Jakarta (17/6/2019), www.aman.or.id - Rancangan Undang Undang Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) hingga kini tak kunjung disahkan. Terakhir RUU ini bergulir di tangan DPR dan menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah. Namun hingga pilpres 2019 berakhir, DIM sirna.

Seperti seluruh publik Indonesia tahu bahwa RUU Masyarakat Adat adalah regulasi paling dasar yang menjamin penghormatan dan pengakuan terhadap Masyarakat Adat dan hak-haknya. Salah satu yang bakal tertangani adalah perihal kasus kriminalisasi.

Kriminalisasi dari era orde baru hingga kini masih berlanjut. Masyarakat Adat dikriminalisasi dalam mengakses sumber-sumber daya yang merupakan haknya. Mereka bahkan diusir dengan dalih merambah yang bukan haknya. Masyarakat Adat, baik di sekitar hutan maupun di pesisir dan pulau-pulau kecil diperlakukan seolah tamu, pendatang di wilayah adatnya sendiri.

Mengacu pada catatan akhir tahun AMAN pada Desember 2018 terungkap setidaknya 262 warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi. Konflik perampasan wilayah adat sendiri terdapat di 128 komunitas adat.

Ini menandakan bahwa marjinalisasi terhadap Masyarakat Adat berlangsung dari waktu ke waktu. Marjinalisasi tidak hanya dalam hak akses terhadap sumber daya, melainkan juga terhadap budaya, sosial, ekologi hingga politik.

Berkaitan dengan marjinalisasi yang dialami Masyarakat Adat dapat kita lihat kembali ke masa lalu. Di sana dituturkan bagaimana pengalaman Masyarakat Adat dimarjinalisasi terutama dalam bungkus narasi “pembangunan”.

Dalam sarasehan hak sosial budaya Masyarakat Adat pada KMAN I, 15 Maret 1999, terungkap bagaimana marjinalisasi terjadi kepada Masyarakat Adat secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Prof. Dr. Kusnaka Adimihardja, Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung, mengatakan bahwa salah satu kebijakan struktural yang menyebabkan marjinalisasi kepada Masyarakat Adat adalah Undang Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Aturan ini, katanya, menjadi awal munculnya disfungsi pemerintahan adat. Di satu pihak kepala desa menjadi penguasa tunggal dan bertindak atas otoritas legal formal. Sementara kepala adat memerintah berdasarkan otoritas informal yang diberikan Masyarakat Adat. Akibatnya, muncul dualisme pemerintahan.

Keretakan antarsesama pun mulai berbenih. Kemudian menjadi konflik dan kelak difasilitasi Departemen Sosial dengan melabeli Masyarakat Adat sebagai “masyarakat terasing” (kini kita tahu di Kemensos masih disebut dengan komunitas adat terpencil / KAT, sebuah pelabelan yang tak beda jauh—red). Cara kerjanya mirip devide et impera-nya kolonial Belanda.

Sibuk konflik dan mengatasinya, Masyarakat Adat dipaksa harus menjadi kelompok penderita guna memenuhi hasrat “pembangunan” penguasa ketika itu. Salah satunya, eksploitasi hutan tak berbatas merebak di luar Jawa. Hal mana penghancuran hutan sangat bertentangan dengan prinsip pengelolaan hutan yang dilakukan Masyarakat Adat secara turun-temurun.

“Bagi mereka (Masyarakat Adat—red), hutan adalah rumah. Kehancuran hutan sama saja kehancuran rumah. Lebih parah lagi, Masyarakat Adat dihalang-halangi untuk mendapat akses ke sumber daya alam,” kata Kusnaka.

Singkatnya marjinalisasi itu mendatangkan serangkaian dampaknya seperti dualisme kepemimpinan, krisis kepemimpinan, urbanisasi, disintegrasi, eksploitasi sumber daya alam dan sebagainya.

Karena itu pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara I tahun 1999, Masyarakat Adat mengatakan dengan tegas jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara. Sekaligus juga pada 17 Maret 1999 wadah perjuangan dibentuk yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). AMAN sejak itu hingga kini bergerak memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat termasuk untuk mengakhiri marjinalisasi terhadap Masyarakat Adat.

Karena itu, payung hukum berupa Undang Undang menjadi suatu keharusan. Sekalipun DIM kini sirna di tangan pemerintah, Masyarakat Adat jalan terus mengampanyekan agar salah satu RUU terpenting di republik ini bisa segera disahkan.

Jakob Siringoringo

Writer : Jakob Siringoringo | Jakarta