AMAN dan Organisasi Masyarakat Sipil Gugat Undang-Undang Konservasi ke Mahkamah Konstitusi
22 September 2024 Berita SepriandiOleh Apriadi Gunawan, Sepriandi
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beserta sejumlah organisasi masyarakat sipil mengajukan permohonan uji formil atas terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 19 September 2024.
Pengajuan uji formil UU KSDAHE yang dilakukan Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan ini karena tiga alasan yaitu tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta tidak memenuhi asas keterbukaan.
Sekretaris Jendral AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan kita mengajukan uji formil terhadap UU KSDAHE ini karena tidak memenuhi syarat, khususnya terkait partisipasi Masyarakat Adat. Dikatakannya, Masyarakat Adat merupakan pelaku utama dalam konservasi tidak dilibatkan secara penuh dalam pembuatan Undang-Undang KSDAHE ini.
Rukka menyebut berbagai masukan juga sudah disampaikan, bahkan mereka sudah berbicara dengan anggota DPR. Tapi, tidak satu pun usulan yang mereka sampaikan diterima.
Rukka menegaskan secara substansi, UU KSDAHE ini berpotensi untuk mengkriminasliasi Masyarakat Adat dan juga merampas wilayah adat, khususnya dikawasan wilayah konservasi.
“UU KSDAHE ini secara khusus telah melanggar konstitusi terkait hak-hak Masyarakat Adat. Hak konstitusional Masyarakat Adat yang telah dikukuhkan dengan MK 35 untuk hak atas tanah wilayah sumberdaya, termasuk hutan adat, di dalam UU itu kembali akan dirampas tanpa melalui hak Masyarakat Adat atas Free, Prior, Informed Consent (FPIC),” kata Rukka usai ikut mendaftarkan permohonan uji formil UU KSDAHE di Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 19 September 2024.
Rukka mengatakan FPIC adalah hal yang sangat penting dan fundamental dari hak Masyarakat Adat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap segala sesuatu yang menyangkut wilayah adatnya tanpa paksaan. Hal ini dapat berpotensi memperluas perampasan tanah dan re-settlement atau pemukiman kembali Masyarakat Adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan.
Rukka menuturkan pembentuk Undang-Undang seharusnya tidak memandang Masyarakat Adat dan komunitas lokal sebagai ancaman dalam penyelenggaraan konservasi, melainkan sebagai aktor utama dan sejajar yang dapat bekerja sama dengan pemerintah.
Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Satrio Manggala mengatakan UU KSDAHE secara formil tidak sesuai dengan sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan UUD 1945. Ia menerangkan Walhi telah menyampaikan beberapa catatan krusial dalam rumusan perubahan UU KSDAHE kepada anggota DPR RI pada 25 Juni 2024, namun hingga hari ini tidak mendapatkan alasan dan kejelasan kenapa masukan-masukan mereka tersebut tidak diakomodir dan tidak direspon.
Hal senada disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Sekjen KIARA) Susan Herawati bahwa UU KSDAHE ini juga secara jelas bertentangan dengan hak konstitusional nelayan dan masyarakat pesisir, sebagaimana tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010. Putusannya menegaskan hak untuk mengakses laut, hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sesuai budaya dan tradisi masyarakat, dan hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
Pemerintah Didesak Batalkan UU KSDAHE
Di Bengkulu, Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Pesisir Barat (KRPB) Bengkulu mendesak pemerintah membatalkan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) karena dinilai merugikan masyarakat kawasan pesisir.
"Kami masyarakat yang berada di pesisir barat Bengkulu meminta agar undang-undang itu dibatalkan. Karena merugikan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan kawasan konservasi," kata Yon Nahadi, Koordinator KRPB Kabupaten Seluma di Bengkulu.
Yon Nahadi menyatakan UU KSDAHE juga berpotensi menimbulkan kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi, dan pengabaian hak komunitas lokal di daerah yang bersentuhan dengan kawasan konservasi.
"Ancaman ini dapat menghilangkan ruang hidup dan mengancam keberadaan Masyarakat Adat," pungkasnya.
***
Sepriandi adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Bengkulu