Pengakuan Tak Kunjung Tiba Intimidasi Terus Berlangsung
13 Juli 2016 Berita Paulus Ade Sukma YadiJakarta 28/6/2016 – Akibat pengakuan setengah hati pemerintah Masyarakat Adat di seluruh wilayah Indonesia masih selalu jadi korban. Sebagai buktinya terjadi peristiwa intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap tokoh adat Muara Tae (Dayak Benuaq) Petrus Asuy dan keluarganya pada (27/6/2016). Padahal komunitas yang berada di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur ini sedang berjuang meraih hak-hak adat mereka untuk mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah. Perjuangan mereka sendiri sebenarnya sudah diakomodir Inkuiri Nasional Komnas HAM (1-3/10/2014). Inkuiri Nasional melakukan penyelidikan pelanggaran HAM tentang masyarakat adat di kawasan hutan, melakukan analisa penyebab utama terjadinya pola pelanggaran HAM di wilayah. Inkuiri juga menyampaikan informasi kepada pemerintah, melakukan penyadaran kepada publik. Inkuri berlangsung pada Mei s/d September 2014 melakukan Verifikasi data dalam stake holders meeting & pertemuan dengan tim lokal Pelaksanaan publik hearing di wilayah Sumut, Banten, Bali Nusa NTB, Sulteng, Kalbar, Maluku Papua dan tingkat nasional. Melibatkan saksi yang diadukan, saksi ahli dari akademisi, pemuka masyarakat dan pendamping korban. Komunitas Adat Muara Tae juga menerima anugerah Equator Prize (21/9/2015) atas perjuangannya melindungi, mempertahankan dan memulihkan wilayah adat. Tanah adat yang semula mereka warisi seluas 11.000 hektar saat ini tinggal 4000 hektar. Perusahaan yang bercokol di Muara Tae adalah hak pengusahaan hutan (HPH) PT. Sumber Mas (sejak 1971), hutan tanaman industri (HTI) PT. Sumber Mas (1993), perkebunan kelapa sawit PT. London Sumatra Tbk dan pertambangan batu bara PT. Gunung Bayan Pratama Coal (1995), perkebunan Kelapa Sawit PT Munte Waniq Jaya Perkasa (2011), perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (2012), serta pertambangan batu bara PT. Gemuruh Karsa (2012). Keberadaan PT. Gemuruh Karsa tumpang tindih dengan izin lokasi PT. Borneo Surya Mining Jaya dan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. Peta wilayah adat Muara Tae sudah melalui proses empat tahap yakni kepada BIG dan UKP4 tanggal14 November 2012, lalu kepada BP REDD, 22 Desember 2014, penyerahan peta yang ke tiga ke Kementerian Lingkungan Hidup atau LH (Waktu itu belum berubah jadi KLHK). Lalu yang ke empat kepada KLHK, Agustus lalu. Peta Muara Tae masuk dalam status tematik atau setara dengan peta manapun yang dikeluarkan oleh pemerintah. Keputusan Mahkamah Konstitusi No 35/ PUU-X/2012 menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Dengan demikian setiap penggunaan dan pemanfaatan wilayah adat harus melalui persetujuan masyarakat adat pewaris dan pemilik sah tanah tersebut. Namun semua itu bagi aparat pemerintah ternyata belum cukup untuk memberi pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Muara Tae. Pada tanggal 24/6/2016 Petrus Asuy menerima surat dari Kapolsek Jempang, Ajun Komisaris Polisi Toni Joko Purnomo, meminta hadir dalam mediasi terkait klaim lahan perkebunan PT Borneo Surya Mining Jaya (BSMJ) di Mako Polsek Jempang. Dalam surat tersebut, mediasi dilakukan atas permintaan dari PT. BSMJ. Petrus Asuy menolak halus mediasi tersebut, karena proses mediasi yang tidak benar dan kasus ini sedang diproses oleh Nasional Komnas HAM. Ketidakhadiran Petrus Asuy membuat marah mantan pemuka adat Muara Tae bernama Songkeng dan anaknya Andik. Keduanya mengancam akan menghabisi Petrus Asuy dan keluarganya sebab tanpa tanda tangan Petrus Asuy perusahaan tidak akan membayar luasan tanah klaim sebagai milik Songkeng dan kawan-kawannya. Pengakuan terhadap masyarakat adat harus melalui Peraturan Daerah (Perda) yang mengidentifikasi dan mengatur tata kelola wilayah adat setempat. Padahal hampir semua pemerintah daerah mempunyai kepentingan terhadap pengelolaan potensi di daerahnya masing-masing seperti apa yang dialami oleh masyarakat adat Muara Tae ini. Mulai dari tata batas wilayah Muara Tae-Muara Ponaq, pengangkatan Kepala Desa Muara Tae semuanya diintervensi oleh bupati. Hal itu berdampak negatif bagi masyarakat sehingga mengalami konflik internal horizontal. Banyak pihak mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya hingga tega menjual tanah masyarakat adat. Sementara tanah adat jelas milik bersama tidak bisa diperjual-belikan oleh siapapun. Dalam masyarakat adat ada aturan(hukum adat) tidak diperbolehkan memperjual belikan tanah adat. Hanya bisa dipinjamkan untuk dikelola, hal itupun diputuskan melalui musyawarah adat. Kejadian di atas membuktikan bahwa pemerintah belum punya solusi menegakkan hak-hak rakyatnya. Perlu adanya perbaikan sistem di NKRI untuk memulihkan moral masyarakat. Semakin banyak masyarakat tertindas di negeri ini, akan semakin memudarkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. “Dalam catatan Inkuiri Komnas HAM, berbagai cara yang dilakukan perusahaan antara lain menciptakan konflik, memelihara konflik dan terus menerus mendapat keuntungan dari konflik. Ini merupakan kesalahan fatal. Perlu perhatian khusus pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyatnya.” Ujar Rukka Sombolinggi, Deputi II Sekjend AMAN ***Paulus Ade Sukma Yadi