Human Rights Watch Desak Pemerintah Sahkan RUU Masyarakat Adat
23 September 2019 Berita Eustobio RenggiJakarta, 23 September 2019 – Human Rights Watch (HRW) bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyelenggarakan konferensi pers peluncuran buku berjudul “Kehilangan Hutan Berarti Kehilangan Segalanya; Perkebunan Kelapa Sawit dan Pelanggaran HAM di Indonesia” bertempat di Hotel Century Park, Jakarta.
Acara peluncuran buku tersebut menghadirkan empat narasumber, diantaranya; Heather Barr (acting co-director, women’s rights division - HRW), Erasmus Cahyadi (Deputi II Sekjen AMAN Urusan Politik), Devi Anggraini (Ketua Umum PEREMPUAN AMAN), dan Robert Aritonang (KKI WARSI).
Dalam penjelasannya, Heather menyampaikan bahwa buku tersebut menguraikan betapa tambal-sulam undang-undang yang lemah dan diperburuk oleh minimnya pengawasan pemerintah, serta kegagalan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam memenuhi uji tuntas hak asasi manusia yang telah mengakibatkan pelanggaran ham terhadap Masyarakat Adat di Provinsi Jambi dan Kalimantan Barat.
“Dari publikasi buku ini, kami merekomendasikan tiga hal kepada pemerintah Indonesia untuk: Pertama, segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat dan hak-haknya. Kedua, Pemerintah Indonesia perlu merevisi sistem pembangunan sawit berkelanjutan Indonesia yang selaras dengan standar HAM internasional, termasuk memantau pelanggaran HAM yang dialami Masyarakat Adat. Ketiga, mengatur penyelesaian (resolusi) konflik sebagai strategi jangka panjang untuk penyelesaian sengketa”, kata Heather.
Selanjutnya, Erasmus Cahyadi, menyampaikan bahwa dari isi buku tersebut sangat berkontribusi terhadap resiko yang tidak terhitung jumlahnya terhadap Masyarakat Adat, khususnya perempuan adat dan anak-anak, bahkan sampai pada kriminalisasi serta penghancuran identitas budaya di Masyarakat Adat.
“Laporan yang disajikan ini juga merepresentasikan hampir ratusan kasus yang terjadi di Masyarakat Adat. Selain itu, dua kasus yang disajikan ini (Semunying-Kalbar dan Suku Anak Dalam-Jambi) juga merupakan hasil investigasi Inkuiri Nasional Komnas HAM. Tapi persoalannya, sudah lima tahun lebih rekomendasi tersebut belum dilakukan oleh pemerintah, kecuali di Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat dimana pemerintah daerahnya membentuk Peraturan Daerah Masyarakat Adat”, kata Eras.
“Sawit bukanlah segala-galanya. Pemujaan yang berlebihan terhadap sawit merupakan hal yang sangat berlebihan. Sawit telah menimbulkan ketidakjelasan hidup bagi Masyarakat Adat, termasuk perempuan adat dan anak-anak selama kurang lebih 10 tahun terakhir”, lanjut Eras.
Devi Anggraini menyoroti soal dinamika yang terjadi di komunitas adat Semunying yang menjadi lokasi investigasi dari laporan buku tersebut, diantaranya rekomendasi Komnas HAM RI terhadap legalisasi ijin perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Semunying dan mekanisme FPIC (Free Prior Informed Consent), yang mana hal tersebut praktis tidak pernah dilakukan terhadap Masyarakat Adat, dan sangat berdampak pada hak-hak hidup perempuan adat di komunitas adat.
“Hal lain yang terjadi, bahwa pemerintah belum punya kementerian khusus yang mengurusi terkait Masyarakat Adat, sehingga program-program untuk Masyarakat Adat sekarang ini menyebar hampir di semua kementerian”, lanjut Devi.
“Dampak dari masuknya sawit di wilayah adat telah berdampak pada terjadinya individualisasi hak dari masyarakat adat itu sendiri, sehingga menimbulkan terjadinya konflik horizontal di Masyarakat Adat semunying. Dan sawit adalah akhir dari kehidupan perempuan adat”, kata Devi.
Robert Aritonang pada kesempatan tersebut menyoroti situasi yang terjadi di Orang Rimba yang juga merupakan lokasi investigasi buku tersebut.
“Dari setiap pendampingan terhadap Orang Rimba selama ini, tuntutan mereka sangat jelas. Pertama, tidak ada perpanjangan ijin PT SAL dan kedua, PT SAL harus kembalikan tanah ulayat Orang Rimba”, kata Robert.
Selain menyampaikan rekomendasi kunci kepada pemerintah Indonesia dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, buku “Kehilangan Hutan Berarti Kehilangan Segalanya” tersebut juga memuat rekomendasi kepada para pihak, antara lain negara-negara importir sawit dan lembaga-lembaga donor. Adapun rekomendasi kepada negara-negara importir minyak sawit, yakni mewajibkan transparansi dari perusahaan-perusahaan mengenai rantai pasokan minyak sawit mereka. Selain itu, rekomendasi yang ditujukan kepada lembaga donor, yakni Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lain sebaiknya mendukung pemerintah Indonesia dalam menjalankan reformasi yang diperlukan demi melindungi hak-hak Masyarakat Adat atas tanah.
Eustobio Renggi