Organisasi Masyarakat (Ormas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan terdapat 1 juta masyarakat adat di seluruh Nusantara tidak mendapatkan hak pilih dalam pilkada, pemilu, dan pilpres mendatang.

“Ada 1 juta masyarakat adat yang terancam tidak dapat hak pilih disebabkan oleh tak memiliki e-KTP, tinggal di wilayah taman nasional, perkebunan, serta menganut agama warisan leluhur yang tidak tercantum dalam KTP,” jelas Sekjend AMAN, Rukka Sombolingi dalam Rakernas lembaga yang ia pimpin pada Maret 2018 di Minahasa, Sulawesi Utara.

Selain itu, akses keterisolasian jauh dari layanan publik menyebabkan masyarakat adat tidak mendapatkan layanan KTP dan tidak terjangkau lembaga penyelenggara pemilu. Sebaran masyarakat adat yang terancam tidak dapat memilih itu mencakup sembilan provinsi. Ada 121 komunitas adat di sembilan provinsi. Sebanyak 1 juta penduduk anggota komunitas adat tidak diakui dan tidak dapat mengurus KTP elektronik.

Salah satu Provinsi disebut Rukka yakni Bengkulu dengan komunitas adat Suku Semende Banding Agung bermukim di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Kabupaten Kaur.

Fakta ini berlangsung sejak lama kerja keras negara, penyelenggara Pemilu hingga lembaga pemantau seperti Bawaslu tentu semakin ditantang untuk mewujudkan Pemilu yang berkeadilan. Bawaslu RI dan KPU RI menyebutkan hingga kini masih mencari jalan keluar atas temuan ini. Secara normatif, dikatakan kedua lembaga itu agar 1 juta masyarakat adat tersebut mendapatkan E-KTP untuk mendapatkan hak pilih.

Masyarakat Adat

Masyarakat Adat menurut AMAN pada Kongres I tahun 1999, adalah: “Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan kehidupan masyarakatnya,”

UUD 45 menyebutkan tiga poin penting tentang keberadaan masyarakat adat. Pertama pasal 18 B ayat 2. “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

Pasal Pasal 28I ayat (3) “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban,”

Pasal 32 ayat (1) dan (2) Ayat (1) “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Ayat (2) “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”

Hukum internasional hingga lokal menyebut bahwa negara wajib mengakui dan melindungi masyarakat adat sepanjang masih hidup dan tidak keluar dari konstitusi NKRI. Lalu bagaimana posisi masyarakat adat dalam pelaksanaan Pemilu dengan 1 juta orang yang tidak dapat memilih?

KPU mengeluarkan Peraturan nomor 10 tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilu. Sasaran sosialisasi Pemilu dalam aturan ini cukup adil dengan menyebut kaum marjinal dan masyarakat adat. Aturan ini dirasa mulai menyentuh rasa keadilan dalam pelibatan Pemilu.

Kemudahan Pelibatan Masyarakat Adat

Masyarakat adat umumnya masih memegang penuh aturan adat yang diwariskan secara temurun dengan tokoh panutan, bisa meliputi kepala suku, tokoh adat, tabib, dan lainnya. Akan lebih mudah tentunya pelibatan sosialisasi, pendidikan pemilih, dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu dilakukan bila menjadikan komunitas ada sebagai mitra penting KPU dan Bawaslu.

Para tokoh adat dapat dilibatkan dalam upaya sosialisasi dan pendidikan politik sebagai pemuka pendapat (opinion leader) untuk menangkal informasi bohong (hoak) dengan melakukan pendidikan melek media (literasi media).

Proses tersebut dapat dilakukan menggunakan pendekatan bahasa, media yang digunakan terkadang relatif murah dengan melakukan rapat-rapat adat dan pertemuan kampung yang rutin dilakukan oleh komunitas adat. Sistem noken seperti di Papua merupakan salah satu contoh bagaimana demokrasi ala masyarakat adat dapat dilakukan.

Persoalan pemantauan pelaksanaan Pemilu juga akan mudah dilakukan dengan menggunakan kearifan lokal masyarakat adat. Penyimpangan yang terjadi dapat dilaporkan secara baik jika dimanajemen secara profesional menggunakan potensi dan sistem adat yang telah ribuan tahun mereka patuhi.

Pelibatan masyarakat adat tidak saja menjadi hak konstitusi yang diberikan Negara pada masyarakat adat namun lebih dari itu. Pelibatan masyarakat adat justru memudahkan kerja penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu agar Pemilu berjalan adil, jujur, bahkan murah. Bila potensi masyarakat adat dimanfaatkan niscaya “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu,” dapat terpenuhi, seperti Motto Bawaslu.

Sumber : pedomanbengkulu.com

The post Perlibatan kelompok Marjinal Masyarakat Adat Menuju Pemilu appeared first on AMAN Bengkulu.

Sumber : https://bengkulu.aman.or.id/2024/01/12/perlibatan-kelompok-marjinal-masyarakat-adat-menuju-pemilu-2/