Masyarakat Adat Desak Pemerintah Tutup TPL
26 November 2021 Berita Apriadi GunawanÂOleh Apriadi Gunawan
Masyarakat Adat dari Tano Batak yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL mendesak pemerintah untuk mencabut izin operasional PT Toba Pulp Lestari (TPL) karena diduga telah merugikan negara, melakukan berbagai pelanggaran hukum, serta melakukan deforestasi yang memicu terjadinya rentetan bencana ekologis.
Masyarakat Adat yang datang dari Kabupaten Toba, Simalungun, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara itu meminta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan untuk mengembalikan tanah adat mereka yang telah dirampas TPL. Selain itu, juga meminta penghentian kriminalisasi dan intimidasi kepada Masyarakat Adat Tano Batak.
“Bapak orang Batak, kami orang Batak, manfaatkan jabatan Bapak itu untuk menolong kami! Ini maksudnya bukan KKN, tapi untuk bela yang benar. Kami ini yang benar,” kata Mangitua Ambarita, salah seorang tokoh Masyarakat Adat dari Tano Batak saat berorasi di depan gedung Kemenko Marves di Jakarta pada Rabu (24/11/2021).
Mangitua mengaku pernah bertemu dengan Luhut Binsar Panjaitan. Dalam pertemuan tersebut, ia dan kawan-kawan lain diarahkannya untuk mengumpulkan segala bukti kepemilikan tanah adat yang dirampas TPL.
“Menteri Luhut, kita sudah pernah bertemu sekali. Tolong bantu kami kembalikan tanah adat kami! Tutup TPL!” Mangitua juga meminta Menko Marves itu untuk mencabut izin konsesi TPL dan mengembalikannya ke Masyarakat Adat sebagai pemilik wilayah adat di sana.
Mangitua menceritakan bahwa sejarah kepemilikan tanah adat Sipahoras di Tano Batak sejak tahun 1800, sudah diduduki oleh Masyarakat Adat. Menurutnya, di zaman penjajahan Belanda, dari turunan opung (leluhur) Masyarakat Adat, itu telah dipinjamkan ke Pemerintah Hindia Belanda dengan janji akan ditanami pohon pinus. Setelahnya, panen pinus akan dibagi ke masyarakat. Tapi, sebelum panen terjadi, Indonesia merdeka.
“Setelah merdeka, tanah kami bukan dikembalikan ke Masyarakat Adat, tapi diambil oleh negara dan diserahkan ke TPL. Di sini yang kami sayangkan, jadi keadilan belum ada,” ungkap Mangitua.
Mangitua menuturkan bahwa sejak itu Masyarakat Adat mulai menuntut tanah di dalam wilayah adat dikembalikan pada 1998. Atas tuntutan tersebut, DPRD setempat sempat turun ke lokasi tahun 2000. Masyarakat Adat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah leluhur Masyarakat Adat Batak kepada DPRD, seperti adanya kuburan, kolam, dan bambu-bambu.
Menurut Mangitua, bupati yang menjabat saat itu telah mengakui bahwa tanah yang ditunjukkan tersebut, adalah milik Masyarakat Adat. Namun, pihak bupati berkilah dengan mengutarakan bahwa pihak yang berwenang untuk memasukkan tanah adat itu, bukan Pemerintah Kabupaten, tapi Pemerintah Pusat.
Mangitua menduga ada keanehan di balik pernyataan bupati tersebut. Sebab, saat itu, yang mau diserahkan kepada Masyarakat Adat hanya 150 hektar dari total seluas 2.050 hektar.
“Kami tidak mau. Kita bukan meminta-minta tanah, (tapi) kita menuntut kembali tanah opung kami, sehingga kami diarahkan ke (Pemerintah) Pusat,” kata Mangitua.
Maka, pada 2018, perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya. Dalam pertemuan itu, Siti Nurbaya menyatakan kepada Masyarakat Adat agar itu didaftarkan ke Badan Registrasi Wilayah Adat karena itu salah satu syarat untuk mendapat kembali wilayah adat. Menurut Mangitua, arahan tersebut sudah dijalankan dan sudah keluar sertifikat tahun 2019. Anehnyaa, menurutnya, ketika keluar sertifikat pengakuan tanah Sipahoras sebagai tanah adat, tapi dari hutan negara belum dilepaskan.
“Ini ibarat ular,” katanya dengan nada kesal. “Dipegang ekornya, dilepas kepalanya. Diakui hutan adat, tapi tidak dilepaskan dari hutan negara. Ada apa ini? Ini bohong-bohongan!”
Mangitua mengaku pernah ditangkap polisi pada 2004 karena melawan aksi perampasan tanah adat yang disertai dengan tindak kekerasan oleh pegawai TPL. Ia pun mengecam sikap polisi yang tidak profesional dalam mengatasi konflik karena berpihak pada TPL.
“Polisi jangan pro-TPL! Mengapa kami terus (yang) ditangkapi?” Mangitua pun menuding aparat penegak hukum di Tano Batak yang diduga telah bersekongkol dalam membela TPL.
Ia mengaku punya bukti tentang persekongkolan itu. Waktu dirinya ditangkap dan minta penangguhan sementara, aparat penegak hukum ajukan syarat. Ia bilang, “Bapak, jangankan penangguhan, hari ini Bapak bisa bebas. Syaratnya buat pernyataan bahwa itu tanah bukan tanah leluhur dan tidak menuntut sampai kapan pun. Ini bukti persekongkolan tersebut.”
Roganda Simanjuntak, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Tano Batak, turut berorasi dalam aksi unjuk rasa meminta Luhut Binsar Panjaitan untuk segera memproses tuntutan tutup TPL yang diajukan oleh Masyarakat Adat. Roganda mengatakan bahwa sudah menjadi tugas pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya dan menindak tegas perusahaan yang melanggar di republik ini.
“Kami sudah mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh TPL. Perusahaan yang sudah beroperasi 30 tahun ini, telah menyengsarakan rakyat, bahkan merugikan negara. Kalau TPL merugi, (maka) untuk apa dipertahankan. Lebih baik perusahaan ini ditutup,” ujar Roganda.
Ia menjelaskan bahwa ada banyak persoalan yang diakibatkan oleh kehadiran TPL di kawasan Danau Toba, di antaranya perampasan tanah yang menghilangkan ruang hidup dan identitas Masyarakat Adat di Tano Batak, penghilangan sumber ekonomi keluarga, pengrusakan lingkungan, kriminalisasi, deforestasi yang memicu rentetan bencana ekologis, dugaan manipulasi dokumen ekspor yang merugikan negara, serta dugaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) di wilayah konsesi.
“Persoalan yang banyak ini harusnya sudah lebih dari cukup bagi pemerintah untuk segera mencabut izin operasional TPL,” ujarnya.
Menanggapi tuntutan Masyarakat Adat, Dirhansyah Conbul selaku Sekretaris Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves mengatakan, semua aspirasi akan disampaikan kepada pimpinan. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah sangat terbuka dengan kebijakan yang perlu dikoreksi.
“Dari banyak kebijakan, tentu tidak semua menyenangkan semua pihak. Dalam konteks TPL ini, kami tidak sendiri. Kita sama-sama mengawal, mencoba melihat kembali kebijakan apa yang bisa kita perbaiki. Tidak ada negara yang ingin menyengsarakan rakyatnya,” kata Dirhansyah.
***