Oleh Apriadi Gunawan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (Perpres 98/2021). Peraturan yang ditandatangani pada 29 Oktober 2021 itu bertujuan untuk mengatur pasar karbon. Hal itu dipandang sebagai upaya mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pengendalian perubahan iklim.

Namun, Perpres 98/2021 menunjukkan ketidakadilan negara melalui pengamputasian peran dan kedudukan Masyarakat Adat dalam pengelolaan karbon. Fakta tersebut tercermin dalam Perpres tersebut yang tidak mengakui kedudukan Masyarakat Adat sebagai subjek penyelenggara nilai ekonomi karbon (NEK) yang memilki hak atas karbon.

Padahal, wilayah adat yang berupa hutan adat di Kasepuhan Cibarani seluas ± 490 hektar dan hutan adat di Kasepuhan Karang seluas ± 462 hektar misalnya, telah berkontribusi langsung dalam mengurangi dampak dan akibat perubahan iklim yang mempengaruhi kualitas kehidupan manusia.

Merujuk pada hasil Earth Summit di Rio de Janeiro pada 1992, sebagaimana dinyatakan dalam Rio Declaration on Environment and Development bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pengetahuan dan praktik tradisional. Oleh karenanya, negara harus mengenal dan mendukung entitas, kebudayaan, dan kepentingan mereka serta memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan.

Fungsi Wilayah Adat

Wilayah adat, selain memiliki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, serta jasa lingkungan dan fungsi konservasi, juga memiliki nilai ekonomis. Sehingga, menurut penalaran hukum yang wajar, Masyarakat Adat berpotensi mengalami kerugian sebab bukan sebagai subjek penyelenggara NEK.

Begitu pun dengan Perpres 98/2021 yang juga berpotensi menimbulkan kerugian bagi Masyarakat Adat sebab tidak diletakkan sebagai subjek penyelenggara NEK.

Tidak Mencerminkan Asas Keterbukaan dan Partisipasi

Proses pembentukan Perpres 98/2021 tidak dilandasi asas keterbukaan dan tidak menerapkan partisipasi dalam arti sesungguhnya (meaningful participation), sebagaimana Putusan MK No. 91/PUU/XVIII/2020 tertanggal 25 November 2021. Hal itu dikarenakan pembentukan Perpres tidak melibatkan Masyarakat Adat di Indonesia. Sementara itu, Masyarakat Adat adalah subjek yang berkontribusi langsung terhadap aksi mitigasi perubahan iklim, yakni kegiatan yang dapat mengurangi emisi GRK maupun meningkatkan serapan karbon dan/atau penyimpanan/penguatan cadangan karbon.

Mitigasi perubahan iklim adalah usaha pengendalian untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan GRK dan penyimpanan/penguatan cadangan karbon dari berbagai sumber emisi.  Artinya, Masyarakat Adat adalah pihak yang mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan objek permohonan a quo.

Bertentangan dengan Asas Keadilan

Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD ‘45) menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.

Pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya tersebut, seharusnya diwujudkan dalam bentuk sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 I UUD 45 ayat (3), yaitu identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban dan ayat (4), yaitu perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, termasuk dalam rangka pemenuhan hak konstitusional sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 C ayat (1) UUD 45 yang mengatur setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Berdasarkan hal tersebut, seharusnya Masyarakat Adat menjadi subjek dalam penyelenggaraan NEK, sebagaimana diatur dalam Perpres 98/2021. Sebab, pelibatan Masyarakat Adat sebagai subjek dalam penyelenggaraan NEK, didasarkan pada  pertimbangan konstitusionalitas bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Tidak Melibatkan Partisipasi Masyarakat Adat

Perpres itu pun dinilai tidak melibatkan partisipasi Masyarakat Adat, khususnya dalam penyelenggaraan NEK atau jual beli karbon, sehingga tidak mencerminkan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU huruf g terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas keadilan. Maksud asas keadilan di situ adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

Muatan materi Perpres 98/2021 juga tidak mengatur secara jelas dan tegas pelibatan Masyarakat Adat, terutama dalam penyelenggaraan NEK karbon biru yang merupakan sebutan untuk karbon yang tersimpan atau dihasilkan oleh ekosistem laut dan pesisir. Padahal, karbon biru (blue carbon) merupakan karbon organik yang ditangkap dan disimpan oleh lautan dan ekosistem pesisir, terutama yang bervegetasi seperti padang lamun, rawa pasang-surut, dan hutan bakau yang berada di wilayah adat berupa pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ketegasan pelibatan Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akan bersinggungan dengan peran Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terluar dalam pengelolaan ekosistem pesisir menjadi lebih baik dan bermanfaat terhadap ekologi pesisir yang berdampak pada produksi karbon biru Indonesia.

Bertentangan Hak Menguasai Negara

Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012, tertanggal 11 November 2012, dalam pengujian konstitusionalitas pasal-pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima peranan negara/pemerintah dalam pengertian “penguasaan negara” untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yaitu (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad), dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad).

Pasal 1 angka 22 Perpres 98/2021 mengatur hak atas karbon adalah penguasaan karbon oleh negara. Akan tetapi, muatannya tidak mencerminkan hak menguasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, khususnya Masyarakat Adat. Hal itu terbukti dengan tidak adanya pelibatan partisipasi Masyarakat Adat secara jelas dan tegas sebagai penyelenggara NEK atau jual beli karbon. Penyelenggaraan NEK dilaksanakan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah (Pemda), pelaku usaha, dan masyarakat.

Artinya, sebagai payung hukum perdagangan karbon, Perpres itu tidak memberikan dampak positif bagi Masyarakat Adat secara langsung demi meningkatkan kualitas hidupnya. Tetapi, justru sebaliknya, meletakkan Masyarakat Adat sebagai objek semata dalam perdagangan karbon yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.

Ketidakpastian Hukum dan Ketidakadilan

Terminologi hukum dalam Perpres itu juga mengandung ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Di satu sisi, perdagangan karbon diserahkan dengan mekanisme berbasis pasar, sementara di sisi lain pembayaran atas perdagangan karbon dilakukan berbasis kinerja. Artinya, Masyarakat Adat yang berkontrubusi langsung dalam aksi mitigasi perubahan iklim (kinerja), justru tidak memiliki ruang sebagai subjek penyelenggara perdagangan karbon.

Selain itu, Perpres 98/2021 juga bertentangan dengan konsep hak menguasi negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang telah dioperasionalkan dalam berbagai UU, termasuk UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

***

Tag : Masyarakat Adat Karbon Nilai Ekonomi Karbon Earth Summit