Melawan Imperialisme Budaya, Memperkokoh Identitas Masyarakat Adat
08 Oktober 2019 Berita Eka HindratiJakarta, www.aman.or.id - Di hari kedua acara Idea Fest 2019, yang merupakan ajang pertemuan dunia kreatif lintas bidang yang dihadiri ribuan generasi milenial lintas profesi, digelar diskusi bertajuk, “Meet My Brothers & Sisters, The Pride of the East,“ hadir sebagai narasumber Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi, Chef jungle of Papua Charles Toto dan Penyanyi Papua jebolan Indonesian Idol tahun 2004 Michael Jakarimilena, di Jakarta Covention Center (05/10).
Diskusi ini menjadi sumber informasi penting bagi generasi milenial perkotaan. Selama ini mereka hanya mendengar situasi Indonesia timur melalui media-media yang belum tentu membawa informasi yang akurat.
Pertemuan ini menarik minat generasi milenial yang datang karena berbicara soal kebangkitan generasi muda untuk kembali menggali budaya lokal sebagai kekuatan identitas Masyarakat Adat melawan imperialisme budaya.
Michael Jakarimilena, menggunakan talenta musiknya untuk menggali kembali budaya Papua dengan membentuk grup band bernama Nogei. Ia bersama dua rekannya mengusung lagu-lagu bertemakan dan berbahasa Papua sejak 8 Oktober 2015.
Menurut Michael, mulanya nama grup bandnya adalah Pacenogei, lalu tahun 2019 berubah menjadi Nogei yang artinya sobat atau sahabat berasal dari bahasa Enoratoli, Paniai mendapat reaksi keras dari kepala adat di Paniai. Sebelum tahun 2000, Nogei adalah kata rasis yang dipakai untuk merendahkan dan mengejek orang-orang Papua.
Hal ini membuat trauma mendalam bagi rakyat Papua. Sang kepala adat, sempat membuat ultimatum, usai diadakan pertemuan para tetua-tetua adat di Paniai untuk memperkarakan Michael dan rekan-rekannya di Jakarta. Mereka dianggap melukai hati rakyat Papua, dengan membangkitkan kembali stigma negatif melalui pemakaian kata Nogei.
“Melalui Nogei ini kita sepakat bahwa kita ingin membuat album ini untuk Papua, kita ngga ambil apapun, mulai ide, kreatifitas lagu rekaman sampai produksi segala macam, kita jual semuanya kita kembalikan, untuk support pendidikan dan kesehatan,” ungkap Michael.
Usai rekaman, Band Nogei mengirimkan hasil karya mereka dalam bentuk CD ke tujuh suku besar di Paniai, sebagai bukti bahwa ia dan rekan-rekannya justru ingin memulihkan kembali kata Nogei menjadi makna yang positif melalui karya-karya mereka yang telah eksis sampai ke manca negara.
Menggali kekayaan kebudayaan lokal juga dapat dilakukan melalui makanan, seperti yang dilakukan Charles Toto, yang akrab dipanggil Chato. Ia seorang koki yang berkeliling dari hutan ke hutan Papua untuk memasak dengan moto yang diusungnya, “Hutan, adalah pasar bagi orang Papua tanpa mengeluarkan uang,” ia telah membuktikan hal tersebut.
“Jadi, saya selama melakukan food mapping, mendata makanan lokal endemik Papua, hampir tidak menggunakan duit, karena modal disana adalah modal kasih, orang Papua, apalagi ibu-ibu, kita sudah masak sesuatu, “Oh, anak, kau jalan saja, pergi ke sini, kita tidak butuh uang untuk harus dayung dari satu desa, atau transportasi, itu dilakukan karena kasih tadi, jadi saya istilahnya nepotisme kasih,” kata Charles.
Charles mengawali karir sebagai seorang koki di hotel Jayapura. Tahun 1997, ia melihat banyak tamu asing yang berkunjung ke Papua, dan mengalami kesulitan makanan selama ekspedisi berlangsung di hutan-hutan. Ia kemudian berfikir kreatif untuk memasak makanan di hutan bagi tamu-tamunya, dengan jenis dan cara masaknya sesuai dengan wilayah hutan yang disinggahi.
Lebih jauh, Charles juga menyoroti terjadinya pergeseran budaya pangan di Papua, hal ini jika dibiarkan berlangsung akan memusnahkan tanaman sagu sebagai makanan pokok orang Papua, menurutnya, sagu adalah bagian penting dari kedaulatan pangan lokal.
Kini sebagian besar generasi muda di Papua mengganggap bahwa semua hal yang datang dari kota besar seperti Jakarta lebih modern, baik gaya berpakaian maupun pola pangan, dari pola makan sagu beralih ke makan nasi. Akibatnya kini masyarakat Papua hidupnya tergantung dari nasi.
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi melihat soal pergeseran budaya yang telah diungkap oleh kedua pembicara sebelumnya, merupakan imperialisme budaya yang sudah berlangsung sejak penjajahan bangsa Eropa di bumi nusantara pada abad ke-18.
“Kita ini sebenarnya korban, biasanya orang menyebutnya terlalu tinggi kalau kita menyebutnya imperialisme budaya, Tapi sesungguhnya itu yang terjadi, mulai dari sejarah, penjajahan eropa kuno sampai sekarang pun terus terjadi, reproduksi mengerdilkan pemikiran lokal justru cara pandang lokal terhadap diri sendiri, itu terus terjadi,” ungkap Rukka.
Lebih jauh Rukka mengatakan, bahwa propaganda besar-besaran soal penyeragaman pangan dilakukan sesudah tahun 1970, korban yang paling serius adalah masyarakat-masyarakat yang makanan pokoknya bukan nasi. Saat ini, sagu diambang kehancuran, secara perlahan-lahan banyak perusahaan perkebunan sawit masuk, pemerintah membuat program mencetak sawah di Papua, tanpa belajar soal budaya pertanian orang Papua.
“Tujuannya supaya masyarakat didokrin, bahwa kamu baru jadi manusia kalau sudah makan nasi, kalau di Maluku dan Papua, dulunya disebut makanan camat, camat itu maksudnya Indonesia, orang kulit putih, rambut lurus, itu disebut makanan camat. Nah secara langsung tadi disebutkan oleh Michael dan Charles contohnya, bahwa memang kita dilatih untuk tidak bangga dengan apa punya kita sendiri,” jelas Rukka.
Akibatnya, terjadi tekanan sosial yang besar, dimana ada masyarakat yang masih makan sagu dilakukan secara diam-diam, untuk menghindari rasa malu jika terlihat oleh tetangga. Sehingga ada masanya, sagu diperdagangkan secara diam-diam.
Rukka juga menjelaskan hal yang sama terjadi di Maluku, penyeragaman doktrin pangan dilakukan melalui ritual keagamaan, nasi diperkenalkan di Maluku sebagai makanan istimewa, sehingga nasi dimakan pada saat istimewa, seperti usai ibadah sholat jumat bagi umat Islam dan usai ibadah minggu di gereja untuk umat Kristen.
Hal ini mengakibatkan masyarakat dengan makanan pokok sagu, umbi, jagung dan pisang dipaksa beralih ke makan nasi, disertai dengan stigma sosial bahwa makan nasi akan memperoleh status sosial yang lebih tinggi. Padahal faktanya, lahan sagu di wilayah Papua meliputi 50 % dari lahan sagu di seluruh dunia, dan 90% lahan sagu di Indonesia ada di daratan Papua, artinya sebenarnya orang Papua bisa sangat kaya meski hanya mengelola dan memanfaatkan sagu-sagu Papua saja.
Pangan ‘timur’ mengalami peminggiran secara sistematis oleh nasi-ism dan swasembada beras jaman orde baru, kemudian melalui konversi wilayah adat menjadi perkebunan, tambang dan pariwisata. Tanpa pengakuan dan perlindungan Hak Masyarakat Adat, makanan nusantara, khususnya dari kawasan timur hanya akan tinggal sejarah.
Rukka berharap, anak muda di seluruh Indonesia, khususnya di kota-kota akan terus lahir anak-anak muda seperti Charles Toto dan Michael Jakarimilena, yang sungguh-sungguh mau kembali menggali kebudayaan lokal untuk mengembalikan rasa percaya diri generasi muda untuk bangga dengan dirinya sendiri.
Eka Hindrati-Infokom PB AMAN