Menempuh Jalan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat di Kawasan Konservasi
17 Mei 2019 Berita Jakob SiringoringoJakarta, www.aman.or.id - Dua toples kue terletak di atas meja kaca yang dikelilingi buku. Rombongan AMAN dan BRWA duduk di sofa berseberangan mengarah kanan ke sosok yang dijumpai, duduk di sofa tunggal. Seorang di sisi kirinya duduk dengan kursi tambahan. Ia membantu atasannya tersebut selama diskusi termasuk mencatat poin-poin pembicaraan.
Tapi tak seorang pun yang membuka tutup toples. Selasa (14/5) itu memasuki hari ke-10 Ramadan. Semua orang menahan diri menyentuh makanan. Alhasil pembicaraan terfokus pada maksud kedatangan rombongan: perencanaan manajemen kolaboratif.
Sosok yang ditemui adalah Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno.
Rombongan yang dipimpin Deputi III Sekjen AMAN, Mirza Indra menyerahkan laporan workshop Konsolidasi Data Situasi Masyarakat Adat di Kawasan Konservasi dalam Rangka Penyusunan Perencanaan Manajemen Kolaboratif.
Ia menyampaikan bahwa manajemen kolaboratif tersebut bermaksud untuk membangun kerjasama antara Masyarakat Adat dan pihak pengelola kawasan konservasi (balai/resort) di bawah Ditjen KSDAE. Hal ini guna menyelesaikan kasus-kasus yang dialami Masyarakat Adat kala bertemu dengan kehutanan, khususnya di kawasan konservasi.
Salah satu poin rumusan hasil workshop yang dilaporkan kepada Wiratno adalah masih banyak ruang hidup Masyarakat Adat yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi dan menimbulkan konflik berkepanjangan. Data BRWA 2017 mengemukakan bahwa 1,6 juta hektar Wilayah Adat berada di kawasan konservasi.
Inilah yang menjadi acuan mengapa pertemuan ini mengerucut mendesak manajemen kolaboratif untuk menjembatani kasus-kasus yang terjadi dan win-win solution bagi masyarakat, pihak pengelola, dan pemerintah dalam proses pengelolaan kawasan konservasi.
Wiratno menanggapi positif maksud AMAN dengan menekankan bahwa Masyarakat Adat harus dilibatkan dalam proses pengelolaan kawasan konservasi. Serta pentingnya sosialisasi mengenai zonasi di kawasan konservasi terutama zona tradisional. Zonasi tradisional ini berfungsi untuk menekan angka kriminalisasi. Di mana zona tradisional inilah yang bisa diperuntukkan kepada masyarakat penyangga kawasan konservasi untuk dikelola tanpa adanya kriminalisasi.
Menurutnya, kriminalisasi yang sering terjadi di kawasan konservasi sudah seharusnya diakhiri.
Tindak lanjut pertemuan ini sendiri mengacu kepada sosialisasi zonasi tersebut. Rencananya ke depan akan diadakan di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah sebab kawasan tersebut telah mengakomodir zona tradisional untuk masyarakat.
Jakob Siringoringo