Jakarta, www.aman.or.id - Debat pertama Capres/Cawapres RI 2019-2024 telah diselenggarakan KPU RI pada 17 Januari lalu. Namun, debat ini menyisahkan banyak persoalan dalam sisi substansi maupun penyelenggaraannya.

Hal itu mengemuka dalam diskusi media bertajuk “Evaluasi dan Rekomendasi Debat Pilpres 2019” yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Minggu (20/1/2019) di D’Hotel, Jakarta.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi menilai pasangan Joko Widodo – Ma’aruf Amin dan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno masih mengesampingkan persoalan yang dialami banyak komunitas masyarakat adat di Indonesia.

Rukka berpendapat demikian karena kedua pasangan calon (paslon) tidak membahas masalah hak-hak Masyarakat Adat dalam Debat Pilpres 2019 tahap pertama.

Padahal, persoalan yang dialami banyak Masyarakat Adat berkaitan langsung dengan tema debat pada 17 Januari 2019 lalu, yakni tema hukum, HAM, korupsi, dan terorisme. “Hak Masyarakat Adat sebagai hak asasi manusia yang sangat jelas di atur dalam UUD 1945, ada 3 (tiga) pasal di dalamnya yang mengatur tentang hal tersebut pun luput dibicarakan,” ungkap Rukka.

Selama ini, banyak Masyarakat Adat masih menghadapi masalah sengketa wilayah hingga diskriminasi karena keyakinan mereka. Rukka mencontohkan persoalan hak pilih warga komunitas adat masih belum terselesaikan. Salah satu sebabnya adalah faktor agama mereka yang tidak diakui. Dia memperkirakan ada satu juta warga komunitas adat belum mendapatkan hak pilih di pemilihan umum 2019 karena faktor administrasi kependudukan.

Sementara itu kasus-kasus perampasan wilayah adat, masih terus terjadi antara masyarakat dengan korporasi yang diperhadapkan dengan aparat keamanan. “Ini disebabkan belum adanya Undang-Undang Masyarakat Adat yang menjadi kebutuhan utama dalam penyelesaian konflik tersebut. Ini juga luput dibicarakan oleh kedua paslon” tambahnya.

“Pembicaraan di debat Pilpres kemarin justru Neoliberalisme. Semuanya bicara soal kebijakan ekonomi. kebijakan ekonomi yang tidak jelas keberpihakannya terhadap rakyat. Bahkan reforma agraria pun ekonomi. Pembebasan lahan untuk pembangunan,” kata Rukka.

Secara teknis, Rukka mengkritik kebijakan KPU RI yang mengundi pertanyaan kepada pasangan calon. “Kok Pertanyaan diundi, masak nasib bangsa juga turut diundi? Pertanyaan yang disampaikan dan jawaban yang disampaikan oleh pasangan calon adalah nasib bangsa kedepan. Dan itu harus diundi. Itu yang sangat mengecewakan,” ungkap Rukka.

“Seharusnya, panelis diberi kesempatan untuk memperdalam jawaban yang disampaikan oleh pasangan calon. Sebab itulah fungsi panelis. Agar perdebatan lebih hidup dan tak terkesan seperti cerdas-cermat semata,” tambahnya.

Kedepan disesi debat kedua, perlu memperbincangkan hak-hak Masyarakat Adat. Apalagi tema yang diangkat adalah persoalan lingkungan hidup dan sumber daya alam. “Kami tidak menuntut perlakuan istimewa, tetapi kami menuntut penghormatan, pengakuan, dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat menjadi agenda utama presiden terpilih karena itu adalah mandat konstitusi,” tutup Rukka.

Menanggapi kritik ini, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengakui debat Pilpres 2019 perlu membahas masalah yang lebih substansial dan bermanfaat.

Namun, kata Wahyu, kesalahan utama tidak semata-mata di KPU sebagai penyelenggara debat. Sebab, Capres-Cawapres sebenarnya berpeluang menguraikan masalah yang menyentuh persoalan substansial.

“Kalau misalnya paslon dipandang belum mampu menjelaskan isu utama, itu kan bukan salah KPU,” kata Wahyu.

Writer : Infokom AMAN | Jakarta