Harus Bangga Menjadi Orang Kampung, itulah judul tulisan saya hari ini (9/5/2016). Saya dilahirkan dan dibesarkan di kampung. Bagi saya jika mempunyai kampung sebenarnya kita mampu mengenal identitas, mengenal asal usul dan mengenal nilai kehidupan sosial yang ada di sekitar.

Sangat terasa kalau kita berada di kampung. Hidup jadi aman, damai dan sangat dekat dengan sesama saudara, keluarga dan alam kita. Kita tidak merasakan kelaparan, melainkan hidup damai. Sebab leluhur telah menyiapkan kehidupan yang terbaik bagi kita.

Bicara soal kampung, yang menjadi kategori kampung yaitu memiliki wilayah yang dijaga secara bersama, mempunyai pemukiman warga masyarakat, mempunyai sejarah asal-usul yang menggambarkan keberadaan manusia itu sendiri, mempunyai sistem hukum adat, sistem sosial dan budaya.

Di Kabupaten Ende banyak orang mengenal dengan sebutan Nua Orha, Nua Ola dan Mboa. Sama halnya juga dengan yang lain, saya dahulu waktu kecil dibesarkan di Nua (kampung). Saya mengenal sesama keluarga dan leluhur di kampung. Saya juga mengenal dan mengerti arti kebaikan seperti menolong sesama, hidup bergotong royong, bersolidaritas dan lainnya adalah di kampung. Saya juga mengenal etika seperti kesopanan, cinta kasih dan berbudi baik juga di kampung. Dan di kampunglah semuanya diajarkan. Saya, kamu atau kita yang mempunyai kampung pasti merasakan hal itu. Hidup toleransi ada di kampung, hidup menaati aturan hukum juga diajarkan di kampung dengan menaati hukum adat.

Di sisi yang lain saya juga melihat sumber kebutuhan ekonomi ada di kampung, karena di sanalah petani bangun pagi ke kebun dan bekerja. Semua kebutuhan pangan ada dan mencukupi kehidupan.

Saya sendiri adalah orang kampung maka saya pasti mengenal semua yang ada di dalam kampung, umpamanya cerita orangtua tentang kebaikan dan kebenaran. Di kampung juga saya diajarkan mengenal yang namanya musyawarah mufakat. Penulis juga mengenal yang namanya ekonomi rakyat yang bersifat barter. Dan bagi saya semua pengetahuan tentang apa pun ada di kampung.

Kita harus bangga menjadi orang kampung, namun bukan kampungan, kata Philipus Kami Ketua BPH AMAN Nusa Bunga suatu ketika.

Juan dan Jhon

Makan bersama, suasana hangat kekeluargaan. (Dok: Yulius Fanus Mari)

Menurutnya bahwa orang kampung adalah orang yang berkarakter, orang yang menciptakan peradaban, orang yang memiliki segalanya dalam menjaga alam dan memanfaatkannya. Sementara itu orang kampungan adalah orang yang lupa pada kampungnya, orang yang mengkhianati kampungnya dan orang yang tidak mempunyai identitas yang jelas, primitif, sempit pemikirannya.

Sebenarnya kita sudah diajarkan oleh orangtua dan leluhur kita tentang pendidikan, seperti menjaga alam, mengelola Sumber Daya Alam (SDA) dan mengenal nilai-nilai sosial budaya. Bagi saya pendidikan dasar itu sudah tertanam sejak kecil di kampung. Dan pendidikan seperti itu ada dalam diri. Sebagai contoh, orang yang tidak berpendidikan seperti yang diajarkan pendidikan formal saat ini bisa melakukan hal-hal yang diajarkan di dunia pendidikan formal. Mereka bisa mengelola SDA, menjalankan nilai-nilai kehidupan sosial, mampu bermusyawarah, juga mampu untuk memimpin serta mampu untuk menciptakan apa yang diajarkan leluhur (dalam hal karya seni).

Saat ini menurut saya, kampung adalah sumber segalanya dari semua kebutuhan hidup manusia. Alasan saya mengapa menjadi sumber segalanya sebab di sanalah manusia hidup dan berkembang dan mampu memberikan hidup bagi orang lain yang hidup di kota.

Orang yang hidup di kota sebenarnya dihidupkan oleh orang yang bekerja di kampung. Dan bagi saya kita harus bangga menjaga dan membangun kampung. Sebagian besar kita yang hidup di kota sebanarnya mempunyai sejarah asal-usul dari kampung.

Kalau saya analogikan bahwa masyarakat di kampung adalah orangtua, maka masyarakat yang hidup di kota adalah anaknya. Jadi jangan sekali-kali kita melupakan orangtua di kampung. Semua orang yang berada di kota sebenarnya anak-anak dari kampung.

Saat ini ketika anak tumbuh dan dewasa, mulai tidak mengakui lagi orangtuanya, tidak menghormati lagi orangtuanya yang melahirkan dan membesarkannya. Bahkan dituduh sebagai orang yang primitif, kolot, terpinggirkan dan mulai merampas dan menjual tanahnya. Begitulah analogi saya.

Jadi saat ini kita perlu menyadari bahwa pulang dan membangun kampung itu adalah bagian dari mengabdi kepada orangtua. Namun jangan membangun dari kampung hanya untuk menyenangkan hati orangtua dan ujung-ujungnya menipu.

Orangtua di kampung-kampung sudah mengajarkan nilai kebenaran dan kejujuran. Dan nilai itu sudah ditanam sejak kecil kepada kita.

Kita yang berasal dari kampung sebenarnya harus bangga karena kita masih punya kampung. Kita tidak boleh malu mengatakan kalau kita adalah orang kampung. Orang kampung bukanlah orang yang primitif, kolot, terpinggirkan. Akan tetapi orang kampung adalah orang yang benar, pintar dan berkarakter.

Jika saat ini seseorang tidak mempunyai kampung sebenarnya ia lupa terhadap orangtuanya dan lupa identitasnya dari mana ia berasal.

Sejarah Penjajahan Berulang

Sumber: Anonymous ART of Revolution

Untuk kaum muda yang berasal dari kampung mulailah kita bersama-sama membangun kampung. Wilayah adat harus kita jaga, begitu juga dengan SDA-nya. Sebab negara hari ini justru mengajarkan kita untuk meninggalkan kampung dan pergi menjauh dari kampung. Negara saat ini dengan alat kekuasaannya masih mengikuti watak penjajah. Bentuk pembangunannya bersifat eksploitasi dan diskriminasi. Negara belum membangun sesuai dengan karakter ketimuran kita yang menjunjung tinggi kebhinekaan tunggal ika.

Pendidikan yang difasilitasi oleh negara hanya untuk kita melupakan kampung, menindas dan menciptakan kita menjadi konsumtif. Tujuan membentuk sebuah negara hanya sebagai alat untuk merampas tanah dan sumber daya alam dan menghilangkan budaya dan adat istiadat kita. Sistem pendidikan yang diciptakan negara hanya untuk membuat kita menjadi kuli di tanah sendiri. Kita akan tersisihkan di kampung sendiri dan akhirnya akan melupakan identitas sendiri.

~Yulius Fanus Mari~

Sumber : harus-bangga-menjadi-orang-kampung