Pabrik Semen Yang Merusak Lingkungan, Masyarakat Adat Yang Merawat Lingkungan
16 Mei 2019 Berita Henriana HatraBayah, www.aman.or.id-Sejak tanggal 2 Desember 2015, PT. Cemindo Gemilang mulai beroperasi di wilayah Bayah, Kabupaten Lebak Banten. Perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 2011 merupakan produsen semen dengan merek dagang Semen Merah Putih, memiliki enam pabrik di Indonesia yang tersebar di wilayah Banten, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Bengkulu. PT. Cemindo Gemilang, merupakan perusahaan patungan antara Gama Grup dengan perusahaan Singapura WH Investment yang berada di dua desa, yakni Desa Darmasari dan Desa Pamubulan, Kecamatan Bayah termasuk dalam wilayah adat Kasepuhan Bayah. Pabrik ini dibangun di atas di ketinggian 100 meter pantai Bayah, diatas lahan seluas 50 hektar, dilengkapi dengan pengaman gelombang tsunami berupa 5 tingkat terasering. Komplek pabrik ini memiliki luas mencapai 3.000 hektar, temasuk tambang, area pelabuhan dan area infrastruktur pendukung lainnya. Lokasi ini juga tidak jauh dari kawasan wisata Pantai Sawarna dan Pulau Manuk. Pemandangan pantai yang indah terhampar dari area pabrik karena letaknya tepat di atas pantai. Melansir media online kontan, perusahaan ini termasuk ke dalam masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dijalankan Pemerintah Indonesia, dengan kredit sindikasi sebesar Rp 5,27 triliun yang berasal dari tiga bank yaitu BNI, BRI dan Bank Bangkok bersama Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Produsen Semen terbesar di Asia Tenggara ini, telah menyerap 4.000 tenaga kerja dan ditargetkan akan memproduksi 3,2 ton semen per tahun, dengan total investasi sebesar Rp 7,8 trilyun. Sebenarnya kehadiran pabrik semen ini untuk siapa? Faktanya, keberadaan pabrik semen justru mengakibatkan kematian bagi kehidupan Masyarakat Adat di Kasepuhan Bayah. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun dari berbagai media online, periode tahun 2013-2019 terdapat 50 pemberitaan tentang aksi protes warga, Temuan kerusakan lingkungan, Sumber mata air dan Hilangnya akses Masyarakat Adat terhadap hutan serta adanya polusi udara yang dihasilkan dari aktifitas angkutan kendaraan berat ataupun aktifitas bongkar muat di dermaga khusus di lokasi yang dulu digunakan nelayan untuk mengambil ikan. Kerusakan lingkungan terparah terjadi di wilayah di Kampung Cipicung yang terguyur kiriman lumpur dari atas perbukitan, diatasnya dimana pabrik ini berdiri. Berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUPT, soal tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas adat maupun masyarakat pada umumnya. Regulasi ini tentu saja memerintahkan perusahaan untuk bertanggung jawab secara sosial, juga mengharuskan perusahaan untuk menjaga kualitas kehidupan dan lingkungan sekitarnya. Namun ternyata, regulasi ini tidak dijalankan oleh perusahaan sebagai syarat beroperasinya perusahaan. Untuk menyikapi kerusakan lingkungan yang semakin buruk, tanggal 17 Maret 2019, Masyarakat Adat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Bayah (JMPB) melakukan upaya penyelamatan lingkungan dengan menggelar aksi berupa penanaman kembali di daerah tangkapan air di Sumber Mata Air Cipicung, pembagian bibit pohon dan pembagian masker gratis. Hal ini, akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi pemerintah untuk segera diselesaikan. Semua pihak harus turun melihat serta melakukan analisa lingkungan dan analisa sosial. Selain itu pemerintah juga harus melakukan evaluasi terhadap kinerja para perusahaan, Jika perlu dilakukan peninjauan ulang atas semua perizinan yang telah diberikan pemerintah kepada perusahan-perusahaan, selain itu sudah saatnya Masyarakat Adat di sekitar kawasan pabrik dilibatkan sebagai pengawas lingkungan dan penerima manfaat yang manusiawi dari keberadaan perusahaan. Henriana Hatra-PDAMAN Bantel Kidul