Jakarta (9/10). www.aman.or.id - Bencana dan tsunami mendatangkan duka bagi Sulawesi Tengah. Setidaknya Palu, Donggala dan Sigi porak-poranda. Pemukiman, Jembatan Kuning atau Jembatan Ponulele yang merupakan ikon Kota Palu, dan bandara Mutiara SIS Al-Jufrie semuanya rusak parah.

Dampak paling mengerikan, 1539 (BNPB per 8/10/2018) orang menjadi korban akibat amukan air bah alias tsunami dan gempa 7,4 Skala Richter yang mengguncang Palu, Donggala dan sekitarnya pada 28 September lalu. Untuk kali kedua di abad ke-21, kita dihantam tsunami setelah sebelumnya pada 2004 meluluhlantakkan Aceh.

Kita berduka. Jarak pemulihan duka pun masih panjang. Karena itu, AMAN turut merasakan duka yang mendalam. AMAN langsung ambil bagian, bekerja tahap demi tahap. Kemanusiaan adalah sisi tertinggi di atas segalanya.

Oleh karena itu, AMAN langsung merespon dengan mengadakan layanan tanggap darurat. Pendirian posko, salah satunya menjadi reaksi untuk memastikan pelayanan terhadap komunitas, perlahan tapi pasti mulai berjalan.

Pengurus Daerah AMAN Pamona, di Kec. Lage, Kab. Poso salah satunya. AMAN Pamona langsung merespon cepat dengan mendirikan posko. Posko yang terletak di persimpangan jalan dari Tagolu menuju Morowali didirikan Ketua BPH AMAN Daerah Pamona, Wereani Taere sejak 3 Oktober.

Weni Trivena menjadi bendahara posko persinggahan tersebut.

Posko ini berdiri untuk melayani para pengungsi yang bergerak meninggalkan Palu menuju kampung halaman masing-masing. Selain para pengungsi, posko juga melayani para relawan yang sempat singgah sebelum melanjutkan perjalanan ke Palu, Donggala, Sigi dan sebagainya.

Menurut Weni, posko AMAN di Tagolu melayani para pengungsi yang singgah dengan menyediakan makanan. Para pengungsi, katanya, sangat membutuhkan bantuan logistik, utamanya sandang pangan. Pada umumnya para pengungsi yang singgah di posko ini sudah menahan lapar sejak berangkat dari Palu.

“Kami di sini membuka dapur umum. Ini untuk melayani mereka yang singgah dan biasanya sudah kelaparan, sementara mereka tidak memiliki apa-apa selain pakaian yang menempel di badan,” tutur Weni kepada saya lewat sambungan telepon (Selasa, 9/10).

Selain layanan dapur umum, relawan di posko juga memberikan beberapa pakaian kepada para pengungsi yang singgah. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa para pengungsi mayoritas sudah tidak memiliki perlengkapan apa pun, kecuali membawa diri dan pakaian yang menempel.

Cerita KTP

“Ada beberapa pengalaman yang memilukan dalam seminggu terakhir Posko AMAN di Tagolu berdiri dan melayani pengungsi,” tutur Weni.

Tiga hari yang lalu (6/10), seorang ibu yang tengah hamil delapan bulan menjadi salah satu di antara para pengungsi yang singgah. Kepada Weni, ibu hamil tersebut bercerita bahwa dia dibonceng suaminya mengendarai motor dari Palu ke Toili, Luwuk.

Si ibu hamil terpaksa meninggalkan Palu karena sudah sangat trauma ditambah kondisinya yang tengah berbadan dua. Ia bersama suami memutuskan tetap jalan, walaupun harus mengendarai sepeda motor untuk melintasi jarak 260 kilometer dari Palu ke Toili di Luwuk, setara dengan jarak antara Jakarta ke Tasikmalaya.

Kebutuhan si ibu tersebut sebagai ibu hamil jelas sangat berbeda dengan pengungsi lainnya. Selain meratapi rumah dan harta benda lainnya yang kini hancur akibat gempa dan tsunami, ia pun bertaruh untuk memastikan bayi di dalam kandungannya dapat melewati musibah yang belum lama menerjang.

Untuk kondisi inilah, ia sempat hendak ikut menumpang ke dalam mobil Pemerintah Kabupaten Luwuk. Ia berharap, pemda bisa memfasilitasi minimal perjalanan dan membuat sang jabang bayi aman sebelum waktu normalnya akan datang ke dunia, sebulan ke depan.

Namun bukan pertolongan yang dia dapat, pihak Pemda Luwuk masih mengedepankan pelayanan berbasis kartu identitas. “Untuk memperoleh bantuan, saya dimintai KTP,” kisahnya sebagaimana dituturkan Weni kepada saya.

Padahal, kata Weni, rumah mereka sudah amblas akibat bencana tsunami dan gempa. Mereka seharusnya memperoleh pertolongan dengan mengesampingkan perihal kartu identitas. Tampaknya persoalan KTP tidak hanya berlaku untuk situasi normal. Faktanya, si ibu hamil ini membuktikan lewat pengalaman pahitnya di tengah situasi sangat sulit.

Mendengar kisah tersebut, kami di posko Tagolu, berupaya untuk memberikan pelayanan yang memadai kepada mereka, tutur Weni. Selain memberi mereka makan, Weni dan tim relawan AMAN turut juga menyediakan beberapa pakaian serta kebutuhan untuk perempuan terlebih wanita hamil. Mereka cukup beristirahat dan mendapat beberapa logistik dasar. Pengungsi tersebut tetap dilayani hingga memutuskan melanjutkan perjalanan ke Desa Malili, kampung keluarganya yang masih bisa dijumpai.

Dua hari kemudian (8/10) pengungsi lain juga singgah di posko Tagolu. Weni mengatakan terdapat enam orang laki-laki yang menumpang truk TNI hendak menuju Desa Ampana. Kondisi mereka, sama seperti pengungsi lainnya, sangat kelaparan. Keenamnya mendapat pelayanan memadai dari posko persinggahan ini.

Ada juga pengungsi yang tadinya mengungsi di hulu Univeristas Tadulako, Palu. Ia, tutur Weni, sudah menahan lapar karena logistik belum dia dapat. Hingga hari sebelum mendapat tumpangan melewati posko Tagolu, ia memiliki sebungkus indomie. Indomie tersebut dia makan dua kali, separuh untuk siang dan sisanya siang keesokan harinya.

“Sesampainya di posko, ia sudah gemetaran menahan lapar,” kata Weni Trivena.

*

Sebagian besar para pengungsi menjauhi Palu karena mereka takut tinggal di sana. Orang-orang trauma akibat gempa disertai tsunami. Menurut penuturan bendahara bernama lengkap Weni Trivena Linda Toheke itu, para pengungsi ada yang kuliah dan ada yang bekerja. Mereka umumnya para perantau. “Mereka pulang karena ketakutan di Palu”.

Sementara itu perihal ketersediaan logistik, Weni mengaku, mereka belanja di Poso. Dukungan dari AMAN menjadi salah satu yang dimanfaatkan sepenuhnya. Lewat koordinasi Penanggung jawab umum Tanggap Darurat Sulteng, Annas Radin Syarif, Rainny Situmorang, Direktur Operasional Managemen PB AMAN mengirim sejumlah dukungan ke posko Tagolu.

Dalam hal logistik medis, Dinas Kesehatan Kabupaten Poso turut ambil andil menyumbang 10 kardus kebutuhan bayi di bawah lima tahun (balita).

Jakob Siringoringo

Writer : Jakob Siringoringo | Jakarta