Oleh Tim

Pada 29 April 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan bahwa ibu kota negara (IKN) yang saat ini berada di DKI Jakarta, akan dipindah. Dalam sebuah rapat terbatas, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) pernah menawarkan tiga pilihan, yaitu, pertama, tetap berada di Jakarta; kedua, pindah sejauh 50-70 kilometer dari Jakarta; dan ketiga, pindah ke luar Pulau Jawa. Dalam rapat tersebut, Jokowi setuju pada gagasan untuk memindahkan IKN ke luar Pulau Jawa.

Tumpang Tindih Lahan dan Perampasan Wilayah Adat

Tak lama setelah keputusan itu diambil, Jokowi lekas melakukan kunjungan ke Pulau Kalimantan, salah satu rumah besar bagi hutan hujan yang tersisa di planet ini. Ia meninjau dua provinsi di sana: Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur yang digadang-gadang jadi kandidat IKN baru. Di saat yang bersamaan, gelombang protes dari berbagai pihak atas proses itu, telah pula dilontarkan, termasuk kalangan aktivis lingkungan kala itu yang melihat adanya ancaman atas aspek keberlangsungan pembangunan di sana.

Akan tetapi, di luar dugaan banyak orang, Jokowi tidak hendak berlama-lama dalam menimbang-nimbang. Wilayah IKN akhirnya ditetapkan akan mendiami Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. Tentu saja, ada banyak alasan yang dijadikan dalih oleh pemerintah untuk menetapkannya demikian. Padahal, publik telah bertanya-tanya. Selain prosesnya yang terburu-buru, bagaimana mungkin itu dilakukan tanpa melalui audit penguasaan wilayah yang akan dijadikan lokasi IKN.

Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan persoalan tumpang tindih lahan di wilayah IKN tersebut. Di Kabupaten PPU, dengan luas lahan sekitar 322 ribu hektar, terdapat 218 ribu hektar (67 persen) yang mengalami masalah tumpang tindih, mencakup tumpang tindih Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di level provinsi maupun kabupaten di kawasan hutan sebesar 3,99 persen dan non-kawasan hutan sebesar 6,46 persen, sedangkan tumpang tindih izin atau hak atas tanah pada tatakan yang sudah selaras dan belum selaras masing-masing mencapai 45,64 persen dan 11,8 persen. Sedangkan di Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan luas lahan sekitar 2,65 juta hektar, terdapat 1,22 juta hektar (46 persen) yang memiliki masalah serupa, mencakup tumpang tindih RTRW di level provinsi maupun kabupaten di kawasan hutan sebesar 2,06 persen dan non-kawasan hutan sebesar 3,88 persen, sedangkan tumpang tindih izin atau hak atas tanah pada tatakan yang sudah selaras dan belum selaras masing-masing mencapai 31,10 persen dan 9,03 persen.

Menurut KPA, perkara tumpang tindih tersebut disebabkan oleh konflik agraria yang tak kunjung tuntas selama bertahun-tahun. Selain itu, keputusan tersebut juga diambil tanpa partisipasi masyarakat lokal dan Masyarakat Adat secara bermakna. Padahal, kita mengenal adanya free, prior, and informed consent (FPIC) atau persetujuan bebas tanpa paksaan yang memberikan peluang Masyarakat Adat atas partisipasi dan demokratisasi dalam pengambilan keputusan. Lewat prinsip FPIC, Masyarakat Adat berhak untuk mendapatkan informasi dan menentukan sesuatu, misalnya apakah suatu proyek pembangunan akan ditolak atau diterima seutuhnya atau diterima dengan syarat maupun penyesuaian tertentu melalui pengambilan keputusan musyawarah mufakat.

Wilayah yang ditetapkan menjadi IKN sesungguhnya bukanlah pula tanah kosong tak bertuan. Di dua kabupaten itu, AMAN mencatat terdapat sedikitnya 51 komunitas Masyarakat Adat yang 17 di antaranya, terdaftar sebagai anggota AMAN. Bahkan, Masyarakat Adat Balik Sepaku telah dinyatakan oleh AMAN untuk masuk dalam kategori “Masyarakat Adat yang terancam punah.”

Gelombang protes atas penetapan sepihak terhadap lokasi IKN, mengundang protes, bukan hanya dari kalangan masyarakat sipil (termasuk aktivis/pegiat lingkungan dan pejuang demokrasi), melainkan pula Masyarakat Adat.

Secara turun-temurun, Masyarakat Adat di PPU merupakan pemilik sah dari wilayah yang saat ini menjadi lokasi IKN baru,” ungkap Jiu Luway, Ketua Dewan AMAN Wilayah Kalimantan Timur. “IKN di PPU bukanlah tanah kosong, kami telah kehilangan akses atas wilayah adat kami.

Setelah wilayah adat dirampas oleh pemerintah maupun perusahaan perkebunan dan pertambangan di masa lalu yang menimbulkan Masyarakat Adat di kedua kabupaten tersebut tersingkir, kini wilayah adat kembali ditargetkan menjadi sasaran proyek pembangunan IKN.

Sungai yang berada di sekitar pembangunan IKN. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

UU IKN Mengingkari Hak Masyarakat Adat

Pembahasan pemindahan IKN juga bergulir di DPR dengan sangat cepat. Setelah tertunda karena pandemi, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang IKN dibahas pada 7 Desember 2021 dan disahkan pada 18 Januari 2022. Jika dikurangi dengan masa reses DPR yang terhitung mulai 16 Desember 2021 sampai 10 Januari 2022, maka dapat dikatakan bahwa pembahasan RUU tersebut hanya 17 hari.

Tidak hanya itu. Proses penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pun tak kalah kilat, di mana kajian yang dipublikasikan pemerintah tersebut dibuat setelah IKN ditetapkan di Kalimantan Timur, sehingga KLHS malah tidak memuat latar belakang atas penetapan lokasi bakal IKN.

AMAN menilai bahwa UU IKN tidak sekadar telah mengangkangi hak Masyarakat Adat, tetapi juga konstitusi karena prosesnya yang tergesa-gesa, tertutup, dan mengabaikan partisipasi publik, terutama Masyarakat Adat sebagai kelompok yang paling terdampak dari keputusan maupun rencana proyek pembangunan IKN. Sehingga, tak mengherankan untuk kemudian banyak pihak menyebut UU IKN sebagai produk hukum yang konservatif, ortodoks, elitis, dan menjadi alat justifikasi kebijakan pemerintah untuk menguntungkan elit-elit kekuasaan.

Menggugat UU IKN

Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN), di mana AMAN tergabung di dalamnya bersama para aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), kalangan akademisi, tokoh adat, dan lain-lain, telah mendaftarkan gugatan judicial review atas UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat, 1 April 2022 lalu. ARGUMEN menilai bahwa proses pembentukan UU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan melabrak semua asas formil pembentukan perundang-undangan, partisipasi publik, dan kedayagunaan-kehasilgunaan.

AMAN - sebagai salah satu pemohon - merupakan organisasi Masyarakat Adat yang berbadan hukum, di mana AMAN berada di 33 provinsi dengan jumlah anggota sebanyak 2.422 komunitas Masyarakat Adat dengan perkiraan populasi sekitar 20 juta jiwa. Sementara itu, melalui Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Indonesia telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Setelah diamandemen, pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Adat, tercantum di dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945.

“Di sana (lokasi IKN), anggota komunitas Masyarakat Adat AMAN dihilangkan identitasnya oleh UU IKN,” tegas Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi usai mengajukan uji formil terhadap UU IKN di MK

Terkait dengan gugatan UU IKN, AMAN bersama para pemohon lainnya pun merinci pertentangan UU tersebut dengan konstitusi, mulai dari perihal kedaulatan rakyat, ketentuan cara pembentukan UU, perjuangan hak, jaminan perlindungan hukum warga negara, hingga pengakuan hak Masyarakat Adat dan identitas budayanya yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Pasal 22A UUD 1945, Pasal 27 ayat (1)  UUD 1945, Pasal 28C ayat (2)  UUD 1945, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.

Tentu saja, itu bukan kali pertama bagi AMAN menggugat UU yang bertentangan dengan konstitusi. Sebelumnya pengajuan uji materi yang kemudian diterima oleh MK, antara lain Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945 serta Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 tentang Pengujian UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945.

Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam mengutarakan bahwa UU IKN telah merugikan hak konstitusi dari Masyarakat Adat, sehingga UU itu patut diajukan untuk uji formil dan uji materiil. “Saya kira Masyarakat Adat memiliki legal standing yang kuat dan diakui untuk mengajukan pengujian di MK,” ungkapnya.

Ia pun berharap proses pembangunan IKN yang telah merampas wilayah adat di Kalimantan Timur dapat segera dihentikan karena itu salah satu bentuk penghormatan pemerintah pada lembaga peradilan dan Masyarakat Adat.

“Harapan kami kepada pemerintah, (adalah) agar pemerintah tidak melakukan cara-cara intimidatif dan kolonial yang memaksakan kehendak dalam proses pembangunan ini. Penuhi hak Masyarakat Adat dan dengarkan tuntutan Masyarakat Adat. Semua proses partisipasi mutlak dilakukan,” tegas Alam.

***

Tag : Kalimantan Timur UU IKN Penajam Paser Utara