Catatan Akhir Tahun AMAN 2018: Organisasi Tidak Menyatakan Dukungan ke Kandidat Capres/Cawapres Mana Pun
22 Desember 2018 Berita Yayan HidayatJakarta (22/12/2018), www.aman.or.id - Senjakala Pemerintahan Jokowi-JK. Tentu masih teringat di benak kita semua. Nawacita diperkenalkan oleh Jokowi saat pertama kali ia mencalonkan sebagai Presiden pada 2014 lalu. Ada enam janji di dalam Nawacita yang ditujukan kepada Masyarakat Adat. Secercah harapan bahwa negara akhirnya akan hadir seutuhnya di tengah Masyarakat Adat. Enam janji itu pula yang mendorong AMAN pertama kalinya menentukan sikap politiknya untuk mendukung Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia kala itu. Namun kini, menjelang akhir masa Pemerintahan Jokowi-JK, Nawacita masih di langit, bagai panggang jauh dari api.
Catatan Akhir Tahun 2018 AMAN (Jumat, 21/12) mengusung tema “Senjakala NAWACITA dan Masa Depan Masyarakat Adat” diselenggarakan untuk menilai realisasi komitmen Jokowi-JK selama lima tahun masa pemerintahan dan menilik masa depan Masyarakat Adat dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang kini telah kita tapaki.
Hadir sebagai pembicara di dalam Dialog Catahu AMAN 2018 yakni Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi, Teguh Surya Direktur Madani Berkelanjutan, Eva Sundari Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’aruf Amin, dan Dahnil Anzar Simanjuntak Koordinator Juru Bicara Prabowo-Sandi.
Dialog dimulai dengan penyampaian Catatan Akhir Tahun oleh Rukka Sombolinggi. “Situasi dalam beberapa tahun ini adalah situasi di mana Masyarakat Adat betul-betul tidak nyaman, realisasi komitmen Jokowi-JK jauh dari harapan. Padahal saya pribadi, sewaktu Pemilu 2014 lalu pertama kali menggunakan hak saya untuk memilih, dan itu karena Jokowi. Saya melepaskan “keperawanan" hak politik saya demi Jokowi,” kata Rukka seraya menambahkan “saya kira itu semangat saya dan Masyarakat Adat sewaktu itu.”
Yang paling utama dan menjadi harapan waktu itu, lanjut Rukka, bahwa akan ada UU Masyarakat Adat, lembaga permanen Masyarakat Adat di Pemerintahan, dan bahwa segala perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling menyandra akan teratasi di masa Pemerintahan Jokowi-JK. Tetapi, sekarang saya ingin menyampaikan bahwa itu berat.
“Indonesia bagi Masyarakat Adat saat ini belum utuh. Untuk itu RUU Masyarakat Adat harus ada sebagai instrumen dalam mengatasi sektoralisme kebijakan itu”.
Selaras dengan penyampaian Rukka Sombolinggi, saat ini pembahasan RUU Masyarakat Adat stagnan di Pemerintah. Padahal, Presiden Jokowi menegaskan UU Masyarakat Adat harus terwujud. Namun DIM dari Pemerintah sebagai syarat pembahasan bersama DPR RI tak kunjung tiba. Hal ini memperlihatkan tidak ada itikad baik dari Pemerintah untuk serius mengesahkan RUU ini. Masyarakat Adat kembali dikecewakan. “Untuk memberikan DIM saja Pemerintah tidak mampu, apalagi melayani Masyarakat Adat,” tegas Rukka.
Lebih lanjut, dari 6 (enam) agenda prioritas untuk Masyarakat Adat di dalam Nawacita minim realisasi. Dalam hal melindungi hak-hak Masyarakat Adat misalnya, komitmen tersebut justru kontradiktif dalam realisasinya. Konflik perampasan wilayah adat dan kriminalisasi masih marak terjadi. Sepanjang 2018 setidaknya AMAN mencatat sebanyak 262 warga Masyarakat Adat di kriminalisasi karena mempertahankan haknya dari gerusan perusahaan.
“Dalam beberapa tahun terakhir, pejuang-pejuang kita masih dipenjara, wilayah-wilayah adat masih dirampas. Di Laman Kinipan misalnya, bahkan kami mengemis-ngemis ke Pemerintah untuk mengatasi konflik perampasan wilayah adat,” lanjutnya.
Hal lain, Satgas Masyarakat Adat juga masih sangat jauh dari harapan. Berulang kali Pemerintah bilang, pengesahan Satgas tinggal menunggu paraf Jokowi. Namun hingga akhir masa pemerintahan Jokowi, Satgas tak kunjung direalisasikan. “Entah di meja Presiden yang mana dokumen pengesahan Satgas itu,” Rukka mempertanyakan.
Di akhir penyampaiannya, Sekjen AMAN menyatakan bahwa visi-misi Capres dan Cawapres sekarang pun, tidak menunjukkan wajah Masyarakat Adat yang kuat. Presiden Jokowi, terbukti gagal merealisasikan janjinya. Prabowo pun tidak memperlihatkan komitmennya untuk Masyarakat Adat di visi-misinya.
“Jadi, tidak ada alasan untuk Masyarakat Adat mendukung siapa pun dalam Pemilu 2019 ini. Kita ada, dan bahkan tetap ada. Perjuangan kita melampaui Pilpres, melampaui rezim yang berkuasa. Yang terpenting kita terus komitmen memperjuangkan kedaulatan Masyarakat Adat, ” tutup Rukka.
Analisis Visi-Misi Kandidat Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Teguh Surya Direktur Madani Berkelanjutan memulai analisis terhadap visi dan misi kandidat Capres dan Cawapres Pemilu 2019 di dalam forum Catahu AMAN. Teguh mengungkapkan bahwa Masyarakat Adat tidak mendapatkan tempat yang kokoh di dalam visi-misi kedua kandidat calon presiden dan wakil presiden.
“Kami khawatir terhadap agenda pembangunan nantinya jika Masyarakat Adat tidak secara kokoh masuk dalam visi-misi kedua kandidat capres dan cawapres ini, pembangunan seperti apa yang direncanakan nantinya?” ungkap Teguh.
Di dalam Visi-Misi Jokowi, isu lingkungan mendapatkan tempat sebanyak 21%. 1% di antaranya mengangkat isu perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat serta ketimpangan penguasaan lahan. Sementara, di pasangan Prabowo-Sandi, tidak menganggap isu Masyarakat Adat begitu penting. Hal itu terlihat di dalam visi-misinya yang sama sekali tidak memuat isu Masyarakat Adat. Namun, Teguh menemukan pada poin 3 komitmen Prabowo-Sandi untuk merevitalisasi usaha-usaha pelestarian lingkungan menggunakan kearifan lokal.
Namun, di pasangan Jokowi-Ma’aruf ada penurunan prioritas isu untuk Masyarakat Adat yang menurun sangat signifikan. “Dari 6 poin Nawacita, dipangkas menjadi dua isu saja. Pertanyaannya, apakah sisanya sudah tercapai atau ada alasan lain? Ini yang butuh penjelasan. Kami sebut ini dengan Blacked Concept,” sambung Teguh.
Penjelasan ini direspon Eva Kusuma Sundari, TKN Jokowi-Ma’aruf. Dirinya mengakui banyak komitmen Jokowi kepada Masyarakat Adat yang sulit terealisasi. Namun, Jokowi lebih intensif mengakomodasi, bahkan menggunakan simbol-simbol adat dalam blusukannya. Hal ini yang menurut Eva mempengaruhi kerja-kerja birokrasi.
Eva menambahkan, “Ada isu-isu lain yang membuat kita berantakan. Belum lagi ada isu tata kelola keuangan yang belum tertata dengan baik. Penataan untuk Masyarakat Adat tidak bisa dimaksimalkan, terbentur sektoralisme kebijakan di dalam pemerintahan”.
Hal berbeda diungkapkan Dahnil Simanjuntak Koordinator Juru Bicara Prabowo-Sandi. Dirinya menilai bahwa justru Prabowo-Sandi sudah memprioritaskan Masyarakat Adat di dalam visi-misinya. Menurutnya, frame besar Visi-misi Prabowo-Sandi adalah pembangunan berwawasan lingkungan yang mana manusia menjadi orientasi utama. “Jadi orientasinya bukan angka statistik. Orentasinya adalah keadaban, kami memperoleh keadaban itu dari kearifan lokal. Kearifan lokal pasti terkait dengan Masyarakat Adat,” katanya.
Sekjen AMAN menutup Catahu AMAN 2018 dengan pernyataan sikap politik organisasi.
“Sikap politik organisasi dalam Pilpres 2019 adalah tidak mendukung pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 01 dan Nomor urut 02 karena: (1) Jokowi belum memenuhi satu pun dari 6 (enam) komitmen kepada Masyarakat Adat yang telah dijanjikan dalam NAWACITA 2014-2019. Sementara dalam Visi-Misi Pasangan Jokowi-Ma’aruf komitmen tentang Masyarakat Adat semakin tidak jelas. (2) Pasangan Prabowo-Sandiaga Uno tidak memiliki komitmen dan agenda apa pun tentang Masyarakat Adat dalam visi-misi nya.”
Yayan Hidayat