Global Land Forum 2018: Atasi Ketimpangan, Sahkan RUU Masyarakat Adat
22 September 2018 Berita Jakob SiringoringoJakarta (21/9), www.aman.or.id - Sejarah pembangunan negeri ini diwarnai dengan perampasan tanah, pemiskinan; Masyarakat Adat dipaksa meninggalkan tanah leluhurnya. Persoalan tanah ini menjadi sejarah kelam yang masih terus terjadi dan kita alami. Pendeknya, Masyarakat Adat tidak punya sejarah yang baik dengan pemerintah.
Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi kata per kata menekankan pernyataannya di hadapan para wartawan dalam konferensi pers menuju Global Land Forum (GLF) 2018, Jumat (21/9) di Bakeol Koffie, Jakarta.
Sementara itu, Direktur International Land Coalition (ILC) Mike Taylor dalam rilisnya mengatakan:
“Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal melindungi separuh dari lahan dunia, tetapi hanya 10 persen yang diakui. Situasi tersebut menyebabkan perampasan tanah menjadi tantangan besar. Di banyak negara, mereka berjuang membela hak-hak tanah dengan mempertaruhkan nyawa”.
Rukka menegaskan untuk memastikan hak atas tanah ini dan mengakhiri kriminalisasi, khususnya bagi Masyarakat Adat, pemerintah harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.
Masih tinggal janji
Fakta sejauh ini reforma agraria masih jauh panggang dari api. Meskipun proses yang berkaitan dengan lahan/tanah saat ini kerap dinilai sebagai agenda nasional, namun realisasinya belum mengacu kepada semangat reforma agraria sejati.
Hingga saat ini, Presiden Jokowi telah mengklaim keberpihakannya kepada rakyat dengan membagi-bagikan sertifikat tanah. Program pemerintah yang dikenal dengan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS) dinilai sebagai capaian bernilai tinggi.
Kenyataannya belum menggambarkan isi fakta reforma agraria. “Sertifikasi tanah bukan reforma agraria,” kata Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Konflik tanah atau wilayah adat merupakan persoalan yang dihadapi masyarakat global, khususnya Masyarakat Adat. Global Land Forum kali ini bertema Bersatu untuk Hak Atas Tanah, Perdamaian dan Keadilan atau dalam Inggris United for Land Rights, Peace and Justice.
Tema ini sangat sentral menyoroti pertarungan hak atas tanah. Seperti halnya Masyarakat Adat, tanah juga menjadi persoalan induk yang menjadi hulu munculnya ketimpangan bagi petani, nelayan, perempuan dsb. Hak akses atas tanah tidak merata.
Dewi Kartika dalam keterangan persnya menyatakan, masyarakat global tidak hanya Indonesia tengah menanti realisasi janji politik Presiden Joko Widodo yaitu Reforma Agraria hingga tingkat akar rumput.
Indonesia terpilih menjadi tuan rumah perhelatan GLF ke-8 ini didasarkan beberapa perkembangan seperti adanya kemajuan gerakan sosial yang memperjuangkan hak atas tanah. Selain itu, menurut Mike, alasan lain karena Jokowi memberikan janji ambisius dalam persoalan tanah di Indonesia.
Hal senada disampaikan Dewi. “Mengapa Indonesia jadi tuan rumah, karena komitmen pemerintahan Jokowi-JK menjalankan reforma agraria dipandang positif di tingkat global.”
Sayangnya, kata Mike, Pemerintah Indonesia mempunyai janji politik yang ambisius, namun dalam praktiknya Jokowi sangat lama merealisasikannya. Padahal di seluruh dunia, termasuk Indonesia, kesamaan hak atas tanah telah menjadi agenda prioritas bersama.
Di sisi lain mengapa pengakuan atas hak-hak Masyarakat Adat termasuk akses setara atas tanah melambat, Rukka mengurai pembagian NKRI dalam sudut pandang penguasaan tanah. Ia merinci penguasaan tanah di Indonesia dikendalikan oleh dua lembaga yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Negara Indonesia wilayah KLHK dan Negara Indonesia wilayah ATR,” katanya.
Harapan dari GLF
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nurhidayati mengungkapkan bahwa ekspektasi ke depan, pemerintah tetap memprioritaskan reforma agraria sebagai agenda nasional yang utama. Satu hal paling urgen saat ini, sambungnya, pemerintah harus segera mengeluarkan Perpres Reforma Agraria.
Di sisi lain, momentum GLF akan menjadi medium saling belajar antarnegara soal perjuangan menuntut hak atas tanah. Karena itu, lima lokasi telah ditentukan yang akan menjadi pilihan kunjungan lapangan peserta GLF khususnya dari mancanegara. Kelima lokasi tersebut adalah Kasepuhan Karang (Jawa Barat), Ramang-Ramang di Maros (Sulawesi Selatan), Pulau Pari (DKI Jakarta), Desa Tanjung Karang (Jawa Barat) dan Halimun Salak (Jawa Barat).
Ekspektasi menurut Dewi, kelak GLF akan ada keluaran berupa Deklarasi Bandung yang berisi komitmen bersama menata pertanahan untuk keadilan dan perdamaian.
Acara ini akan dibuka pada 24 September bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional ke-58 di Gedung Merdeka, Jl. Asia Afrika, Bandung. Pada pembukaan ini akan ada panel tingkat tinggi bertajuk “Aksi Melebihi Kata-kata: Reforma Agraria untuk Keadilan Sosial dan Kesejahteraan”.
Global Land Forum 2018 diselenggarakan bersama CSO dan pemerintah (Kantor Staf Presiden). Rencananya akan dihadiri 1.150 peserta nasional dan internasional. Sebanyak 551 peserta luar negeri berasal dari 84 negara.
Jakob Siringoringo - Infokom PB AMAN