Oleh: Sepriandi dan Anasrullah

Keberadaan Sekolah Adat dianggap punya peranan penting sebagai sarana untuk mentransmisikan pengetahuan tradisional Masyarakat Adat, meliputi pengetahuan tentang pangan lokal, obat tradisional, sistem pertanian, dan teknologi pengelolaan air kepada generasi muda.

Hal ini diungkap oleh para pemateri dalam dialog publik bertajuk “Pendidikan Adat-Solusi Krisis Iklim” usai pembukaan Musyawarah Besar (Mubes) Sekolah Adat Nusantara di wilayah adat Olehsari, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada Senin, 12 Agustus 2024.

Dialog yang dipandu oleh Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi ini menghadirkan beberapa pembicara diantaranya US Special Envoy bidang Masyarakat Adat Prof. Kyle Whyte, Kepala Organisasi Riset Bahasa dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Herry Yogaswara, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat-Kemendikbudristek Sjamsul Hadi, Ketua PHD AMAN Osing Wiwin Indiarti.

Prof. Kyle Whyte dalam paparannya menyatakan bahwa sistem pengetahuan Masyarakat Adat dan sistem pendidikan adat telah diakui oleh para peneliti di Amerika Serikat. Sehingga, sekolah adat diakui sebagai pendidikan yang lebih terbuka dan terbaik untuk diterapkan. Ia mengatakan pengalaman di Amerika untuk kasus perubahan iklim dan bencana kebakaran hutan misalnya, dengan sistem modern membuat Masyarakat Adat menjadi rentan. Padahal, sistem pengetahuan Masyarakat Adat terhadap mitigasi dan perlakuan kebakaran hutan sudah sangat ampuh dalam memitigasi dampak bencana dari kebakaran hutan. Bahkan, praktik membakar hutan dilakukan dengan mengindahkan keseimbangan alam sehingga tidak membuat malapetaka bagi manusia dan alam.

Dalam konteks ini, Kyle memuji keberadaan sekolah adat di Indonesia yang punya peranan penting dalam mentransmisikan pengetahuan tradisional Masyarakat Adat.

"Sekolah Adat di Indonesia sudah memasang standar dan menjadi inspirasi bagi sekolah adat yang ada di luar sana (luar negeri),” kata Kyle dalam dialog publik dengan peserta Mubes Sekolah Adat Nusantara di Sekolah Adat Pesinauan Banyuwangi, Senin 12 Agustus 2024.

Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat-Kemendikbudristek Sjamsul Hadi menyatakan kehadiran sekolah adat di negeri ini merupakan inisiatif dari Masyarakat Adat.  Ranahnya masuk ke dalam  Sater Pendidikan dan Sater Kebudayaan. Sjamsul mengakui keberadaannya perlu ada ruang dukungan untuk memperluas akses dan fasilitas dari pemerintah.

“Dukungan ini cukup penting,” katanya singkat.

Sjamsul mengatakan Direktorat KMA Kemendikbudristek mendorong sekolah adat untuk mengarusutamakan gerakan pulang kampung. Ia juga menambahkan Direktorat KMA mendorong perlindungan dan pemberdayaan Masyarakat Adat di sekitar hutan yang mengandung kekayaan keanekaragaman hayati,

“Sudah menjadi prioritas Direktorat KMA memberi perhatian kepada Masyarakat Adat yang rentan terhadap perubahan iklim,” terangnya.

Heri Yogaswara dari BRIN menyatakan generasi muda Masyarakat Adat perlu mendapat transfer pengetahuan tentang naskah-naskah kuno. Transfer pengetahuan ini, katanya, penting sebagai bentuk dari transmisi pengetahuan adat kepada generasi muda untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai dari naskah-naskah kuno yang diwariskan oleh nenek moyang Masyarakat Adat. Ia mencontohkan tradisi mocoan, dimana didalamnya terdapat proses transmisi pengetahuan atau pengalih-pengetahuan lintas generasi muda.

“Ketika sedang menjalankan tradisi mocoan, proses pendidikan yang terjadi tidak hanya sekedar melestarikan manuskrip pengetahuan yang ada tetapi juga merawat pengetahuan dan mewariskannya kepada generasi muda,” ungkapnya.

Heri menjelaskan pengetahuan lokal kita sesungguhnya mampu memeriksa perubahan iklim dewasa ini, dengan melihat pengetahuan lokal yang beragam di Masyarakat Adat.

Ia mecontohkan komunitas adat di satu daerah mampu melihat perubahan iklim, menandai perubahan iklim dengan metode pengetahuan lokal misalnya dengan melihat minyak kelapa.

“Dahulu minyak kelapa cepat beku, tetapi kini justru mudah mencair. Ini menandai perubahan iklim,” katanya.

Kontribusi terhadap Alam

Ketua PHD AMAN Osing Wiwin Indiarti sekaligus pengasuh Sekolah Adat Pesinauan menyebutkan kontribusi pendidikan (sekolah) adat terhadap alam sangat jelas. Apabila salah dalam pengambilan  keputusan dalam pendidikan adat dan perlakuan dalam praktik pertanian, maka akan berimbas fatal pada alam, hasil pertanian bahkan pada manusia.

“Inilah pentingnya kita menggali pendidikan lewat sekolah adat itu,” katanya. 

Wiwin menuturkan akhir-akhir ini jenis hasil bumi seperti terong putih yang biasa di hidangkan untuk ritual adat semakin berkurang bahkan hilang. Dari kasus ini, sebut Wiwin, dapat dipastikan bahwa keberadaan terong putih saat ini sudah langka atau punah. Syukurnya, dari fenomena ini terbit sebuah buku berjudul “Olah Rasa Hidangan Osing dari Timur Jawa”.

"Dari buku ini kita dapat menghargai betapa takzim dan hormatnya kita terhadap alam dan nilai-nilai ritual yang menyertainya, " imbuhnya.

Wiwin menerangkan ada pesan yang menarik dari buku tersebut yaitu jika alamnya, lingkungannya, ekologinya rusak maka semua itu berimbas kepada orang-orang yang hidup di dalamnya, termasuk manusianya.

“Dari proses pendidikan ini, Masyarakat Adat perlu untuk menularkan kesadaran kritis tentang pandangannya dengan alam,” ujarnya sembari menambahkan bahwa hal ini sesuai dengan misi Sekolah Adat Osing yaitu berkeinginan menyebarluaskan kesadaran kritis tentang kebutuhan manusia yang merupakan bagian dari alam.

***

Penulis Sepriandi adalah peserta Mubes Sekolah Adat dari Bengkulu, Anasrullah dari Sekolah Adat Osing Banyuwangi

Writer : Sepriandi dan Anasrullah | Bengkulu dan Osing Banyuwangi
Tag : Sekolah Adat HIMAS 2024 Osing Banyuwangi Pengetahuan Tradisional