Jakarta (8/10), www.aman.or.id - Secara konstitusionalitas, keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia jauh lebih kuat dibanding di Chili. Karena sejak awal konstitusi kita telah mengakui keberadaannya. Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya (sebelum amandemen) dengan tegas mengatur hal itu. Pasca amandemen, pengakuan dan pelindungan konstitusional terhadap Masyarakat Adat pun tidak hilang. Hal itu tercantum dalam pasal 18B ayat (2) dan pasal 28I ayat (3) UUD 1945.

Hal itu ditulis Luthfi Andi Mutty, anggota DPR RI, di Dubai-Uni Emirat Arab (8/10) sekembalinya dari Chili dalam rangka kunjungan kerja PANJA RUU Masyarakat Adat. Ia menegaskan bahwa konstitusi Indonesia sudah mengakui keberadaan Masyarakat Adat sejak awal berdirinya negara ini. Namun demikian, katanya, pengaturan secara konstitusional itu masih menyisakan dua persoalan:

Pertama, pengakuan atas Masyarakat Adat menekankan pada aspek "sepanjang masih hidup". Persyaratan ini juga diatur dalam berbagai peraturan di bawah konstitusi. Pada banyak sisi, persyaratan normatif itu menjadi kendala atas pengakuan dan pelindungan hak-hak MA. Frasa "sepanjang masih hidup" pada kenyataannya membuat pengakuan itu sendiri lebih banyak berhenti pada diskursus tentang indikator dari persyaratan-persyaratan tersebut. Apalagi, beberapa UU maupun peraturan pelaksanaannya justeru tidak memiliki kesamaan indikator sebagai acuan syarat-syarat konstitusional atas Masyarakat Adat.

Kedua, UUD 1945 memperkenalkan dua istilah, yakni Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (pasal 18B ayat 2) dan Masyarakat Tradisional (pasal 28I ayat 3). Sayangnya, tidak ada penjelasan atas kedua nomenklatur itu.

Di sisi lain, UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa mencoba menerjemahkan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 lewat Desa Adat sebagai padanan "Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”. Namun tetap timbul masalah. Hal ini disebabkan istilah Masyarakat Hukum Adat tidak terakomodasi sepenuhnya dalam terminologi Desa Adat sebagaimana dimaksud oleh UU Desa.

“Jika ditelusuri, Masyarakat Hukum Adat mulai terpinggirkan secara masif atas wilayah adatnya, di era orde baru,” tulisnya.

Kebijakan pemerintah ketika itu, memacu pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam. Akibatnya, Masyarakat Hukum Adat kehilangan hak sekaligus akses atas SDA. Hal ini membuat terjadinya konflik tenurial antara Masyarakat Adat dengan negara ataupun perusahaan swasta.

Dalam Inkuiri Nasional, Komnas HAM (2014) telah melakukan investigasi atas 40 kasus dari ratusan kasus yang terdaftar atau pernah diadukan ke Komnas HAM. Kasus-kasus tersebut berkaitan dengan konflik hak Masyarakat Adat dengan berbagai investasi swasta, mencakup HPH, HTI, Perkebunan dan pertambangan.

Inkuiri Nasional tersebut merupakan tindak lanjut atas putusan MK No.35/PUU-X/2012 berkaitan dengan hutan adat (wilayah adat). Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hutan adat bukan hutan negara.

Karena itu, lanjut politisi Partai Nasdem tersebut, harus ada pembedaan perlakuan antara hak menguasai negara atas hutan negara dengan hak menguasai negara atas hutan adat.

“Terhadap hutan negara, negara memiliki wewenang penuh untuk mengatur peruntukannya, pemanfaatan, dan hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Sedangkan terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat berada dalam cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) Masyarakat Adat,” demikian Luthfi yang juga pejuang hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia.

Perlu dicatat bahwa Putusan MK No.35/PUU-X/2012 tidak membatalkan ketentuan pasal 67 UU No.41 Thn 1999 tentang Kehutanan. Pasal tersebut mengatur tentang proses pengakuan terhadap Masyarakat Adat yang prosesnya sangat politis dan berbelit-belit. Pertimbangannya adalah untuk mengisi kekosongan hukum yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

“Dengan demikian, UU Masyarakat Hukum Adat yang lebih komprehensif, memang sangat diperlukan,” tutupnya.

Jakob Siringoringo

Writer : Jakob Siringoringo | Jakarta