Masyarakat adat Kampung Bangun Rejo, Deli Serdang, Sumatra Utara akan terus berupaya mempertahankan hak atas tanah adat/ulayat dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Bahkan masyarakat adat yang tergabung dalam Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) sebisa mungkin mencegah terjadinya bentrokan karena tindakan tidak manusiawi dari PTPN II yang mungkin saja memicu jatuhnya korban. Sebelumnya, tindakan kekerasan parah dilakukan PTPN II kepada masyarakat adat yang mempertahankan hak atas tanah ulayat di Kampung Bangun Rejo. Semisal, menyeret ibu hamil yang berusaha menghentikan upaya PTPN II yang ingin kembali menguasai tanah ulayat masyarakat adat Kampung Bangun Rejo. Tindakan tersebut lalu dianggap tidak berperikemanusiaan. Sementara itu, berdasarkan pantauan pada hari kedua, Jumat (15/12), BPRPI bersama organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) seperti Barisam Pemuda Adat Nusantara (BPAN) dan Perempuan AMAN tidak lagi melihat upaya-upaya demikian dari PTPN II. Kepada seluruh kampung-kampung yang berada di bawah panji-panji BPRPI agar memperkuat barisan, menjaga, mempertahankan dan terus berjuang untuk menguasai serta mengembalikan hak-hak atas tanah ulayat. Kronologis dari persoalan tersebut bermula ketika PTPN II kembali berupaya menguasai 22 titik lahan yang menjadi bagian dari tiga hak guna usaha (HGU) yang dimilikinya. Berikut kronologisnya:

  • 29 November 2017

Kepolisian Resort (Polres) Deli Serdang mengundang warga dari tiga kampung yaitu Bangun Rejo, Bandar Labuhan dan Tadukan Raga di Kecamatan Tanjung Morawa dan STN Hilir. Juga mengundang jajaran bupati hingga ke tingkat Desa. Intinya dari undangan itu untuk keperluan mengukur lahan dan menyatakan wilayah tiga desa itu merupakan bagian dari HGU PTPN II. Warga meminta waktu untuk mendiskusikan persoalan tersebut.

  • 4 Desember 2017

Tentara dan Brigade Mobil (Brimob) kemudia diturunkan ke lokasi untuk mengadakan pengukuran. Kendati warga meminta waktu, aparat tentara dan kepolisian bergeming.

  • 13 Desember 2017

Masyarakat menerima surat pengosongan lahan pada sore harinya.

  • 14 Desember 2017

Sekitar 7.30, pihak PTPN II dengan pengawalan tentara dan polisi memasukkan dua alat berat (beko dan buldoser) ke lahan masyarakat adat Rakyat Penunggu Desa Bangun Rejo. Aparat mengepung lahan. Akibat alat berat itu, tanaman warga seperti pohon pisang, ubi dan jagung hancur. Ada sekitar 40 warga yang bercocok tanam di lahan itu. Melihat tindakan pihak PTPN II itu, warga melawan. Sempat terjadi tarik-menarik antara warga dan aparat. Ibu-ibu sempat naik ke alat berat dan mengambil kunci alat berat tersebut. Warga yang melawan ditangkap aparat dan dimasukkan ke truk. Bentrok warga dan aparat baru berhenti sekitar 14.00. Warga yang sempat ditangkap lalu dilepaskan. Warga yang menjadi korban penggusuran itu sementara ini mengungsi ke desa tetangga. Ada sekitar enam kepala keluarga. Alat berat milik PTPN II hingga saat ini masih berada di lokasi dan dijaga aparat. Mereka melarang warga memasuki lahan. Tentara dan Brimob mendirikan tenda pengawalan di lokasi. Sekitar 18.00, PTPN II mendatangkan alat berat tambahan sekitar enam unit ke lokasi. Juga menambah personel aparat. Mengenai status lahan, masyarakat adat melalui BPRPI telah menyerahkan data wilayah-wilayah adat langsung ke Presiden Joko Widodo dan dilanjutkan dengan memasukkan data komunitas adat serta wilayah adatnya sebagai prioritas program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Kantor Staf Presiden (KSP). Akan tetapi, PTPN II justru berkeras untuk memiliki lahan tersebut. Masyarakat adat Rakyat Penunggu mengaku lahan mereka telah dirampas sejak lebih dari satu abad yang lalu. Terutama setelah perusahaan asing milik Belanda masuk ke Sumatra Timur. Masyarakat adat Rakyat Penunggu semula merupakan peladang reba (bertani berpindah) di wilayah adatnya melakukan kontrak kepada pengusaha-pengusaha Belanda atas tanah-tanah subur yang difasilitasi oleh Sultan pada masa itu berupa konsesi-konsesi perjanjian sewa tanah. Titik awal masyarakat adat rakyat Penunggu kehilangan wilayah adatnya ketika Indonesia merdeka dan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang kemudian mendirikan perusahaan perkebunan negara secara sepihak di atas tanah adat/ulayat masyarakat adat rakyat penunggu yang kemudian dikenal sebagai PTPN II yang sebelumnya PTPN IX. Masyarakat adat Rakyat Penunggu mengorganisasi dirinya menjadi BPRPI sejak 1953. Pada 1999 bergabung dengan AMAN untuk memperjuangkan wilayah adatnya kembali. Masyarakat Adat Rakyat Penunggu berupaya menduduki kembali wilayah-wilayah adatnya meski harus menghadapi beragam pukulan dan berbagai pelanggaran HAM. Selepas reformasi, BPRPI berhasil merebut kembali wilayah-wilayah adatnya yang selama ini dikuasai PTPN melalui HGU. Lebih 15 tahun masyarakat adat Rakyat Penunggu berupaya untuk mendapatkan wilayah adatnya dan berhasil mengelola dengan menjadikan tanah adat/ulayat sebagai sumber pangan, sumber pendapatan dan membangun rumah tempat tinggal. Macetnya upaya reforma agraria serta tidak adanya keterbukaan informasi tersebut menyebabkan konflik antara masyarakat adat Rakyat Penunggu dengan PTPN II tidak kunjung selesai. Terutama karena PTPN II mengaku memiliki izin perpanjangan HGU.

Writer : Infokom AMAN | Jakarta