Supriyadi Sudirman Infokom AMAN Maluku Utara

Pengabaian hak atas tanah di Indonesia dimulai sejak zaman kolonial Belanda yang membatasi hak untuk memiliki tanah bagi masyarakat. Ironisnya, setelah Indonesia merdeka, praktek kolonial tetap dipraktekkan. Hal itu diungkap oleh Ward Berenschot, Professor of Comparative Political Anthropology, University of Amsterdam, dalam Sarasehan II bertajuk “Dinamika Kebangsaan dan Masa Depan Gerakan Masyarakat Adat”. Sarasehan yang digelar secara daring pada Kamis, 20 Agustus 2020 ini merupakan bagian menuju Rapat Kerja Nasional (Rakernas) VI Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). “Sekarang ini, saya sedang meneliti 150 sengketa lahan di antara perusahaan sawit dan masyarakat di 4 provinsi di Indonesia dan dari sana juga ditemukan pentingnya untuk kita membahas tentang konsep kewarganegaraan di Indonesia," ucap Berenschot yang juga berprofesi sebagai Peneliti Senior di KITLV. Berenschot merupakan figur yang telah melakukan studi secara ekstensif tentang problem-problem agraria di Indonesia. Selain itu, ia juga menulis tentang demokrasi dan tentang kewarganegaraan di Indonesia. Dari hasil penelitiannya selama ini, Berenschot merumuskan dua solusi untuk membela Masyarakat Adat. Pertama adalah mengklaim hak Masyarakat Adat berdasarkan keanggotaan komunitas adat. Kedua adalah, cara pendekatan kewarganegaraan (citizenship) untuk mengklaim hak-hak atas warga Indonesia atau keanggotaan warga Indonesia . "Kewarganegaraan adalah topik yang jarang dibahas di Indonesia karena dianggap terlalu teknis dan membosankan. Meskipun, ada mata pelajaran di SMP dan SMA yang berjudul Kewarganegaraan," jelas Berenschot. Padahal isu kewarganegaraan (citizenship) bukan terkait hak dan kewajiban warga kepada negara, tapi juga hak dan kewajiban Negara kepada warga. "Kewarganegaraan itu sebuah konsep tentang relasi di antara warga dan negara, dan hal ini fundamental. Sebabnya, relasi tersebut memiliki beberapa aspek politik sosial dan hak sipil dan salah satunya adalah hak untuk memiliki tanah," kata Berenschot. Ironisnya, menurut Berenschot, hak untuk memiliki tanah merupakan hal yang paling merepotkan Masyarakat Adat dan kelompok masyarakat lain di Indonesia. Hal tersebut tidak lepas dari pembatasan oleh Negara kepada warga-nya untuk memiliki tanah. "Bukan hal mudah untuk memperkuat hak memiliki tanah di Indonesia. Tidak hanya karena ada masalah dengan undang-undang dan peraturan lainnya, tapi juga karena ada kelemahan penegakan hukum dan regulasi," kata Berenschot. Hal tersebut makin sulit di tengah situasi saat ini di mana sistem yang dipraktekkan adalah demokrasi oligarki. Di mana dominasi ekonomi dari kelompok-kelompok tertentu menjadi motor penggerak kebijakan. "Dalam situasi seperti saat ini, kita tidak hanya cukup dengan mengganti undang-undang atau peraturan lain terkait hak atas tanah. Tapi juga mendesak untuk memiliki strategi tentang pembelaan terhadap hak atas tanah yang juga dapat digunakan untuk melawat elit ekonomi yang menggunakan pengaruh politik dan koneksi informal mereka untuk melemahkan hak-hak warga negara Indonesia," jelas Berenschot. Dalam konteks Indonesia, dari hasil penelitiannya Berenschot menemukan bahwa yang menjadi titik fokus atas sengketa lahan adalah terkait penegakan hak atas tanah warga negara dan abainya Negara memenuhi kewajiban-kewajibannya. Inilah dasar dari tawaran Berenschot yang melihat bahwa advokasi terhadap hak atas tanah mesti dilihat sebagai perjuangan menuntut Negara untuk memenuhi kewajiban terhadap warga-nya. "Selama meneliti 150 kasus konflik agraria di Indonesia, terlihat jelas bahwa setiap desa atau komunitas hanya terfokus pada perjuangannya sendiri. Mereka belum mampu melihat bahwa perjuangan mereka terkait hak atas tanah merupakan perjuangan untuk mengganti sistem dan mengatasi problem struktural yang menjadi alasan di balik sengketa lahan ini,” kata Berenschot. Problem umum seperti persoalan terkait Hak Guna Usaha (HGU) di Indonesia dan buruknya penegakan hukum di Indonesia, menurut Berenschot mesti dilihat sebagai peluang advokasi untuk menguatkan status kewarganegaraan. Yaitu menjadikan perjuangan hak atas tanah sebagai ruang masuk untuk mengadvokasikan problem struktural yang lebih kompleks dengan tawaran yang jauh lebih konkrit. "Perjuangan hak Masyarakat Adat misalnya dapat menjadi lebih inklusif dengan meluaskan sudut pandang bahwa hal klaim Negara atas tanah tidak bisa didahulukan dengan mengorbankan hak-hak warga negara-nya. Jadi, perbaikan struktur yang diadvokasikan. Bukan sekedar meminta tanah untuk dikembalikan," tegas Berenschot. Peneliti senior di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Leiden ini menegaskan bahwa dua aras advokasi ini mesti berjalan bersamaan dan tidak bisa saling mendahului. "Jadi advokasi berbasis hak atas wilayah-wilayah adat harus dibarengi dengan advokasi berbasis hak-hak warga negara. Dua strategi ini saling melengkapi untuk memperkuat gerakan advokasi Masyarakat Adat di Indonesia," tutup Ward.

Writer : Supriyadi Sudirman | Maluku Utara