Pesan dari Korban TPL untuk Presiden Jokowi & Menteri Siti Nurbaya
10 Desember 2021 Berita Nurdiyansah DalidjoOleh Nurdiyansah Dalidjo
Gejolak di Tano Batak terus memanas diiringi dengan gelombang protes yang kian tak dapat dibendung lagi. Setelah melakukan aksi besar pada Juli 2021 lalu, di mana ribuan Masyarakat Adat turun ke jalan-jalan bersama petani di berbagai daerah di Sumatera Utara, protes kemudian disusul dengan Aksi Jalan Kaki Tutup TPL oleh 11 orang pegiat lingkungan (Tim 11) dari Toba menuju Istana Kepresidenan Jakarta. Setelah melakukan 44 hari perjalanan, kedatangan rombongan pun disambut hangat oleh masyarakat ibu kota. Begitu pula Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menemui Togu Simorangkir dan memberikan janji-janji atas penuntasan masalah tersebut.
Dengan tidak ditepatinya janji-janji itu, para utusan Masyarakat Adat kembali datang ke Jakarta pada bulan lalu (11/2021) untuk melakukan serangkaian kunjungan dan tuntutan mendesak pemerintah segera menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL). TPL telah memberikan banyak kesengsaraan bagi Masyarakat Adat di sekitar Danau Toba. Tidak hanya merampas wilayah adat, Aliansi Gerak Tutup TPL menemukan bahwa TPL juga melakukan penebangan hutan adat, pencemaran lingkungan, serta intimidasi dan tindak kekerasan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pernah menyorotinya lewat Inkuiri Nasional dalam menelusuri proses perampasan hak Masyarakat Adat oleh TPL dan pembumihangusan bukti klaim adat tersebut.
Selain Natal Simanjuntak, warga Natumingka, Toba, kami juga berbincang dengan para perempuan adat korban TPL, yaitu Mersi Silalahi dan Esna Sidauruk dari Lantoras, Sihaporas, Simalungun serta Berliana Manik dari Dolok Parmonangan, Simalungun. Keempatnya turut datang ke Jakarta pada November 2021 lalu untuk melakukan berbagai konsolidasi dan kunjungan ke sejumlah lembaga dan kementerian dalam menagih janji Presiden Jokowi dan mendesak penutupan TPL.
Perbincangan bersama Natal Simanjuntak
Natal Simanjuntak. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
Seperti apa gambaran Natumingka di Toba?
Sejarah di kampung kami, kampung yang bertingkat-tingkat, jadi dibuat namanya “Natumingka.” Bisa dikatakan berhadapan dengan Danau Toba.
Bagaimana situasi di sana dengan kehadiran TPL?
Kalau kedatangan TPL di Desa Natumingka, menurut kami, itu membuat kerugian bagi Masyarakat Adat Natumingka dan memecah belah Masyarakat Adat yang ada di kampung.
Apa saja kerugian-kerugian yang dihadapi Masyarakat Adat di Natumingka?
Kerugian sesudah ada TPL di Desa Natumingka, terutama perekonomian yang ada di kampung kami, menurun.
Karena pohon-pohon kemenyan yang ditebang, sehingga kehilangan sumber penghidupan?
Ya, ada juga kopi. Bekas ladang kopi tetua kami dulu habis dibabat perusahaan. Dan juga saya katakan merugikan perekonomian. Di kampung kami, sudah tumbuh pohon eukaliptus, debit air berkurang.
Seperti apa kerusakan lingkungan di wilayah adat setelah penanaman eukaliptus itu?
Dari iklim, sudah jelas ada perubahan di kampung. Contohnya, cuaca di kampung drastis berubah. Kalau bertani masih bisa, (tapi) ekonomi berkurang. Masalah lahan pertanian kami yang diserobot PT TPL itu, dikategorikan (luasannya) banyak. Seumpamanya kami yang mengusahai ladang di wilayah adat kami itu, kami yakin perekonomian di kampung pasti meningkat.
Tadi Pak Natal sempat singgung kehadiran TPL memecah belah Masyarakat Adat. Bagaimana itu dilakukan?
Banyak cara yang buat Masyarakat Adat ada selisih paham. Kayak di kampung kami, banyak tawaran yang dibuat PT TPL itu. Seperti kalau cerita yang di kampung itu, tentang masalah bantuan. Itulah yang dibuat orang acuan pertama. (Kata perusahaan,) ‘Kami ‘kan sudah bantu kalian.’ Padahal, menurut kami, seperti dana CSR itu kewajiban perusahaan. Itulah yang salah satu contoh yang dibuat TPL kepada kawan-kawan yang kurang mengerti.
Apa perasaan Pak Natal melihat makam-makam leluhur dirusak pihak perusahaan?
Kami merasa tidak senang terhadap kelakuan TPL yang merusak makam leluhur opung kami. Apakah kami Masyarakat Adat ini salah menuntut wilayah adat kami yang dititipkan oleh leluhur kami kepada kami? Kami menuntut dan melarang kepada TPL supaya jangan masuk lagi. Waktu itu, istri saya sendiri ikut melarang aktivitas TPL di wilayah adat kami. Pihak TPL langsung melaporkan istri saya kepada pihak kepolisian. Pihak perusahaan melaporkan istri saya, langsung ditanggapi oleh pihak kepolisian, langsung datang surat panggilan untuk mengklarifikasi. Padahal, tanggal 18 Mei 2021, terjadi bentrok yang mengakibatkan warga Masyarakat Adat Desa Natumingka itu sampai keluar darah orang tua kami yang berumur sudah 75 tahun dan luka-luka memar 11 orang, kami laporkan itu ke pihak kepolisian, (tapi) sampai sekarang, itu tidak menanggapi.
Ada pesan yang ingin disampaikan ke Presiden Jokowi?
Pak Presiden Joko Widodo, tolonglah diakui Masyarakat Adat ini! Saya katakan lagi, tolong diperhatikan Masyarakat Adat ini! Dikembalikan wilayah adatnya supaya Masyarakat Adat itu perekonomiannya lebih meningkat dan tutup TPL yang merampas hak-hak Masyarakat Adat.
Perbincangan bersama Mersi Silalahi, Esna Sihauruk, dan Berliana Manik
Mersi Silalahi (kiri), Esna Sihauruk (tengah), dan Berliana Manik (kanan). Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
Seperti apa pengalaman atau perasaan perempuan adat mengenai situasi di kampung sebelum maupun sesudah adanya TPL?
Mersi: Menurut saya, sebelum ada TPL, kehidupan di sana ramah karena kita bebas beraktivitas di hutan dan bebas melestarikan hutan dengan menanam berbagai pohon. Setelah TPL masuk ke daerah Sihaporas, TPL banyak menimbulkan virus, pencemaran lingkungan, dan pembabatan hutan secara liar. Kita ngga bisa lagi bebas mencari hasil dari hutan dan hutan kita pun sudah semakin sedikit karena sudah dibabat TPL. Pada waktu penangkapan di Sihaporas, ibu-ibu yang berperan sebagai Poskamling di kampung karena waktu itu ada - entah polisi entah preman - yang datang ke kampung menelusuri perladangan. Hampir seluruh bapak-bapak berangkat dari kampung karena takut untuk ditangkap. Jadi, ibu-ibu hari itu jaga malam. Karena suami dikriminalisasi oleh TPL, sangat berpengaruh pada ekonomi. Sebelum suami ditangkap, kami masih bisa berdua untuk menafkahi anak. Tapi setelah ditangkap, saya sendiri. Banyak tekanan dari teman-teman anak saya yang bilang, ‘Ngga malu bapaknya dipenjara?!’ Saya bilang ke anak saya, ‘Kita bersabar, Bapak kita berjuang untuk meneruskan warisan leluhur kita.’
Turut prihatin atas apa yang Ibu Mersi dan perempuan adat lain alami di kampung. Apakah ada kekerasan atau intimidasi yang dilakukan oleh aparat atau pihak perusahaan atau lainnya kepada perempuan adat di kampung?
Mersi: Intimidasi tidak ada. Tapi, yang kita rasakan, karena suami dipenjara, dua orang itu tahun 2019. Sebelumnya, 2003 dan 2004, ada penangkapan juga, jadi sudah tahap ketiga. Pencemaran itu ngeri juga. Di umbul atau mata air, itu mengambang kotoran orang itu. Itu yang paling menyakitkan. Secara tak langsung mereka beri racun untuk kita.
Yang mengambang di mata air (umbul), itu maksudnya adalah kotoran (feses) manusia?
Mersi: Kotoran manusia! Orang itu mendirikan kamp pas di atas umbul kita. Di situ mereka cuci, mandi, dan buang air.
Ibu Mersi pada konferensi pers, menyampaikan bahwa keluhan itu sudah diutarakan dan ada tindakan agar mereka tidak lagi berkemah atau buang kotoran di umbul. Tapi, itu dilakukan lagi, ya?
Mersi: Ya, seminggu setelah itu. Kami melapor hari itu ke DLH (Dinas Lingkungan Hidup). Sama pencemaran mata air yang terjadi di Lumban Nambarita, kami mohonkan untuk diproses. Datang dari pihak orang itu untuk diproses. Tapi, sampai sekarang, hasilnya tidak ada.
Selain Ibu Mersi, Ibu Esna atau Ibu Berliana, apa pernah mengalami tindak kekerasan dari aparat?
Esna: Dari TPL ke kami, banyak. Ada masalah di kampung, ada lagi waktu kerja di lahan, apalah.
Dipukul?
Esna: Iya, waktu bentrok (aksi untuk menghadang pegawai TPL) agar tak terjadi perkelahian. Jadi, ibu-ibu sangat histeris.
Mersi: Jadi, ibu-ibu yang melihat itu histeris, jadi tertekan juga melihat pertikaian itu. Kalau langsung untuk perempuan, memang tidak ada. Tapi, secara tidak langsung, itu menekan terhadap kita sendiri bahwa kita lihat terjadi pertikaian dan jadi beban pikiran juga…. Yang terasa berat untuk kaum ibu-ibu, setelah kita tahu kita memasak, kita makan, padahal kotoran orang itu ada di atas. Itu paling menyayat hati kita sebagai seorang ibu. Kita kasih (makan) sama anak dan suami kita. Padahal, sudah pencemaran lingkungan melalui kotoran mereka secara tidak langusng.
Apakah Ibu Mersi, Ibu Esna, dan Ibu Berliana, merasa itu sengaja mereka lakukan sebagai bentuk intimidasi terhadap perempuan adat?
Mersi: Disengaja! Ngga mungkin mereka tidak tahu permukiman ada di bawah. Bukan sekali itu orang itu kerja di sana. Humasnya pun ngga mungkin ngga tahu di sana permukiman pendudukan karena humas itu harus jalin hubungan yang baik dengan masyarakat. Hari itu, ada pencemaran lingkungan di sana, ikan-ikan mengambang. Bapak-bapak telusuri di sana ternyata ada bekas-bekas botol dari pestisida yang disemprotkan ke situ. Mereknya Confidor.
Sekarang, bagaimana situasi ibu-ibu di kampung, Bu Mersi? Apakah masih bertahan dan berjuang di kampung?
Mersi: Kami perempuan adat akan tetap berjuang untuk tanah kami karena kami itu bukan penggarap. Kami di sana sudah sembilan generasi. Saya generasi kesembilan, inang ini (Ibu Esna) generasi kedelapan. Jadi, kalau menurut sejarah, sudah ada lebih 200 tahun ompung (kakek-nenek) kami. Kami ada harapan sama pemerintah: Bapak Jokowi, Ibu Siti Nurbaya agar memperhatikan kami Masyarakat (Adat) Sihaporas karena kami bukan penggarap.
Apa yang Ibu mau sampaikan kepada masyarakat mengenai perjuangan yang sedang dilakukan oleh perempuan adat di kampung?
Mersi: Saya sendiri mengharap kepada perempuan-perempuan yang merasa dan turut prihatin dengan kondisi kami di Sihaporas dan Dolok Parmonongan, kami meminta dukungan untuk menyuarakan agar TPL tutup dan hak-hak Masyarakat Adat dikembalikan.
Hal-hal apa saja yang kemudian merasa itu mengganggu kehidupan perempuan adat yang khas di kampung?
Mersi: Urusan pengembalian tanah ini, suami berangkat ke beberapa instansi. Di dalam keberangkatan ini, dia ngga bisa bantu kita (yang perempuan dalam mengurus rumah tangga atau keluarga, termasuk ekonomi). Dia berangkat membutuhkan biaya. Ibaratnya, kalau kita sendiri yang biayai sendiri anak-anak kita, tidak sanggup. Biarpun sanggup, kebutuhan anak jadi tidak memadai, jadi permohonan untuk Pak Jokowi sama Ibu Siti Nurbaya agar lebih sejahtera kehidupan Masyarakat Adat, tolonglah hak-hak Masyarakat Adat dikembalikan, konsesi TPL dicabut atau tutup TPL!
***
Ikut berbagai berita lain terkait dengan perjuangan Masyarakat Adat di Tano Batak maupun Aliansi Gerak Tutup TPL pada Portal Berita AMAN.or.id.
Obrolan pada artikel ini merupakan bagian dari edisi Bincang Masyarakat Adat bersama Aliansi Gerak Tutup TPL dengan judul “Perjuangan untuk Wilayah Adat di Danau Toba” yang dapat didengar melalui https://open.spotify.com/episode/1QU8hkO7AbwNa8oRbgtxOt maupun Website https://radio.aman.or.id/2021/12/09/perjuangan-untuk-wilayah-adat-di-danau-toba.html