Jakarta (23/11), www.aman.or.id - Pentingnya pengakuan hak-hak Masyarakat Adat kini disorot tajam, salah satunya lewat keterhubungannya dengan hak pilih dalam pesta demokrasi. Hak pilih Masyarakat Adat dalam pemilu 2018 dan 2019 menjadi riskan karena sebagian basar Masyarakat Adat belum mengantongi KTP-el.

Kemenkumham bereaksi terhadap adanya kebijakan pembatasan hak pilih Masyarakat Adat setelah Yayan Hidayat, Staf Deputi II Kedirektoratan Partisipasi Politik Masyarakat Adat - PB AMAN, menulis opini berjudul “Menyelamatkan Hak Pilih” yang dimuat detik.com pada Selasa, 5 Juni 2018.

Kemenkumham menyurati Kemendagri untuk segera mengundangkan RUU Masyarakat Adat. Hal ini seperti tertulis dalam poin 8 dalam rekomendasi Kemenkumham, “Kementerian Dalam Negeri sebagai salah satu pemrakarsa beserta kementerian-kementerian lainnya perlu mendorong pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat agar segera bisa disetujui dan diundangkan."

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi pun angkat bicara menyikapi isu hangat ini. Ia mengapresiasi surat Kemenkumham karena dinilai menunjukkan komitmen terhadap pembahasan hingga pengundangan RUU Masyarakat Adat.

“Saya mengapresiasi sikap Kemenkumham karena telah berkomitmen melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan merekomendasikan agar Kemendagri segera menyerahkan DIM ke DPR RI supaya RUU Masyarakat Adat disahkan,” katanya di Jakarta, Jumat (23/11).

Menurutnya pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan basis pengakuan hak-hak Masyarakat Adat termasuk hak pilih. Karena itu, Kemendagri didesak untuk segera mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah RUU Masyarakat Adat kepada DPR RI.

Yayan menulis, sebagaimana dikutip surat Kemenkumham bernomor HAM-HA.01.04-06 tertanggal 10 September 2018 yang ditujukan kepada 1) Ketua KPU RI dan 2) Sekjen Kemendagri, bahwa terdapat dua poin utama yang menunjukkan hak pilih tersebut terpasung.

Pertama, Kemendagri tetap bersikeras tidak memberikan identitas kependudukan kepada masyarakat yang bermukim di dalam kawasan hutan negara, kecuali KLHK menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan.

Kawasan hutan lindung dan konservasi menurut Kemendagri tidak termasuk wilayah permukiman dalam sistem administrasi kependudukan, tidak memiliki batas dan kode wilayah. Penetapan sepihak dan sikap Kemendagri tersebut berdampak terhadap hilangnya sejumlah hak kewarganegaraan masyarakat dalam kawasan hutan.

Kedua, sikap Kemendagri tersebut turut menyandera hak pilih Masyarakat Adat yang bermukim dalam kawasan hutan lindung dan konservasi.

Seperti diketahui terdapat 553 Masyarakat Adat di kawasan pulau-pulau kecil dan terisolir. Mereka sangat minim mendapatkan informasi perihal Pemilihan Umum dan tidak mengetahui bahwa KTP-el merupakan basis utama dalam menggunakan hak pilih pada Pemilihan Umum.

Di Talang Mamak, Riau, ada 700 kepala keluarga yang tidak memiliki KTP-el lantaran kepercayaan yang mereka yakini belum pernah diakui negara.

Sementara rujukan hak pilih tertuang dalam Pasal 202 ayat (2) dan Pasal 210 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di sana disebutkan bahwa pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS hanya pemilih yang memiliki KTP-el.

Di sinilah Kemenkumham menunjukkan reaksi terhadap kebijakan yang diatur Kemendagri, namun menghambat warga negara mendapatkan dan menggunakan haknya.

Jakob Siringoringo

Writer : Jakob Siringoringo | Jakarta