Oleh : Andreas Hului

Masyarakat Adat Mului hidup di bawah kaki gunung Lumut, Dusun Mului, Desa Swan Slutung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.  Perkampungan mereka ada di tengah hutan. Jauh dari keramaian.

Untuk menempuh perkampungan Masyarakat Adat Mului, butuh waktu 11 jam perjalanan dari Kota Balikpapan. Jarak tempuhnya sekitar 214 kilometer ke Dusun Mului.

Akses jalannya berliku dan menantang, apalagi saat musim hujan. Kubangan lumpur siap menghadang di sisi kiri dan kanan perjalanan. Untuk menuju lokasi ini, disarankan paling aman menggunakan mobil jenis Double Gardan. Sekali jalan, pengunjung harus merogoh kocek sebesar Rp. 2.500.000.

Tak perlu khawatir, di perkampungan Masyarakat Adat Mului sudah masuk listrik pada akhir tahun 2023. Listrik di tempat ini menyala selama 24 jam, yang bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 23,07 Kwp yang merupakan program bantuan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.

Sementara untuk jaringan internet, Masyarakat Adat di kampung ini mengandalkan layanan internet satelit (Starlink). Untuk mengaktifkannya warga harus membeli voucher seharga Rp 6.000 – Rp 8.000 untuk sekali pakai di warung milik warga setempat.

Tak melulu lancar digunakan, tetapi jaringan internet satelit cukup membantu Masyarakat Adat Mului berkomunikasi dengan sanak-keluarganya yang tidak lagi menempati Dusun Mului. Awalnya, Dusun Mului dihuni sebanyak 38 Kepala Keluarga (KK). Hingga kini yang masih bertahan hanya 7 Kepala Keluarga atau 21 orang.

Ditengarai sulitnya akses jalan dan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan menyebabkan sebagian penghuni Dusun Mului berpindah ke wilayah yang aksesnya lebih mudah seperti di Batu Apang dan Desa Suwan Slutung.

Selain itu, mata pencaharian yang mengandalkan perladangan dengan sistem gilir-balik juga menjadi penyebab masyarakat banyak meninggalkan dusunnya yang terdahulu.

Jidan atau yang kerap disapa Tuo Osi merupakan Kepala Adat dari Masyarakat Adat Mului. Ia berpesan kepada masyarakatnya yang telah berpindah ke wilayah lain agar tetap ingat akan tempat asal-usul karena mereka dititip oleh leluhur untuk menjaga wilayah adat Mului.

Komitmen Menjaga Warisan Leluhur

Komitmen untuk menjaga warisan leluhur berupa hutan yang berada di sekitar Gunung Lumut, menjadikan Masyarakat Adat Mului memiliki ikatan yang begitu kuat terhadap berbagai unsur yang hidup maupun tak hidup di sekitar mereka.

Hubungan itu tercermin pada berbagai aktivitas yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Mului ketika sakit seperti demam, malaria, flu, batuk, dan pilek. Orang-orang Mului memiliki apotek hidup yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar dalam hutan adat milik mereka.  Tanaman obat ini tidak boleh diperjual-belikan.  Kalau diberi kepada orang lain diperbolehkan, tapi dalam jumlah terbatas.

Masyarakat  Adat Mului hidup dari berbagai hasil hutan yang mereka manfaatkan secara arif dan bijaksana. Pertanian dengan sistem gilir-balik, berburu, meramu, memanen madu di hutan, kebun sayur, dan berbagai kerajinan olahan tangan dari rotan yang dioleh oleh para Perempuan Adat Mului seperti gelang menjadi sumber pendapatan mereka. Berbagai nilai kearifan lokal terkandung di dalam berbagai praktik yang mereka lakukan.

Semisal seperti berladang, orang-orang Mului terlebih dahulu akan bermusyawarah dan bermufakat untuk menentukan lahan yang boleh dibuka sebagai areal perladangan.  Hal ini dilakukan untuk menjaga jangan sampai ketika membuka ladang mengorbankan makhluk hidup lainnya.

Perladangan juga bukan sekedar persoalan pangan semata bagi Masyarakat Adat Mului. Akan tetapi, perladangan merupakan sarana bagi Masyarakat Adat Mului membangun kebudayaannya. Ini terlihat bagaimana Masyarakat Adat Mului masih menjalankan kerja timbal-balik sebagai sebuah jaring pengaman yang dibentuk sebagai solidaritas sosial yang mereka sebut sebagai Sempolo, biasanya dilakukan pada saat membuka lahan perladangan, pra panen, dan panen.

2 Orang Perempuan Masyarakat Adat Paser Mului Saat Pulang dari Ladang, di Dusun Mului, Desa Swan Slutung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur Kamis (12/12/2024). Dokumentasi AMAN

Perjuangan Mendapatkan Pengakuan

Periode tahun 1980-an, Jidan telah mondar-mandir ke Jakarta untuk menemui beberapa tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia berupaya menggalang solidaritas untuk perjuangan Masyarakat Adat Mului. Berbagai rintangan harus dihadapinya. Bahkan, tidak jarang Jidan harus berdebat dengan sejumlah pihak di Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur kala itu.

Namun, Jidan punya prinsip: perjuangan jangan pernah mengenal takut. Ia mengibaratkan seperti pemanen madu pohon, walaupun bisa memanjat tetapi kalau tidak berani memanjat maka tidak akan pernah sampai ke puncak pohon.

Jidan menuturkan sempat dinyatakan bahwa keberadaan Masyarakat Adat Mului tidak ada, yang ada hanyalah ‘Masyarakat Desa’.  Jidan tak patah semangat. Baginya perjuangan bukan sesuatu hal yang singkat, tetapi butuh proses panjang untuk mencapai tujuan bagi kedaulatan Masyarakat Adat.

Jidan tidak akan pernah melupakan proses panjang yang harus dihadapi oleh Masyarakat Adat Mului untuk mendapatkan Pengakuan dan Perlindungan.

Ia mengungkap sebelum adanya pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Paser terhadap keberadaan Masyarakat Adat Mului, hutan adat seringkali terancam oleh keberadaan perusahaan kayu, seperti PT. Merbau Lestari dan PT. Telaga Mas. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bagi Masyarakat Adat Mului terhadap nasib hutan adat mereka, sebab jika hutan telah rusak maka generasi selanjutnya akan punah. Baginya, hutan bukan sekedar benda mati yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang.

“Hutan adalah kehidupan dan hutan adalah pemberi segala hal yang dibutuhkan oleh Masyarakat Adat Mului. Ketika hutan sudah tidak ada, maka Masyarakat Adat Mului akan kehilangan jati dirinya sebagai Masyarakat Adat,” ungkapnya.

Pemerintah Terbitkan Surat Keputusan

Setelah bertahun-tahun berjuang, akhirnya Jidan merasakan hasilnya. Perjuangannya tidak sia-sia. Pada 24 April 2018, terbit Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Paser  Yusriansyah Sarkawi bernomor 413.3/KEP-268/2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat  Adat Mului. Komunitas Masyarakat Adat Mului juga mendapatkan pengakuan pertama kali dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.

Jidan mengenang pada saat itu, Masyarakat Adat Mului sebagian besar ikut menyaksikan  penyerahan Surat Keputusan Bupati Paser di kantor Camat Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.

“Dusun hampir saja kosong, karena waktu itu Masyarakat Adat Mului antusias ingin menyaksikan penyerahan Surat Keputusan,” kenangnya sembari menambahkan saat itu dirinya meminta kepada beberapa anggota Masyarakat Adat untuk tinggal menjaga kampung.

Setelah Masyarakat Adat Mului mendapat Pengakuan dan Perlindungan, 2 tahun berselang tepatnya pada 1 Oktober 2020, giliran hutan adat milik Masyarakat Adat Mului yang mendapatkan penetapan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 5474/MENLHK-PSL. 1/10/2020 tentang Penetapan Hutan Adat Mului milik Masyarakat Adat Mului seluas 7.722 Hektar.

Penetapan ini sekaligus menegaskan bahwa hutan adat Masyarakat Adat Mului tidak boleh diganggu untuk kepentingan pihak luar yang ingin merusak hutan mereka. Apalagi, perusahaan yang ingin membangun bisnis yang bersifat materialistis dan mengganggu keharmonisan Masyarakat Adat Mului terhadap hutannya.

Jidan menceritakan sebelum terbit SK Bupati Paser dan SK KLHK No 5474, kondisi Masyarakat Adat Mului  terancam oleh berbagai perusahaan kayu maupun pembalak liar yang ingin menghabisi hutan mereka. Bahkan, pemburu liar dengan menggunakan bom turut mengancam hewan yang berada di sekitar kawasan hutan Mului.

Namun kini, situasinya sudah berubah. Masyarakat Adat Mului selaku penjaga warisan leluhur bisa bernafas lega saat ini, berkat adanya Surat Keputusan Bupati Paser dan Surat Penetapan Hutan Adat Mului.  Gangguan dari pihak luar minim. Aturan adat telah menjadi rambu-rambu yang ditaati secara bersama oleh komunitas Masyarakat Adat Mului dalam memanfaatkan segala sumber daya alam yang berada di wilayah adat mereka.

Raih Penghargaann

Berkat kerja-keras dan konsistensi menjaga hutan adat, Masyarakat Adat Mului pada 20 Juli 2022 kembali mendapatkan penghargaan yang sangat bergengsi di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Penghargaan ini diterima oleh Jidan di Jakarta. 

Pria yang dijuluki Sang Penjaga Warisan Leluhur itu dengan gagah mengangkat piagam penghargaan yang diberikan oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia saat itu.

“itu merupakan peristiwa yang tidak akan pernah saya lupakan, jerih-payah Masyarakat Adat Mului dalam menjaga lingkungannya, akhirnya mendapat perhatian dari pemerintah,” kenangnya.

Jidan memperlihatkan piala Kalpataru yang diterima dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun  2022. Dokumentasi AMAN

Perda Perlindungan Masyarakat Adat Masih Minim

Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Kalimantan Timur, Saiduani Nyuk mengapresiasi atas penghargaan yang telah diterima oleh Masyarakat Adat Mului. Ia mengaku tidak gampang untuk mendapatkan penghargaan, perlu kerja yang serius dalam melestarikan lingkungan dan memperjuangkan Masyarakat Adat, khususnya implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat  Adat.

Saiduani menambahkan dengan terbitnya peraturan tersebut, maka Pemerintah Daerah diwajibkan untuk segera membentuk payung hukum yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat.

“Pedoman ini berlaku bagi seluruh Masyarakat Adat di Indonesia yang memiliki wilayah kelola, baik itu di hutan, wilayah pesisir, atau laut,” jelasnya.

Di Kalimantan Timur, sebut Saiduani, telah terbit beberapa produk hukum yang berkaitan dengan Masyarakat Adat seperti Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Timur Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Pengakuan Masyarakat  Adat. Namun, imbuhnya, jumlah Masyarakat Adat yang diberikan pengakuan dan perlindungan melalui  Peraturan Daerah (Perda) masih sangat minim.

“Dari 185 komunitas Masyarakat Adat, baru tujuh komunitas Masyarakat Adat yang  diberikan pengakuan dan perlindungan oleh Pemerintah Daerah yaitu 2 di Kabupaten Paser dan 5 di Kabupaten Kutai Barat,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Timur

Writer : Andreas Hului | Kalimantan Timur
Tag : Kalimantan Timur Masyarakat Adat Mului Penjaga Warisan Leluhur Kaki Gunung Lumut