Jakarta (11/10), www.aman.or.id - Tidak ada akar, rotan pun jadi. Peribahasa ini rupanya berlaku bagi siapa dan di mana saja dalam kondisi genting. Demikian juga yang dialami Samsudin, pemuda adat dari Sidole. Ia menyalurkan bertandan-tandan pisang ke Palu dan Donggala.

*

Di tengah suasana berduka atas gempa dan tsunami yang terjadi di Palu-Donggala-Sigi, Samsudin turut ambil bagian dalam menolong para pengungsi. Ia langsung bergerak cepat ambil tindakan apa saja yang bisa dikerjakan.

Sehari setelah gempa-tsunami, Samsudin dan para mahasiswa Univeristas Tadulako (Untad) segera mendirikan posko. Selanjutnya ia berkoordinasi dengan mahasiswa-mahasiswa asal Sidole, tidak hanya yang kuliah di Untad, tetapi juga dari Institut Agama Islam Nusantara (IAIN).

“Sebelum kami melanjutkan rencana tanggap darurat, selama lima hari kami mengumpulkan para mahasiswa yang berpencar pascagempa -tsunami,” tutur Samsudin lewat telepon (Kamis, 11/10).

Sembari kami masih mencari teman-teman mahasiswa, sebagian bergerak membantu tim SAR untuk mengevakuasi korban meninggal dunia, katanya. Samsudin dan mahasiswa tergabung dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara Parigi Moutong (BPAN Parimo) dan Gerakan Pemuda Sidole Raya (GPSR).

Setelah mereka bertatap muka, pada 1 Oktober 2018, Samsudin memimpin pertemuan untuk membahas rencana tanggap darurat. Lelaki berusia 30 tahun mengajak semua anggota GPSR (147 orang) untuk membahas aksi konkret dalam menanggapi situasi darurat pascagempa dan tsunami.

Pertemuan akhirnya menghasilkan kesepakatan agar para pemuda adat tersebut turut berpartisipasi menyalurkan bantuan kepada para pengungsi. Mereka memutuskan untuk memberikan bantuan seadanya, yang bisa disalurkan.

Sejak itu mereka membagi tim, membagi tugas. Sidole terbagi dalam tujuh desa. Mereka berbagi tim, masing-masing desa diwakili 15 orang. Setiap tim bekerja untuk meminta dukungan dari para warga setiap desa, setelah sebelumnya mereka menjelaskan maksud dan niat baik mereka.

Aksi ini pun disambut baik oleh komunitas. Secara khusus BPH AMAN Daerah Parigi Moutong dan lembaga adat memberi nasihat kepada mereka sebagai bentuk dukungan dari para tetua.

Dari aksi tersebut, warga dengan sukarela memberikan bantuan semampunya. Ada yang memberikan ubi, pakaian layak pakai bahkan uang tunai. Seluruh bantuan ini kemudian diantar ke Palu dan dikumpulkan sementara di posko di belakang Untad. Berikutnya, sesudah mereka mengidentifikasi komunitas-komunitas yang terdampak, Samsudin menyalurkan bantuan yang terkumpul.

Salah satu produk Masyarakat Adat Sidole yang Samsudin kumpulkan adalah pisang. Menurut, Ketua BPAN Parimo itu, pisang merupakan salah satu produk komunitas-komunitas Sidole yang mudah diambil sekaligus juga tidak memberatkan warga. Di sisi lain, pisang juga bisa bertahan sampai beberapa hari.

“Pemikiran kita selain beras, pisang juga tahan beberapa hari. Karena itu, kami memilih pisang karena persediaan agak mudah didapat. Juga tidak memberatkan sebab Parimo juga merupakan lokasi terdampak (gempa-red),” kata lelaki dua anak.

Pisang tersebut ia kumpulkan dari ketujuh desa di Sidole. Para warga pun secara sukarela membuka jalan ke kebun-kebun mereka. Samsudin dan tim segera memanen pisang-pisang yang sudah tua. Tandan demi tandan dia kumpulkan. Desa ke desa ia jalani.

Hari ini, Samsudin membawa pisang satu mobil bak terbuka, penuh. Pisang yang merupakan sumbangan komunitas-komunitas adat di Sidole itu, kemudian langsung mereka salurkan. Pemuda adat yang pernah ikut pelatihan kepemimpinan di Sui Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mengatakan pisang tersebut telah disalurkan ke para pengungsi di Donggala (2 desa: Labuan Kungguma dan Tosao) serta Tondo (2 desa: Tondo Atas dan Tondo Dupa) di Palu.

Bantuan tersebut langsung diterima para pengungsi. Saat ditanya apa respon pengungsi, Samsudin menuturkan mereka “mengucap syukur.” Ia menambahkan, si penerima bantuan juga sempat bertanya dari mana asal bantuan tersebut.

“Saya menjawab bahwa bantuan disalurkan GPSR yang dikumpulkan dari komunitas-komunitas adat di Sidole, komunitas AMAN. Jadi kami bergerak atas nama AMAN,” katanya. Lebih jauh, si penerima bantuan, menanyakan apa itu AMAN?

Samsudin kembali menjawab, “Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN memiliki anggota 2373, salah satu Pengurus Wilayah-nya adalah Sulteng, beralamat di Jl. Banteng, Palu. Beberapa komunitasnya termasuk di Sidole, Parimo”.

Samsudin berkisah, sebelum mereka mengantar bantuan berupa pisang dan ubi, ia memerlukan waktu empat hari untuk mengumpulkannya. Pisang dan ubi, katanya, mulai dikumpul sejak Minggu (7/10).

Pisang-pisang tersebut pun akhirnya tiba di Palu setelah Samsudin menempuh waktu lima jam dari Sidole. Jarak tersebut, katanya, dapat ditempuh lima jam dalam kondisi normal, tanpa macet dan halangan tak terduga.

Samsudin bilang sasaran penerima bantuan kali ini adalah para pengungsi yang belum mendapat bantuan sama sekali. Hingga hari ini, masih terdapat beberapa pengungsi yang belum memperoleh bantuan.

Hasil identifikasi Samsudin memperlihatkan ada beberapa tenda pengungsi yang berdiri, namun tidak terdaftar di BNPB sehingga mereka tidak mendapat bantuan dari pemerintah.

“Kami memilih Tondo (Palu) dan Tosao-Labuan Kungguma (Donggala) karena di sana banyak tenda pengungsi, tapi belum tersentuh bantuan pemerintah karena tidak terdaftar di BNPB. Karena persyaratan untuk dapat bantuan perlu KTP ataupun kartu keluarga,” katanya.

*

Meskipun hanya pisang, namun Samsudin telah menunjukkan bahwa seberapa pun sumbangan yang mampu kita berikan akan berharga dan bermakna. Samsudin hanyalah seorang pemuda adat, namun jalan yang dia tempuh tetap penting diapresiasi.

Jakob Siringoringo

Writer : Jakob Siringoringo | Jakarta