HARI PEREMPUAN SEDUNIA PEREMPUAN ADAT MENUNTUT KEADILAN
10 Maret 2018 Berita Eka HindratiDalam rangka peringatan hari perempuan sedunia tanggal 8 Maret, sayap organisasi AMAN, yaitu PEREMPUAN AMAN turun ke jalan bersama 2000 masyarakat sipil menuntut perhatian pemerintah Indonesia akan pemenuhan hak-hak sipil yang belum memadai. Telah diakui secara luas, masyarakat adat merupakan salah satu bagian dari kelompok yang paling dipinggirkan dan rentan. Di berbagai masyarakat adat, para perempuan seringkali mewakili katagori yang paling dirugikan. Meskipun status para perempuan adat bervariasi di berbagai komunitas adat, namun sebagai anggota masyarakat adat dan perempuan, mereka sering dihadapkan dengan berbagai perlakuan diskriminasi. Perempuan adat mengalami diskriminasi rasial maupun diskriminasi dari kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa yang dominan. Selain itu, masyarakat adat juga sering menghadapi marjinalisasi sosial-ekonomi yang tak seimbang menjadi kelompok yang paling miskin dari masyarakat. Dua bentuk diskriminasi yang terbentuk dari luar etnis dan ekonomi, membuahkan pelanggaran hak-hak perempuan adat oleh badan-badan negara, pemerintahan legislatif dan eksekutif, kekuatan sosial yang dominan. Di dalam aksi ini, PEREMPUAN AMAN, menutut masuknya jaminan hak perempuan adat di dalam RUU Masyarakat adat yang telah berada ditangan DPR. RUU Masyarakat Adat merupakan payung hukum untuk mendorong hak-hak Perempuan Adat diatur di dalam berbagai kebijakan mengenai masyarakat adat. Sejarah Hari Perempuan Internasional dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahun. Ini adalah hari besar yang dirayakan di seluruh dunia untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial. Gagasan tentang perayaan ini, pertama kali dikemukakan saat memasuki abad ke-20 di tengah-tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada 8 Maret 1857 di New York City. Para buruh garmen memprotes apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini membentuk serikat buruh mereka pada bulan yang sama dua tahun kemudian. Peringatan Hari Perempuan Sedunia telah berlangsung sejak tahun 1900-an, di masa ekspansi industri. Peringatan itu sendiri diawali dengan kegelisahan besar dan debat kritis di kalangan perempuan pada 1908. Mereka menganggap ada tekanan dan perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan di masa itu. Hingga akhirnya, sekitar 15 ribu perempuan berjalan kaki di New York, Amerika Serikat. Berubahnya peringatan menjadi 8 Maret memiliki sejarah berliku. Pada 1910, Konferensi Internasional Perempuan Pekerja digelar di Copenhagen, Denmark. Konferensi melibatkan 100 perempuan dari 17 negara, mewakili serikat pekerja, partai sosialis, kelompok pekerja perempuan, termasuk tiga perempuan pertama yang dipilih sebagai anggota Parlemen Finlandia. Clara Zetkin, pemimpin lembaga perempuan pada Partai Demokrasi Sosialis Jerman mengusulkan agar seluruh negara memperingati hari perempuan pada tanggal yang sama. Tujuannya untuk memperkuat tuntutan mereka. Sejarah berlanjut di Benua Eropa. Kala masa Perang Dunia I, sekitar 1913 dan 1914, hari perempuan sedunia juga menjadi cara memprotes perang alias gerakan perdamaian. Para perempuan berunjuk rasa, baik untuk memprotes perang maupun sebagai aksi solidaritas sesama aktivis perempuan. Hari Perempuan Internasional dirayakan pada tahun sekitar tahun 1910-an dan 1920-an, tetapi kemudian menghilang. Perayaan ini dihidupkan kembali dengan bangkitnya feminisme pada tahun 1960-an. Pada tahun 1975, PBB mulai mensponsori Hari Perempuan Internasional. EKAHINDRA-INFOKOM PB AMAN