Oleh Thata Debora Agnessia

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah menjatuhkan vonis enam bulan penjara terhadap Kepala Desa Tempayung Syachyunie pada Selasa, 25 Maret 2025.

Vonis ini menuai kecaman dari berbagai elemen masyarakat yang menilai putusan majelis hakim tersebut sebagai bentuk ketidakadilan hukum.

Sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi protes atas hukuman yang dijatuhkan majelis hakim di Pengadilan Negeri Bun. Seruan ‘Hidup Rakyat” menggema ditengah kerumunan massa aksi. Massa meminta agar putusan tersebut dibatalkan dan Kepala Desa Tempayung Syachyunie dibebaskan.

Salah satu peserta aksi menyampaikan kritik terhadap putusan majelis hakim yang dinilai sangat kolonial.

“Belanda yang kolonial saja punya ahli yang mau mempelajari hukum adat, sementara majelis hakim yang katanya sudah didekolonialisasi justru menutup mata,” serunya lantang.

Gregorius Daeng, salah satu tim penasihat hukum Kepala Desa Tempayung Syachyunie, juga ikut menyampaikan orasi yang secara tegas menyampaikan bahwa keputusan hakim tidak berpihak pada keadilan.

“Kita kecewa dengan putusan majelis hakim yang tidak berpihak pada keadilan,” tegasnya saat berorasi pasca putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun.

Gregorius menyatakan mereka keberatan dengan putusan enam bulan untuk Syachyunie karena majelis hakim cenderung mengakomodasi seluruh dakwaan dan tuntutan jaksa. Sementara, pembelaan dari terdakwa serta saksi-saksi yang dihadirkan justru dikesampingkan.

"Kami mencatat ada beberapa kejanggalan hukum dari putusan ini. Seluruh pembelaan dari saksi maupun ahli yang dihadirkan terdakwa diabaikan begitu saja oleh majelis hakim," paparnya.

Gregorius menilai putusan majelis hakim dipaksakan dan sarat muatan politis. Mereka juga menyoroti sejumlah kejanggalan selama proses peradilan, termasuk sikap hakim yang dinilai cenderung selalu membela ahli serta saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum.

Menurutnya, hal ini semakin memperkuat penilaian koalisi masyarakat bahwa kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak upaya sistematis untuk membungkam perlawanan Masyarakat Adat terhadap dominasi korporasi perkebunan sawit.

"Kasus ini adalah contoh bahwa yang tidak melanggar hukum pun bisa dipaksakan menjadi pelanggaran," imbuhnya.  

Ironisnya dalam putusan hakim, lanjut Gregorius,  kedudukan Masyarakat Adat Tempayung tidak diakui sebagaimana mestinya, yang seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam kasus ini. Eksistensi Masyarakat Adat dikaburkan oleh hakim yang lebih berforkus pada legal formil, meskipun dalam putusannya mereka mengklaim telah menegakkan keadilan materiil.

Gregorius menyatakan klaim majelis hakim tentang putusan yang tegak pada keadilan materiil hanyalah retorika kosong belaka. Ia menuding bahwa putusan hakim justru mengabaikan fakta-fakta yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam mencapai keadilan sejati.

Suasana sidang putusan di PN Pangkalan Bun. Dokumentasi AMAN

Banding ke Pengadilan Tinggi

Di tengah kekecewaan yang mendalam, pihak kuasa hukum  menyatakan akan mengajukan banding atas putusan majelis hakim demi mendapatkan keadilan bagi Syachyunie.

"Kami akan banding ke Pengadilan Tinggi. Kami meminta dukungan, meminta doa, dan meminta restu agar jalan panjang merebut keadilan ini tidak terhenti di sini," seru Gregorius.

Ia pun menambahkan perjuangan hukum tidak akan berhenti hanya di tingkat Pengadilan Negeri, melainkan akan berlanjut hingga ke tingkat kasasi jika diperlukan.

"Di atas langit masih ada langit. Di atas hakim masih ada leluhur, masih ada yang Maha Kuasa yang berkuasa. Jangan ragu, bersama kita bangkit, bersama kita rebut keadilan," tegasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Tengah.

Writer : Thata Debora Agnessia | Kalimantan Tengah
Tag : AMAN Kalimantan Tengah Syachyunie