Oleh Apriadi Gunawan

Seorang aktivis Masyarakat Adat bernama Markus Galagoy, lari tergopoh-gopoh menuju hutan. Tubuhnya melesat jauh meninggalkan dua sosok pria berambut cepak yang mengancamnya dengan senjata api laras pendek.

Kronologi Penodongan

Kala itu, Markus berhasil mencuri kesempatan untuk kabur dari dua pria yang diduga intel dari salah satu institusi keamanan di negeri ini. Keduanya diduga bermaksud hendak “membawa” Markus.

“Kutembak kau. Naik!” demikian hardik seorang pria dari atas sepeda motornya sembari mengarahkan senjata api laras pendek ke arah kepala Markus. Markus menuturkan kalau pria tersebut memintanya untuk naik ke sepeda motornya.

Markus tak gentar. Dia balas menyentak pria tersebut: “Silahkan tembak!” Jawaban Markus membuat si penodong pistol agak kecut. Lalu, dia turun dari boncengan sepeda motor rekannya.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Markus. Dalam hitungan detik, Markus yang memiliki tubuh atletis berhasil kabur memanfaatkan kelengahan si penodong saat turun dari sepeda motor. Markus langsung lari lewat jalan berumput ke arah hutan. Tak ingin kehilangan tangkapannya, si penodong berteriak meminta Markus berhenti.

“Berhenti! Aku tembak nanti,” sahut pria tersebut dari kejauhan.

Sambil lari, Markus menjawab, “Ayo, kalau berani tembak!”

Pria itu tak bergeming. Markus pun berhasil menghilang masuk ke arah hutan yang berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi bandara.

Dua pria pengendara sepeda motor itu tidak menyerah. Keduanya menyisir kawasan hutan dari sisi luar. Mereka terus memantau pergerakan Markus dari luar kawasan hutan.     

“Mereka terus berusaha menangkap saya tapi gagal,” kata Markus yang saat itu sembunyi di salah satu rumah temannya usai keluar dari hutan.

Markus mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi pada tanggal 18 Oktober 2021 tersebut, selalu menghantui pikirannya hingga kini. Markus mengaku trauma dengan peristiwa tersebut. “Sampai sekarang saya masih trauma,” ujarnya saat dihubungi pada Kamis (13/11/2021).

Bahkan, Markus mengaku tidak berani keluar rumah sendirian saat ini. Markus selalu mengajak rekannya jika hendak bepergian keluar rumah. Sementara untuk bepergian ke tempat keramaian, seperti pengadilan, Markus tidak takut karena ada banyak orang.

Markus menyatakan bahwa itu menjadi pengalaman pertama dirinya ditodong senjata api. Menurutnya, pengalaman itu sangat menakutkan sekaligus membingungkan. Ia mengaku tidak tahu apa kesalahan dirinya, sehingga ada orang yang hendak mengincarnya, bahkan mengancam membunuhnya dengan senjata api.

“Terus terang saya heran,” ungkap Markus. “Apa salah saya? Mengapa sampai begitunya pelaku mengancam saya dengan senjata api?”

Markus mengaku kalau ia kenal dengan pelaku yang menodongkan senjata api ke kepalanya. Menurut dugaannya, pelaku kemungkinan adalah seorang intel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang selama ini sering terlihat hilir mudik mengamati persidangan gugatan Masyarakat Adat Marafenfen di Pengadilan Negeri Dobo. Namun, sejak peristiwa penodongan senjata, sosok itu tidak pernah lagi terlihat di sana.

“Dua kali sidang terakhir ini, pelaku tidak pernah lagi terlihat di persidangan. Biasanya, pelaku selalu hilir mudik di persidangan,” ungkap Markus sambil menerangkan pelaku yang selalu berpakaian sipil saat hadir di persidangan.

Markus bukan satu-satunya aktivis Masyarakat Adat yang pernah diteror dengan senjata api. Ada aktivis lain di Dobo, Kepulauan Aru, yang juga pernah mengalami hal serupa. Para aktivis di sana diteror karena kerap membela hak Masyarakat Adat Marafenfen yang digerogoti oleh TNI AL.

Nahum Djerol, Koordinator Aksi Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Peduli Tanah Adat Garjuir, mengaku pernah ditodong senjata api oleh sosok yang diduga adalah aparat TNI AL. Pria berusia 22 tahun itu bercerita bahwa peristiwa tersebut terjadi pada awal Oktober 2021 lalu saat dirinya sedang mengendarai sepeda motor. Di belakangnya, ada tiga pengendara sepeda motor yang membuntutinya. Nahum bersama rekannya curiga karena terus diikuti.

Saat itu, malam hari sekitar jam 11.30 malam waktu setempat. Jalanan masih ramai, sehingga pengendara yang membuntuti tidak berani berbuat apa-apa, kecuali hanya menyelip sepeda motor yang dikendarai Nahum.

Sontak Nahum terkejut sambil berteriak keras. Nahum pun mempercepat laju kendaraannya. Setibanya di Jalan Ali Moertopo di Dobo, jalanan gelap dan sunyi. Salah seorang pengendara yang tak dikenalnya itu tiba-tiba menghentikan laju kendaraan sepeda motor Nahum. Kemudian, seorang pria lain yang duduk di belakang sepeda motor itu, menodongkan senjata api ke kepala Nahum. Penodong tersebut tidak menyatakan apa pun, melainkan menanyakan mengapa ia berteriak saat sepeda motornya disalip. Nahum sudah menjelaskan bahwa dirinya terkejut karena disalip tiba-tiba oleh mereka. Namun, jawaban itu tidak memuaskan penodong. Senjata tetap diarahkan ke Nahum.

Nahum tidak gentar. Dia justru memegang ujung senjata yang diarahkan ke kepalanya. Dalam situasi menegangkan itu, tiba-tiba magasin (tempat penyimpanan peluru) senjata tersebut, terjatuh. Pria itu lantas berusaha mengambil magasin yang terjatuh itu. Sedikit butuh waktu baginya untuk bisa menemukan magasinnya karena malam itu situasi gelap gulita dan tidak ada lampu yang hidup di jalanan. Anehnya, setelah magasin didapat, pelaku buru-buru pergi bersama rekannya untuk meninggalkan Nahum. Padahal, pelaku belum sempat memasang magasinnya.

Nahum menyatakan kenal dengan pelaku yang menodongkan senjata tersebut. Menurut dugaannya, sosok itu sering datang ke pengadilan untuk mengamati jalannya sidang gugatan Masyarakat Adat Marafenfen terhadap TNI AL. Bahkan, Nahum pernah melihat pelaku mengenakan seragam saat mengawasi unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Dobo.

“Saya tahu persis orangnya, namanya. Dia pernah pakai seragam Polisi Militer TNI AL saat mengawasi saya memimpin unjuk rasa di Pengadilan Negeri Dobo,” kata Nahum saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Sabtu (13/11/2021).   

Nahum mengakui pernah membeberkan tindakan intimidasi yang dilakukan pelaku dalam sebuah orasi saat unjuk rasa. Orasi itu didengar langsung oleh pelaku dan kawan-kawannya.

“Tolong jangan diteror! Kami siap mati. Kami tidak pernah melawan negara dan TNI. Kami hanya minta hak kami atas tanah adat yang dirampas (agar) dikembalikan,” ungkap Nahum.

Nahum mengatakan bahwa ia pernah mempertanyakan langsung tindakan intimidasi tersebut kepada pihak TNI AL, namun tidak pernah direspon.

“Dua kali pernah kami sampaikan, tapi tidak ada tanggapan,” tandas Nahum.

Pihak TNI AL sejauh ini belum memberi konfirmasi soal kasus penodongan senjata terhadap aktivis Marafenfen tersebut.  

Kecaman atas Intimidasi dan Tindak Kekerasan

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengecam keras tindakan oknum aparat negara TNI AL yang menodongkan senjatanya ke arah dua orang aktivis Marafenfen di Kepulauan Aru. Menurutnya, kasus penodongan senjata terhadap dua aktivis di Kepulauan Aru yang membela hak Masyarakat Adat Marafenfen itu, tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun.

“Ini serangan terhadap hak asasi manusia dan serangan terhadap upaya penegakan hak Masyarakat Adat,” kata Rukka pada Sabtu (13/11/2021).

Rukka juga menegaskan bahwa serangan itu merupakan bentuk intimidasi dan kekerasan dalam upaya untuk membatasi kebebasan berekspresi.

“Paling bermasalah dalam hal ini,” lanjut Rukka, “perbuatan tersebut dilakukan oleh aparat negara, dilakukan oleh oknum TNI AL yang mestinya berada di depan dalam melindungi hak rakyat Indonesia, termasuk Masyarakat Adat. Ini menjadi kelihatan bahwa itu (adalah) bentuk intimidasi. Karena dalam kasus yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Dobo saat ini, yang menjadi tergugat dalam kasus tersebut, adalah TNI AL.”

Rukka mengatakan bahwa itu menjadi tendensi yang sangat buruk karena aparat negara menggunakan infrastruktur negara, - alat-alat negara yang dibayar dari pajak rakyat, dari uang negara - untuk melakukan kekerasan terhadap Masyarakat Adat.

Sementara itu, Koordinator KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Fatia Maulidiyanti mengatakan, kasus intimidasi yang dilakukan aparat keamanan negara terhadap para aktivis Marafenfen, bukan yang pertama terjadi. Sebelumnya, pernah ada kasus Rumpin, kasus Wadas, dan lainnya. Ia menyatakan bahwa munculnya beragam kasus intimidasi tersebut, menandakan kalau selama ini penegakan hukum tidak berjalan di tubuh aparat keamanan negara.

“Personel militer yang bersalah, tidak pernah diberikan hukuman yang memberi efek jera. (Padahal,) seharusnya dihukum berat, sehingga menimbulkan efek jera,” kata Fatia saat dihubungi Senin (15/11/2021).

 Menurutnya, kultur kekerasan yang terjadi di tubuh militer selama ini tidak pernah ada mekanisme korektif dan keadilan. Akibatnya, kasus-kasus intimidasi yang melibatkan aparat militer dalam bentuk kekerasan, muncul di mana-mana. Fatia menandaskan kalau hal tersebut harus diakhiri. Masalahnya, kata Fatia, setiap kali terjadi konflik, maka yang selalu dikalahkan adalah masyarakat.

“Itu yang menyulitkan. Pada kebanyakan konflik tanah ulayat, selalu masyarakat yang dikalahkan,” ujarnya.

Fatia berharap seharusnya itu tidak terjadi pada Masyarakat Adat Marafenfen. Ia pun meminta Majelis Hakim bisa bersikap independen dengan mengedepankan fakta persidangan dalam mengambil keputusan.

Masyarakat Adat Marafenfen menggugat Gubernur Maluku, TNI AL, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) ke Pengadilan Negeri Dobo pada akhir Maret 2021. Upaya hukum tersebut ditempuh oleh Masyarakat Adat Marafenfen setelah perjuangan untuk mendapatkan hak atas tanah mereka, tidak membuahkan hasil.  

Pada 1991, TNI AL telah masuk menguasai lahan milik Masyarakat Adat Marafenfen disusul dengan terbitnya Sertifikat Hak Pakai Nomor 01/Marafenfen tanggal 13 Februari 1992.  Padahal, wilayah yang dikuasai TNI AL itu merupakan lahan milik Masyarakat Adat yang digunakan untuk kegiatan berkebun, mengambil sarang burung walet, serta menjadi wilayah perburuan binatang liar, seperti babi, rusa, dan lainnya, di mana dari sanalah Masyarakat Adat memperoleh sumber penghidupan, termasuk membiayai pendidikan anak-anak.

Kawasan tersebut juga menjadi tempat hidup satwa liar yang dilindungi, seperti cendrawasih, kakatua jambul kuning, dan kakatua raja.  Setelah TNI AL masuk ke lahan itu tahun 1991, Masyarakat Adat mengaku bahwa mereka tidak lagi bisa beraktivitas bebas di lahan tersebut.

Rencananya, lahan milik marga Bothmir yang dikuasai TNI AL itu akan digunakan untuk membangun lapangan terbang dan berbagai fasilitas lainnya. Perkara gugatan penyerobotan lahan milik Masyarakat Adat Marafenfen itu, sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Dobo. Majelis Hakim yang menyidangkan perkara, akan mengambil keputusannya pada 17 November 2021.

***

Writer : Apriadi Gunawan | Jakarta
Tag : Masyarakat Adat Marafenfen TNI AL Markus Gaelagoy