Jakarta, www.aman.or.id - Minggu (11/8/2019) pagi hingga siang arena peringatan 20 Tahun AMAN/Hari Masyarakat Sedunia (HIMAS) 2019 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tampak sepi, karena perayaan Hari Raya Idul Adha. Tapi selepas siang, tampak mulai ramai, lebih meriah dari dua hari sebelumnya.

Selain peserta dari komunitas-komunitas masyarakat adat yang tetap mengenakan busana dan atribut adat, banyak pengunjung yang datang menyaksikan dan membeli produk-produk masyarakat adat yang dipamerkan, melihat pameran foto, atau menonton film tentang masyarakat adat. Banyak anak-anak muda yang berpasangan atau berombongan. Banyak juga keluarga yang membawa anak-anaknya.

Salah satu stan yang paling banyak dikunjungi dan banyak peminat adalah lapak penato dari Mentawai Letcu Sipatiti. Sejak hari pertama, dari pagi hingga malam, lapak Letcu tak pernah sepi dari pengunjung dan peminat. Banyak peminat, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Yang antri dengan sabar, menunggu giliran ditato. Banyak pengunjung yang terpesona melihat cara menato ala Mentawai yang unik.

[caption id="attachment_44375" align="alignnone" width="1024"] Karya tangan penato Mentawai / Dok: Surty[/caption]

Belakangan, peminat tato memang makin banyak, terlebih tato bermotif etnik. Letcu tak henti menato. Bahkan pada malam hari ia dipanggil menato ke hotel. Harga tarif menato tergantung motifnya. Letcu memberi gambaran sekitar Rp 700.000,- per jam. “Lumayanlah, Bang,” ujar Letcu sambil tersenyum, mengenai penghasilan selama pameran AMAN.

Menjelang sore, beberapa rombongan dari sekolah adat kembali mempertunjukkan permainan anak-anak dan mengajak pengunjung bermain bersama. Salah satu peserta yang cukup lama bermain adalah anak-anak dari Sekolah Adat Ruma Parsiajaran Inang Nauli Basa dari Tano Batak, pimpinan Juita Manurung.

Makan malam dihari terakhir juga tampak lebih ramai dari biasa. Peserta dari AMAN dan pengunjung ramai-ramai mengerubungi 15 meja makanan di bawah tenda beratap daun kelapa. Menu utama malam itu adalah ikan patin asap, rendang daging, dan ikan teri, dengan aneka sayuran. “Hebat AMAN ini, bah. Tiga hari, orang tidak pernah kekurangan makanan,” kata seorang seniman teater selama tiga hari mengikuti acara di TIM itu.

[caption id="attachment_44376" align="alignnone" width="1024"] Permainan Lappedang / Dok: Khaeruddin[/caption]

Panggung Perlawanan Masyarakat Adat

Menjelang pertunjukan kesenian dan musik, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi naik ke panggung, mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta dan yang terlibat membantu perhelatan AMAN selama tiga hari. Rukka lalu memanggil seluruh peserta yang berasal masyarakat adat luar negeri naik panggung.

Myrna Cunningham Kain dari Pawanka Fund, mewakili peserta dari Timor Leste, Malaysia, Taiwan, India, Hawai, Nikaragua, Mexico, Kolombia, dan Afrika mengucapkan terima kasih atas undangan dan keramahan penyambutan masyarakat adat di Indonesia. Juga karena telah diberi kesempatan ke komunitas masyarakat adat di Sungai Utik, Kalimantan Barat, dan Toraja, Sulawesi Selatan. Ungkapan dan ekspresi terima kasih dan senang mereka tampak sungguh-sungguh.

[caption id="attachment_44380" align="alignnone" width="1024"] Myrna Cuningham dari Pawanka Fund menyampaikan sambutan terakhir peringatan 20 Tahun AMAN / Dok: Nura[/caption]

Setelah menikmati makan malam, semua masyarakat adat yang hadir dalam perayaan HIMAS dan ulang tahun ke-20 AMAN berkumpul di Taman Ismail Marzuki (TIM). Dua buah panggung disediakan oleh panitia sebagai tempat pertunjukan seni dan budaya masyarakat adat. Panggung budaya ini diisi oleh para seniman masyarakat adat, serta menunjukkan kepada dunia mengenai kekayaan pengetahuan masyarakat adat berupa tarian, musik, puisi, dan lain-lainnya.

Panggung budaya ini merupakan puncak kegiatan yang telah dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Tampak, para peserta sangat antusias dan senang menikmati panggung ini. Sejumlah peserta saling sapa dan mengambil beberapa foto bersama.

Acara dalam panggung ini dimulai dengan pembacaan puisi, pantun, dan tarian khas masyarakat adat. Puisi dan pantun yang dibacakan dalam panggung ini berisi mengenai perjuangan dan perlawanan masyarakat adat di seluruh Indonesia. Ketika puisi dan pantun dibacakan, para peserta yang hadir terdiam. Tidak banyak suara terdengar. Namun, setiap akhir pembacaan puisi dan pantun, semua peserta meneriakkan “hidup masyarakat adat”.

[caption id="attachment_44377" align="alignnone" width="768"] Asdem - Tindoki / Dok: Nurdiyansah Dalidjo[/caption]

Selain itu, sejumlah lagu-lagu perjuangan yang dibawakan dalam acara ini turut membangun semangat para peserta yang hadir. Lagu-lagu perjuangan yang dinyanyikan dalam panggung mencerminkan dan melukiskan kehidupan serta perjalanan perjuangan masyarakat adat di Nusantara.

Panggung kesenian ini diakhiri dengan lagu “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita” yang dibawakan oleh Dadang ‘Pohon Tua’. Ditengah lagu, para pemuda naik ke panggung dan menyanyikan lagu Siapa Lagi Kalau Bukan Kita dengan bahasa daerah masing-masing, dari Sumatera sampai Papua.

Nestor Tambun & Lasron P. Sinurat

Writer : Nestor Tambun dan Lasron P. Sinurat | Jakarta