Sistem Kelola Wilayah Adat

Masyarakat Adat Tumbang Malahoi memiliki begitu banyak kearifan maupun pengetahuan masyarakat adat (indigenous wisdom/indigenous knowledge) yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap sistem tata kelola wilayah adat. Mulai dari acara penyambutan tamu hingga pada cara dan tahapan membuka ladang, seluruhnya memiliki aturan dan ritual yang menunjukkan bahwa masyarakat adat sangat memperhatikan aspek pelestarian alam, terutama hutan adat.

IMG_5025

Keeratan relasi Masyarakat Adat Tumbang Malahoi terhadap wilayah adat dan sumber daya di dalamnya, ditunjukkan dengan ketergantungan yang tinggi terhadap kebutuhan pokok berupa pangan yang diperoleh dari hasil kelola wilayah adat dan hutan adat dalam corak perladangan.

Seperti halnya di komunitas adat lain, masyarakat Tumbang Malahoi mengonsumsi tidak hanya satu jenis karbohidrat sebagai makanan utama sehari-hari. Nasi memang adalah salah satu makanan pokok yang penting dan hal itu telah berlangsung lama sekali, bahkan hingga hari ini. Mereka telah mengenal pola perladangan tanaman padi dengan corak yang berbeda dari pola padi basah atau persawahan, yaitu padi ladang yang bergantung pada curah hujan. Masyarakat Adat Tumbang Malahoi juga menanam dan mengonsumsi singkong. Namun karena adanya perubahan pola makan, maka sekarang singkong hanya dikonsumsi pada saat-saat tertentu saja dan bisa dikatakan sebagai pelengkap kebutuhan sehari-hari masyarakat tersebut. Yang tidak kalah menariknya, meski kini dominasi menanam padi dan memakan nasi menjadi begitu kental dengan keseharian warga, tetapi masyarakat Tumbang Malahoi tidak lupa untuk tetap menanam jagung di ladang.

�Itu adalah kebiasaan turun temurun. Kurang lengkap rasanya kalau pada saat panen padi, kami tidak juga panen jagung,� ungkap Pak Hadi, seorang Mantir Adat setempat.

IMG_5175

Berangkat kerja lewat jalur sungai

Selain padi, singkong, dan jagung, ada pula sumber gizi lain yang dihasilkan oleh wilayah adat Tumbang Malahoi. Sedikit perbedaan yang terjadi antara daerah Tumbang Malahoi dan daerah lain, khususnya di Kabupaten Gunung Mas, adalah banyaknya tanaman umbut rotan (rotan muda). Di Tumbang Malahoi, tanaman rotan banyak terdapat di samping-samping rumah warga. Rotan juga menjadi asupan gizi bagi warga setempat sebagai sayuran yang bisa dikonsumsi setiap hari tanpa repot harus dibeli. Rasanya pun tidak kalah nikmat dengan sayur lain yang ada di pasar. Umbut rotan adalah contoh kekayaan hutan adat yang kemudian dibudidayakan oleh masyarakat di sekitar wilayah permukiman. Kalau di daerah lain, umbut rotan mungkin sudah hampir susah ditemukan, kecuali jika mau sedikit bersusah payah masuk ke dalam hutan. Maka, warga setempat sepakat bahwa umbut rotan masuk sebagai klasifikasi pangan lokal yang ditanam secara masif dan langsung di sekitar pekarangan.

IMG_5149

Pergi ke ladang

Kearifan lain yang memiliki hubungan erat dengan tata kelola wilayah adat, salah satunya adalah ngariu. Sebelum memulai perladangan, ada serangkaian tahap yang harus dilalui oleh masyarakat adat. Areal hutan yang terpilih untuk dibuka menjadi ladang, terlebih dulu harus ditinjau dan dimohonkan �izin.� Tetua adat memainkan peran strategis dalam proses ritual itu di mana ia terlebih dulu akan mengutus beberapa orang yang berpengalaman di komunitas adat untuk mengecek lokasi yang hendak dijadikan tempat berladang. Proses ritual ngariu pun dilakukan, yaitu meminta izin kepada roh penunggu hutan tersebut dan berdoa agar terhindar dari bencana alam, sehingga kelak bisa menghasilkan panen yang melimpah dan berkah.

Dari sejarah asal-usul hingga saat ini, masyarakat adat di seluruh Nusantara masih terus berjuang. Keberadaan Tugu Kedaulatan di Tumbang Malahoi adalah bukti yang relevan untuk melihat kontribusi masyarakat adat di seluruh Nusantara, khususnya Masyarakat Adat Tumbang Malahoi dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia. Tetapi kini, tugu itu seolah punya makna lain bagi masyarakat adat yang belum sepenuhnya memperoleh kedaulatan atas wilayah adatnya. Perjuangan masih terus berlanjut dan dilakukan di mana Indonesia masih memiliki hutang terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah adat, dan sumber daya di dalamnya.

-Murni D. Liun Rangka-

Sumber : cerita-tentang-tumbang-malahoi-empat