Oleh Elan Cahayu

Irama gendang terdengar sayup-sayup dari kejauhan rumah Amat Sahpitri di kampung Bagan Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Tanpa pikir panjang, dia mengikuti langkah kakinya mencari sumber ritme bunyi gendang yang mengalun itu.

Di sepanjang jalan, hatinya bertanya: siapakah yang sedang memainkan gendang itu.  Sayang, alunan gendang sudah selesai, Amat Sahpitri belum juga sampai ke asal suara gendang ersebut. Sesampainya di tempat yang dituju, ia pun terperangah ternyata alunan gendang tersebut bunyi-bunyian ritual dari proses latihan upacara jamu laut.

Ritual jamu laut merupakan bagian dari warisan budaya suku Melayu di pesisir Sumatera Utara. Tradisi ini masih lestari. Biasanya, ritual jamu laut dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan persembahan kepada ‘Mambang Laut’ atau Penunggu Laut. Selain itu, ritual jamu laut  juga sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang diperoleh dari laut.

Tradisi ini juga ditujukan untuk tolak bala dan diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan para nelayan.

Ritual ini menyertakan jamuan sesajen yang ditujukan kepada penghuni laut. Kemudian,  diadakan juga zikir dan doa bersama yang dipimpin tokoh adat dan pawang laut setempat. Peran pawang laut dalam  ritual ini sangat penting karena diyakini memiliki kekuatan magis untuk berkomunikasi dengan roh-roh gaib penunggu laut.

Di Bagan Percut, ada seorang pawang yang kerap didapuk memimpin ritual jamu laut. Namanya Abu Samah. Pria berusia 57 tahun tersebut kerap diminta untuk menjadi pawang jamuan laut.  

Abu Samah menyatakan banyak sekali tantangan yang dihadapinya setiap kali melakukan ritual jamu laut. Tantangan itu berupa gangguan gaib yang menyerang dirinya.

“Banyak gangguan suara gaib yang masuk ke telinga saya akibatnya sekarang ini pendengaran saya bermasalah,” kata Abu Samah saat dijumpai dikediamannya di Bagan Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan pekan lalu.

Abu Samah yang sudah dikaruniai enam orang anak ini merasa pendengarannya kini sudah tidak berfungsi dengan baik. Ia hanya bisa melihat gerakan mulut dan tangan seseorang ketika ingin berbicara dengannya.

“Ini resiko yang saya terima sebagai pawang laut,” ujarnya dengan tegar.

Sejarah Jamu Laut

Ritual adat jamu laut sudah lama tidak digelar di daerah pesisir Sumatera Utara. Ritual yang semestinya digelar setahun sekali ini sudah jarang dijumpai.  Padahal, ritual kebudayaan Masyarakat Adat Melayu yang paling dikenal adalah jamu laut. Arus modernisasi membuat ritual yang sebenarnya mendarah daging ini mulai sulit disaksikan masyarakat.

Ritual jamu laut diidentifikasi mulai bertengger pada kebiasaan Masyarakat Adat Melayu. Dalam prosesnya, ritual jamu laut sering menjadikan kurban sebagai mediator untuk berinteraksi pada mambang (penghuni laut).

Proses ritual jamu laut selalu ditujukan untuk tolak bala, meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sekitar tahun 1700 upacara ritual jamua laut tolak bala sudah dilakukan di pantai  pesisir Sumatera. Bahkan dari catatan riwayat Tengku Luckman Sinar, ritual ini sudah ada sebelum Melayu memeluk agama Islam.

Upacara jamu laut erat asalnya dengan kepercayaan animisme. Upacara ini bahkan sudah tersohor di nusantara, dimana berdiamnya masyarakat Melayu. Kepercayaan ini dibawa oleh nenek moyang bergaris darah Indo-Cina beratus tahun silam.

Dilansir dari laman resmi kebudayaan.kemdikbud.go.id, jamu laut memiliki enam tahapan ritual, yakni pemancangan kayu nibung, penyembelihan kerbau, menguras pantai dan mengantar persembahan sedekah laut, berjanji/ikrar dan doa, pengumuman pantangan, dan makan bersama yang diikuti oleh seluruh peserta ritual.

Fungsi Ritual Jamu Laut

Ketua Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Amat Sahpitri sehari-hari bekerja sebagai seorang nelayan. Pria berusia 43 tahun asal kampung Bagan Percut ini sudah 20 tahun menjadi nelayan, khusus mencari kerang. Pendapatan per harinya sekitar Rp 75.000.

Amat mengungkap pendapatan yang diterimanya sangat tidak sebanding dengan besarnya resiko yang harus mereka tanggung sebagai Masyarakat Adat nelayan. Ia menyebut tidak sedikit nelayan yang sakit, bahkan ada yang meninggal ketika sedang melaut mencari ikan. Ada yang terkena tandik ikan hingga membuat nelayan bisa kehilangan kesadaran atau tidak mampu bergerak. Ada pula yang tenggelam ke laut di hantam ombak.

“Semua itu resiko yang harus dihadapi nelayan setiap kali pergi ke laut,” tuturnya.

Amat mengakui banyak kendala yang sering dialami Masyarakat Adat nelayan saat melaut seperti hujan badai, ombak besar, pencemaran laut. Semua itu turut mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Karenanya untuk meminimalisir resiko saat melaut, sebutnya, nelayan menggelar ritual jamuan laut.

Amat menerangkan ritual jamu laut dikategorikan miliki dua fungsi yaitu fungsi yang tampak (manifes) dan yang tak tampak (laten). Fungsi manifes merupakan fungsi yang berhubungan erat dengan tujuan penyelenggaraan.

Dalam hal ini, diharapkan berkah setelah ritual jamu laut terselenggara. Harapannya juga ritual jamu laut menjadi mula dari krisis. Adapun tujuan dari ritual jamu laut diharapkan bisa menjadi paceklik yang menimpa laut seperti kurangnya hasil tangkapan.

Pada fungsi yang tak tampak (laten), lebih pada proses pendekatan diri pada Tuhan Maha Kuasa. Melalui ritual, Masyarakat Adat akan tetap selalu bersyukur akan hasil laut yang telah didapat.

“Fungsi ini lebih pada proses pendekatan diri secara religius,” ujarnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Sumatera Utara