak ke-tiga. Dengan diingkarinya status Masyarakat Adat sebagai subjek hukum, tujuh bulan pasca dibacakannya keputusan MK No.35/PUU-X/2013, terjadi pengusiran paksa yang dilakukan Perusahaan PT. Asiatik Persada karena mengingkari hak-hak Suku Anak Dalam (SAD) Bathin Sembilan yang juga merupakan subjek hukum, 147 KK (SAD) terusir dari tanah adat rumahnya secara paksa pada tanggal 7 – 12 Desemer 2013. P.62 mengabaikan Putusan MK No.45/PUU-IX/2011 yang merupakan koreksi aturan Pengukuhan Kawasan Hutan dalam UU Kehutanan. Putusan MK No. 35/PUU-X/2013 juga menyatakan hutan adat bukan lagi hutan negara. Dengan menggunakan dasar hukum P.62, pemerintah, melalui Kementerian Kehutanan, beranggapan bahwa semua tanah yang telah ditunjuk untuk dijadikan sebagai kawasan hutan adalah sah. Tiga bulan pasca dibacakannya Putusan MK No 35, DPR-RI mengesahkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) pada 9 Juli 2013 sebagai upaya Kemenhut tetap menguasi wilayah hutan adat. Akibatnya banyak warga masyarakat adat berhadapan dengan hukum, empat orang warga komunitas Adat Semende Banding Agung dipenjara dengan tuduhan melakukan kegiatan berkebun tanpa ijin dalam kawasan hutan, sebagaimana ketentuan pasal 92 ayat 1 huruf (a,b) UU No 18 th 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan. Empat orang warga yang masuk ke wilayah adat untuk mengakses sumber hidupnya malah berakhir di balik jeruji besi pada tanggal 23 desember 2013 hingga kini. Tidak ada lagi Hutan tempat Masyarakat adat melanjutkan hidup Sikap pemerintah mengingkari hak dan kedaulatan masyarakat adat untuk mengelola hutan adatnya sendiri, juga berakibat pada hilangnya identitas budaya asli Indonesia (komunitas adat yang tersebar di seluruh Nusantara), karena tidak ada hutan lagi sebagai tempat melanjutkan hidup.Hutan adat lestari, sah dimiliki Masyarakat adat namun kerap dicaplok perusahaan atas izin Kemenhut. Pengingkaran hak tersebut biasanya diperkuat oleh produk hukum yang digunakan untuk mengambil paksa hak seseorang maupun sekelompok orang (komunitas). Produk hukum yang berpihak kepada penguasa menyebabkan konflik berkepanjangan dan selama ini Masyarakat Adat dibungkam, karena dianggap bisa mengganggu kepentingan pemilik modal, sehingga berita yang ditampilkan sangat merugikan Masyarakat Adat. Hutan Indonesia memiliki 30.000 jenis spesies tumbuhan obat dari 40.000 jenis spesies tumbuhan obat di dunia dan 1000 jenis diantaranya telah dimanfaatkan sebagai ramuan pengobatan dan ritus budaya sebagai kearifan lokal komunitas adat di seluruh Nusantara. Pengalihan hutan adat menjadi konsesi menggunakan undang-undang yang mendukung perampasan hak tersebut. Seperti P.62/ Menhut-II/ 2013, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dan UU No. 41/1999 sebelum judicial review menyebabkan laju kerusakan hutan Indonesia yang mencapai 3,5 juta hektar pertahun. Besarnya angka kerusakan hutan Indonesia tersebut tidak mempengaruhi kebijakan pengambil keputusan. Pemerintah tidak perduli pada nasib Masyarakat Adat yang selama ini mampu melestarikan keragaman budaya Indonesia serta menjaga ekosistem dan aneka ragam hayati yang tersedia dalam hutan adat. Pengelolaan hutan secara berlebih menyebabkan 30 juta masyarakat adat hidup di bawah bayang-bayang kekerasan, ancaman preman, aparat TNI – Polri, hingga konflik harizontal antar masyarakat menjadi hal biasa. Perilaku pembiaran oleh presiden dengan tidak segera mengeluarkan Kepres tentang Masyarakat Adat dan DPR-RI menunda pengesahan payung hukum terhadap pemulihan hak-hak Masyarakat Adat (UUPPHMA) seolah semudah mendinginkan daging import di dalam peti es. Petisi 35 sebagai jalan penyelamatan hutan adat dan kebudayaan masyarakat adat Indonesia Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 3,5 juta hektar per-tahun, di dalamnya termasuk hutan adat, menyebabkannya punahnya berbagai spesies tumbuhan serta satwa asli Indonesia. AMAN sebagai subjek hukum dengan anggota 2253 komunitas adat yakin bahwa laju kerusakan hutan sebenarnya dapat diperkecil jika pemerintah mengembalikan pengelolaan hutan adat kembali kepada pewarisnya yang sah sesuai dengan semangat Putusan MK No 35. Masyarakat adat hidup dan melakukan pengelolaan hutan adat secara lestari, sebagai sumber kehidupan, obat-obatan dan ritus budaya. Masyarakat Adat tidak pernah menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak panjang. Memanfaatkan hasil hutan dengan pranata hukum adat berbasis kearifan lokal adalah upaya melestarikan hutan sejalan dengan sumber kehidupan, namun upaya ini justru diianggap pemerintah sebagai kegiatan melanggar hukum. Mengambil kayu dari wilayah hutan adat demi memenuhi kebutuhan hidup komunitas sehari-hari, berhadapan dengan ancaman pidana dengan tuduhan (illegal logging). Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, menjadi cahaya besar yang menuntun kehidupan 30-an juta jiwa masyarakat Adat kehilangan hak atas hutan adat. Undang-Undang Masyarakat Adat akan menjadi cahaya terang yang menuntun langkah 70 juta-an Masyarakat adat Indonesia menuju kehidupan yang lebih damai berkeadilan, sejahtera mengakhiri 69 tahun kemerdekaan yang tertunda dan menjadi warga negara Indonesia sepenuhnya. Penggalangan Petisi 35 oleh AMAN ini merupakan upaya mendesak pengakuan “Negara” terhadap warga negaranya, yaitu Masyarakat Adat. Petisi 35 disosialisasikan kepada publik untuk memberi dukungan dan ikut mendesak pemerintah, khususnya pada Presiden RI, Kemenhut untuk melaksanakan putusan MK No.35/PUU-X/2013 meminta DPR-RI segera mengesahkan UUPPHMA sehingga hak-hak Masyarakat Adat dapat terpenuhi dengan baik seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.****Fadhel