Oleh Eka Hindrati

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), yang akan ditetapkan pada bulan Februari, berpotensi mengancam hak-hak masyarakat adat. Terdapat lima pasal bermasalah yang akan mengkriminalisasi Masyarakat Adat.Pengaturan Pasal 484 dan 488 yang mengatur soal perkawinan akan mempidanakan maksimal dua tahun kurungan penjara dan denda maksimal 50 juta, bagi setiap orang yang berhubungan seksual dan yang hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah.

Berdasarkan Undang-undang Perkawinan, perkawinan sah diselenggarakan sesuai hukum agama dan dicatatkan di KUA/Kantor Catatan Sipil. Pada kenyataannya, Masyarakat Adat dan penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia masih menyelenggarakan pernikahan secara adat. Berdasakan catatan advokasi AMAN, Masyarakat Adat masih mengalami penolakan dari kantor catatan sipil karena perkawinan tidak dilaksanakan menurut agama yang diakui di Indonesia. Padahal telah dikeluarkan keputusan MK no. 97 tahun 2016 soal pengakuan penghayat kepercayaan di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK), namun sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan instrumen hukum untuk mengawal praktik keputusan ini.

Selain itu, terdapat Pasal 325, 326 dan 327 soal gangguan terhadap benih dan tanaman. Pasal ini mengatur setiap orang yang berjalan, berkendaraan atau ternaknya berjalan di kebun atau tanah milik orang yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami, diancam pidana denda mencapai 10 juta. Pasal tersebut berpotensi digunakan oleh perusahaan pemegang hak guna usaha dan konsesi untuk mengkriminalisasikan Masyarakat Adat dan masyarakat lokal yang masuk secara diam-diam.

Dalam catatan advoksi AMAN, konflik atas hutan terjadi diberbagai wilayah di Indonesia, seperti kasus penggusuran Komunitas Masyarakat Adat di Semende, Bengkulu yang dituduh mendiami dan merambah hutan dalam kawasan taman nasional. Pemerintah yang seharusnya mengayomi Masyarakat Adat, malah menjadi pihak yang menindas. Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah kehidupannya justru dikriminalisasi oleh negara. Mereka dikalahkan oleh oleh sistem hukum yang tidak menghargai tradisi dan hukum adat dan harus mendekam di penjara Pemerintah lebih berpihak pada keuntungan pemilik modal.

Ekonomi dan dan hukum yang seharusnya menjadi sarana untuk mencapai keadilan bagi semua orang justru menjadi mesin yang memproduksi ketidakadilan. Padahal, Masyarakat Adat telah diakui dan dilindungi konstitusi Indonesia melalui UUD 45, Pasal 18 B (2) dan Pasal 28 I (3) dan ditegaskan kembali melalui keputusan MK tahun 2012 bahwa hutan adat bukan hutan negara. Lima pasal bermasalah menunjukan lemahnya komitmen negara Indonesia untuk menempatkan hukum adat sebagai alat dalam penyelesaian masalah di dalam kehidupan Masyarakat  Adat. Secara umum RKUHP juga mengancam kehidupan pribadi masyarakat sipil.

Hal ini tentunya akan menggoyahkan keberlanjutan demokrasi di Indonesia. Organisasi AMAN sebagai lembaga yang mengadvokasi hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia bersama Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat ikut menolak seluruh isi RKUHP dan meminta kepada pemerintah dan DPR RI segera merevisi seluruh pasal-pasal yang bermasalah tersebut.

***

Penulis Eka Hindrati adalah Direktur Infokom PB AMAN

Writer : Eka Hindrati | Jakarta
Tag : Masyarakat Adat RKUHP