Bicara Keberlanjutan NKRI, RUU Masyarakat Adat adalah Kunci!
27 Januari 2019 Berita Jakob SiringoringoJakarta, www.aman.or.id - Rancangan Undang Undang Masyarakat Adat berisi isu-isu kunci. Isu-isu kunci yang dicakup tersebut yaitu HAM, agraria dan lingkungan hidup. Isu-isu kunci ini sangat melekat dan menjadi siklus aktivitas sehari-hari Masyarakat Adat.
Rabu (23/1) siang selama tiga jam saya “memanjat” angkasa Jakarta. Saya berhenti di lantai 23 Grand Sahid Sudirman. Di sana saya bertemu teman-teman change.org, Yayasan Madani Berkelanjutan dan WikiDPR.org. Ketiga lembaga terakhir ini rupanya baru bersepakat menginisiasi #Vote4Forest yang bermaksud untuk memberikan informasi publik terkait rekam jejak anggota DPR pada isu lingkungan menjelang Pemilu 2019.
Hari itu, mereka mengadakan diskusi publik “Menakar Keberpihakan Wakil Rakyat terhadap Isu Lingkungan” dan topik diseri pertama ini: RUU Masyarakat Adat.
Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya menjadi salah satu narasumber di diskusi tersebut. Duduk di sampingnya pendiri WikiDPR.org Indah Putri. Agak terpisah duduknya, di sebelah kiri Indah Putri duduk sepasang penanggap. Pertama dapat ada Dr. Rina Mardiana, Ketua Pusat Studi Agraria IPB Bogor. Setelahnya baru Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekjen AMAN.
Teguh Surya selaku narasumber awal yang diberi kesempatan, menyampaikan materinya dengan menguraikan cerita awal mengenai isu sorotan mereka yaitu lingkungan hidup. Fokusnya, pengamatan perihal bencana.
Bencana sepanjang 2018, kata Surya, adalah yang paling mematikan dalam dekade terakhir. Gempa 7 magnitudo di NTB, gempa Sulteng 7,4 magnitudo sekaligus tsunami, tsunami di Pandeglang, Banten adalah beberapa contoh.
“Total 2.486 kejadian dengan jumlah korban meninggal dan hilang mencapai 4.231 orang,” rincian data yang disampaikan pria berkacamata asli Riau itu.
Data, katanya, menunjukkan bahwa yang termasuk korban bencana tersebut adalah komunitas adat. Di sisi lain, ia menekankan bahwa DPR RI tidak mengambil peran dalam mengatasi bencana.
*
Saya duduk di barisan terdepan di antara barisan-barisan bangku yang disusun. Di belakang saya duduk para undangan dari berbagai media, mulai dari media online yang agak jarang kedengaran namanya sampai media online yang sedang ngetop macam tirto.id hingga media mainstream macam KOMPAS.
Semua tampak menyimak pemaparan-pemaparan narasumber sampai penanggap, karena tanggapan para penanggap terasa semakin memperdalam substansi diskusi.
[caption id="attachment_43020" align="alignnone" width="1024"] Dr. rer. nat Rina Mardiana, SP, MSi, Ketua Pusat Studi Agraria IPB[/caption]Dr. Rina Mardiana misalnya mengulas substansi RUU Masyarakat Adat secara gamblang mengapa sangat mendesak untuk disahkan. Kemudian ia mengajak audiens untuk menakar yang berarti mengukur keberpihakan DPR RI terhadap RUU Masyarakat Adat periode 2014-2019.
Guru Besar IPB itu mengatakan, kalau RUU Masyarakat Adat memiliki substansi paling mendasar dan menjadi isu-isu kunci yang tidak ditemukan dalam UU atau RUU mana pun, di luar konstitusi. Isu-isu kunci tersebut adalah HAM, agraria, dan lingkungan hidup.
Karena diskusi berfokus mengenai isu lingkungan, maka RUU Masyarakat Adat lagi-lagi sangat relevan sebagai pendobrak jalan buntu penyelesaian. “RUU Masyarakat Adat sangat kental berbicara mengenai ekologi berkeadilan,” ujarnya dan menambahkan “yang paling menjaga lingkungan adalah Masyarakat Adat”.
*
Teguh Surya bangkit dari tempat duduknya. Ia berdiri dan meminta operator untuk menampilkan slide presentasinya di layar. Lalu ia menjelaskan temuan mereka terkait berapa banyak jumlah anggota DPR yang berpihak terhadap RUU Masyarakat Adat. Positif, negatif, dan netral adalah indikator yang digunakan untuk melihat keberpihakan tersebut.
“Terdapat 28 anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat dan 26 di antaranya akan kembali maju bertarung sebagai petahana dalam Pileg 2019,” jelas Teguh.
Dari 26 anggota DPR RI yang terlibat pembahasan RUU Masyarakat Adat, 12 di antaranya memberikan sentimen positif, 11 orang netral, dan 3 lainnya negatif.
Jika ditakar dalam persentase kecenderungan sikap 28 anggota DPR terhadap RUU Masyarakat Adat, maka terdapat 46% yang mendukung, 42% netral, dan 12% tidak mendukung sama sekali. Teguh menyambung: perbandingan persentase daerah pemilihan atau dapil, 16 dari 26 atau sama dengan 62% yang kembali maju di Pileg 2018 memiliki dapil yang ada Masyarakat Adat-nya.
Dari total 560 anggota DPR RI, maka 28 anggota Baleg yang berkontribusi dalam rapat-rapat terbuka RUU Masyarakat Adat sama dengan 15,68%. Artinya, masih sangat jauh jumlah anggota DPR yang memberikan perhatiannya terhadap RUU Masyarakat Adat.
Tidak linier dengan persentase tersebut, RUU Masyarakat Adat dalam 2017-2018 dan 2018-2019 justru masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Harusnya seluruh fraksi sudah memberi perhatian serius dan sepakat untuk mengundangkannya.
Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan itu menutup presentasinya dengan mengajak para konstituen dan pemilih agar lebih cerdas memilih calon wakil rakyat; bahkan saat mereka sudah duduk di legislatif harus tetap diawasi.
[caption id="attachment_43016" align="alignnone" width="1024"] Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan[/caption]*
Dr. Rina Mardiana menyambung “jalannya” data yang dipaparkan Teguh. Katanya, untuk mengatasi keberpihakan DPR terhadap RUU Masyarakat Adat yang masih rendah, maka anggota DPR yang berada di grafik netral supaya diadvokasi agar mendukung RUU. Sebab ia melanjutkan, anggota DPR menjadi netral karena tidak menguasai permasalahan, mereka tidak tahu isi atau tentang apa RUU Masyarakat Adat itu sendiri.
Mengapa RUU ini sangat mendesak disahkan karena isu Masyarakat Adat sangat berkaitan dengan keberlanjutan NKRI. Nilai-nilai yang ada di Masyarakat Adat adalah pegangan dan praktik keseharian yang sesungguhnya mengerjakan kebutuhan mendasar saat ini hingga masa ke depan yang jauh di depan.
Sebut saja mereka yang menetapkan hukum adat untuk mengambil hasil alam sesuai kebutuhan, artinya tidak rakus. Kemudian memperlakukan alam itu sendiri dengan prinsip berkelanjutan, misalnya membiarkan pohon-pohon besar tidak ditebang bahkan “dikeramatkan” sebab pohon-pohon tersebut menjadi penyimpan cadangan air, dan sebagainya.
*
RUU Masyarakat Adat akan mempermudah Masyarakat Adat mendapatkan hak-haknya. Sedangkan bagi investasi, RUU Masyarakat Adat justru membantu investor terhindar dari konflik yang pasti menelan pengeluaran besar. Proses berkepanjangan yang umumnya berwujud konflik akan diselesaikan jika RUU Masyarakat Adat disahkan.
Deputi II Sekjen AMAN Erasmus Cahyadi menjadi penanggap terakhir, tapi bukan yang terakhir berbicara. Kasus kriminalisasi yang terus dialami Masyarakat Adat, katanya, merupakan satu poin mengapa RUU Masyarakat Adat sangat penting segera disahkan.
Dalam sesi tanya jawab, Amat, seorang penanya, mempertanyakan siapa Masyarakat Adat dan bagaimana hukum-hukum adatnya akan diatur dalam RUU Masyarakat Adat. Pertanyaan mendasar, umum, tapi sekaligus sebagai representasi dari kelompok awam yang masih meraba-raba mendapat pemahaman soal isu Masyarakat Adat.
Eras, demikian Erasmus Cahyadi dipanggil merespons pertanyaan tersebut dari penjelasan ringan hingga mendalam. Ia mengatakan, RUU Masyarakat Adat tidak mengatur perihal hukum adat. Hukum adat bukan domain RUU Masyarakat Adat.
"Yang diatur adalah jika investasi mau masuk ke wilayas adat, apa yang dilakukan?, bagaimana pengaturannya?, harus konsultasi sesuai prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan (Free Prior and Inform Consent/FPIC),” jelas pria asal Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
RUU Masyarakat Adat juga, dia tambahkan, tidak menghambat investasi. Justru RUU Masyarakat Adat akan sangat membantu jika investasi yang ingin didatangkan ke wilayah adat. Ada aturan yang mengondisikan bahwa berinvestasi di wilayah adat tidak ditolak dan karenanya menjadi sengketa yang berarti resistensi dan ujung-ujungnya merugikan si investor sebab harus menambah pengeluarannya untuk mengatasi resistensi yang tidak akan pernah berhenti.
“RUU ini justru ingin menghentikan konflik yang timbul akibat investasi,” ujarnya.
[caption id="attachment_43021" align="alignnone" width="1024"] Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekjen AMAN[/caption]Kalau begitu, mengapa RUU Masyarakat Adat tidak segera disahkan?
Eras, Dr. Rina Mardiana, Teguh Surya sependapat mengatakan,”Pemahaman DPR tidak tuntas mengenai RUU Masyarakat Adat”. Kata Eras, AMAN mengindikasikan banyak wakil rakyat yang tidak paham mengenai Masyarakat Adat, walaupun mereka datang dari Masyarakat Adat atau juga karena politik.
Dr. Rina Mardiana sendiri mempertanyakan, “Mengapa RUU Masyarakat Adat belum disahkan, apa karena political will atau kekurangpahaman sama sekali?” Di sisi lain, Teguh mengatakan bahwa perjuangan Masyarakat Adat jelas merupakan pertarungan ruang hidup. Hal ini mengindikasikan, katanya, lumpuhnya DPR memahami dan mengakui substansi RUU Masyarakat Adat yang berdampak pada belum disahkannya RUU Masyarakat Adat.
*
Bagaimanapun, relevansi RUU Masyarakat Adat, kata Dr. Rina Mardiana, adalah untuk keberlanjutan negara Republik Indonesia yang kita cintai.
Hal serupa diutarakan Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya: kalau entitas adat hilang, apakah kita masih bisa menyebut negara ini dengan Indonesia?
Jakob Siringoringo