Berita

AMAN Bersama Masyarakat Adat Tagih Janji Nawacita

08 Maret 2016 Berita JLG

Kebijakan Pemerintah Terhadap Masyarakat Adat Belum Berubah

Jakarta 7/3/2016 – Menjelang peringatan 17 tahun berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tanggal 17/3/ 2016 mendatang, Pengurus Besar AMAN melalui Deputi II Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi secara resmi menyampaikan bahwa masyarakat adat akan menagih janji Presiden Jokowi karena di dalam konsep Nawacita ada poin-poin khusus tentang masyarakat adat. [caption id="attachment_1387" align="alignright" width="376"]Sesi Pemaparan Nara Sumber Kepada Para Pewarta

Sesi Pemaparan Nara Sumber Kepada Para Pewarta[/caption]

“Oleh karena itulah untuk pertama kalinya masyarakat adat memutuskan mendukung beliau dalam Pilpres lalu. Beberapa hal dalam Nawacita bersinggungan langsung dengan masyarakat adat antara lain adanya undang-undang tentang masyarakat adat, adanya lembaga permanen tentang masyarakat adat serta singkronisasi kebijakan,” ujar Rukka

“Belum banyak yang berubah, konflik perampasan tanah masih terus terjadi. Tahun lalu Komnas HAM menyelenggarakan Inkuiri Nasional untuk kasus-kasus yang dialami oleh masyarakat adat di dalam kawasan hutan, sebagai tindak lanjut dari Putusan MK No 35,” paparnya saat bertemu para wartawan di Oria Hotel Jln KH Hasyim Ashari (7/3/2016).

 

Refleksi Dari Ketidakjelasan Pengaturan Hukum Masyarakat Adat

Pada kesempatan ini Erasmus Cahyadi Tere, Dir Advokasi Hukum dan Kebijakan AMAN juga menyampaikan bahwa dalam satu bulan terakhir ini ada beberapa kasus menonjol terjadi, diantaranya masyarakat adat Talang Mamak menahan alat berat perusahaan swasta PT Runggu yang masuk ke wilayah mereka. Kemudian ada demonstrasi besar di Luwu Utara, dimana masyarakat adat Seko memprotes kehadiran investasi yang ada di wilayah adat mereka.

“Kasus-kasus tersebut merupakan refleksi dari ketiadaan dan ketidakjelasan pengaturan hukum. Hukum kita masih belum begitu jelas mengatur masyarakat adat dan haknya atas wilayah adat dan sumber daya alam,” jabar Erasmus. Lanjut Erasmus, sudah lama ada diskursus tentang pengakuan masyarakat adat. Mulai dari undang-undang dan ada Putusan MK 35 tahun 2012. Inisiatif rancangan undang-undang tentang masyarakat adat, inisiatif Satgas Masyarakat Adat.

Kami melihat persoalannya adalah pemerintah tidak serius dalam mengaktualisasikan hal ini untuk mencapai komitmen yang sudah dikeluarkan pemerintah terhadap masyarakat adat. Komitmen keluar tapi tidak ada langkah kongkrit untuk mencapai atau mengerjakan hal-hal penting agar komitmen itu bisa dilaksanakan,” tegas Erasmus, sambil mengingatkan bahwa pada 2 Januari 2015 silam, AMAN sudah menyerahkan draf Keputusan Presiden Tentang Satgas Masyarakat Adat ke kantor Seskab.

“Tapi jauh sebelumnya, tahun 2010 kami sudah mendorong pemerintah untuk membuat satu undang-undang tentang masyarakat adat dan hak-haknya. Waktu itu secara resmi kami mengusulkan judul undang-undangnya adalah “Rancangan Undang-Undang Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat ” Prosesnya dimulai tahun 2010 dengan melakukan serangkaian konsultasi dengan pemerintah. LIPI juga pernah menyelenggarakan konsultasi bersama AMAN, saat itu dari pemerintah dan DPR juga hadir, ” Erasmus memaparkan.

“Secara formal undang-undang ini masuk Prolegnas 2013 dan dilajutkan tahun 2014. Kemudian di akhir 2014 mereka memilih untuk tidak mensahkan udang-undang ini. Juga tidak memasukannya untuk Prolegnas 2015. Kami berfikir bahwa pemerintah mungkin sedang melakukan konsolidasi birokrasi,” terang Erasmus lebih jauh. “Tetapi yang tidak bisa kami pahami bahwa hal itu berlanjut hingga tahun 2016, DPR dan pemerintah sama-sama diam tentang rancangan undang-undang yang sejak lama didorong oleh masyarakat ini, “ keluh Erasmus.

“AMAN sebetulnya ingin mendorong dua hal pokok dalam pengakuan masyarakat adat ini jangka panjang dan jangka pendek. Untuk jangka panjang, kami hubungkan sebagai usaha bersama untuk menghentikan konflik. Secara fundamental sebenarnya rancangan undang-undang tersebut kami maksudkan untuk mempertemukan antara masyarakat adat dengan negara di dalam ruang yang lebih memungkinkan untuk dialog. Yang kami dorong adalah menghadirkan negara di tengah masyarakat adat,” papar Dir Advokasi Hukum dan Kebijakan AMAN tersebut. Kami memahami bahwa persoalan masyarakat adat adalah persoalan multi stekholder dan telah berlangsung sejak lama. Karena itu kami juga mendorong agar presiden membentuk satuan tugas masyarakat adat. Sebagai langkah presiden pada masa transisi dimana undang-undang itu belum ada, sementara kasus menonjol di lapangan sangat banyak.

Satgas Masyarakat Adat diperlukan untuk merancang beberapa hal dalam jangka panjang. Intinya mensegerakan proses pembahasan Undang-Undang Masyarakat Adat. Ke dua karena Putusan MK menyampaikan bahwa memasukkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan bentuk pengabaian terhadap hak masyarakat adat, akibatnya banyak masyarakat adat jadi korban.

“Hampir tidak ada mekanisme hukum mendorong proses-proses pengampunan atau proses-proses dimana korban-korban akibat undang-undang kehutanan itu, haknya dipulihkan dan dikeluarkan dari tahanan. Karenanya kami melihat hanya presiden yang punya kewenangan politik untuk melakukan ini dan itu adalah salah satu tugas yang hendak diberikan kepada Satgas,” Eras menjabarkan.

Sementara itu Dahniar Adriani SH, M.ID Dir Eksekutif HUMA menyoroti berbagai kebijakan pemerintah yang tidak adil terhadap masyarakat adat, misalnya dalam Tap MPR No 9 thn 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Tumpang tindih perundang-undangan dan saling bertentangan tersebut terjadi karena sumber daya alam masyarakat adat besar.

Dahniar memberi contoh UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan, “walaupun undang-undang itu sudah habis dikupas melalui judicial review, tapi tetap masih berlaku, belum diganti sampai sekarang,” kata Dahniar. Lalu UU No 5 tentang konservasi, bagaimana hak masyarakat adat diabaikan di kawasan konservasi. “Di situ telah terjadi pengabaian hak konstitusi,” jelas Dahniar.

Menurut Dahniar perlu memanfaatkan peluang-peluang hukum, termasuk Perda dengan tetap mendorong RUU PPHMA dan memastikan koordinasi antar sektoral berjalan.

Pada sisi lain Arfan Faiz Muhlizi dari BPHN mengatakan kita sudah menyadari bahwa terhambatnya pengesahan terhadap Undang-Undang Masyarakat Adat akibat ego sektoral yang luar biasa.

Nantinya dalam RUU PPHMA perlu menghapus konten-konten atau koordinasi yang bertele-tele. Beberapa prinsip yang perlu dikuatkan misalnya terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, di situ harus sangat kuat ada prinsip berkesinambungan. Perlu meyakinkan bahwa pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat itu berkesinambungan, betul-betul memberikan dampak yang baik. Kerusakan lingkungan tidak akan terjadi, bisa dinikmati juga oleh generasi yang akan datang.

“Dalam naskah masyarakat adat itu juga perlu dikuatkan bahwa masyarakat adat merupakan penopang pilar dari NKRI, keberadaannya merupakan sesuatu yang sangat penting keberlanjutan NKRI,” papar Arfan.

Temuan Inkuri Nasional, Pengabaian Hak Perempuan Adat

Temuan Inkuiri yang disampaikan oleh Eko Cahyono SH Sayogjo Insititut sangat mengejutkan karena telah terjadi pengabaian terhadap hak-hak perempuan. Dari 40 kasus kajian etnografi konflik masyarakat adat di kawasan hutan se Indonesia perempuan adat menjadi korban paling rentan dan memprihatinkan. Dampaknya sangat dahsyat perempuan bukan hanya kehilangan akses terhadap wilayahnya tetapi juga karena perempuan adat mengemban peran ganda.

Seperti korban proyek MIFFe di Merauke ada banyak kekerasan terhadap perempuan Suku Malind. Mereka tidak punya akses terhadap air, karena hutan habis. Pelecehan seksual terjadi di jalan, beberapa mengalami kekerasan fisik.

Di Kalimantan hilangnya pohon pasak bumi akibat sawit masuk, berdasarkan kajian etnografi ternyata pohon pasak bisa menjadi herbal KB. “Hilangnya pohon pasak menyebabkan ibu-ibu banyak anak. Akibatnya kurang gizi. Banyak ibu dan anak meninggal akibat kurang gizi,” papar Eko Cahyono. “Ini contoh bagaimana dampak dari masuknya sawit dalam skala luas dan merusak ruang hidup masyarakat adat, berdampak serius pada kelompok perempuan,” Eko Cahyono menggaris bawahi.

Hal senada juga disampaikan oleh Sandra Moniaga Komisioner Komnas HAM. Implikasi terhadap hak tanah juga berdampak pada hak-hak lain. Banyak sekali masyarakat adat kehilangan atas pekerjaan, masyarakat adat dilanggar hak atas lingkungan hidupnya dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan. Banyak perempuan adat terpaksa harus keluar dari wilayahnya, sehingga perempuan adat kehilangan hak untuk mengasuh anak-anaknya. Anak-anak yang kehilangan hak atas pengasuhannya juga kehilangan resources pengetahuan.

“Banyak perempuan adat itu sebagai perpustakaan hidup di kampung, mereka yang tahu obat-obatan. Mereka tahu makanan yang ada di hutan, mereka tahu beberapa hal dalam upacara-upacara adat,” tambah Sandra Moniaga. ****JLG

Writer : JLG | Jakarta