Oleh Wulan Andayani Putri

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) akan menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) VIII  yang akan berlangsung di komunitas Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang, Desa Kedang Ipil, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada 14-16 April 2025.

Rakernas yang mengusung tema : “Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak” ini dinilai strategis sebagai refleksi untuk mengevaluasi perjuangan serta mengukur capaian dan merumuskan sikap politik organisasi ke depan.

Deputi Sekjen AMAN Eustobio Rero Renggi menyatakan di Rakernas VIII, kami akan melihat kembali proses dan perjalanan organisasi selama dua tahun terakhir ini. Apa saja yang sudah dilakukan dan diperjuangkan oleh Masyarakat Adat, namun masih terus diabaikan negara.  Eustobio menerangkan semua ini akan dibahas dalam Rakernas AMAN VIII, termasuk masalah pemetaan wilayah adat, gerakan ekonomi dan bagaimana kita memperkuat kedaulatan nasional.

Eustobio juga menegaskan melalui Rakernas kali ini juga akan disepakati sikap politik terhadap kebijakan nasional, termasuk kasus-kasus yang dialami komunitas Masyarakat Adat di berbagai wilayah adat. Lebih dari satu juta hektare tanah Masyarakat Adat dirampas atas nama pembangunan. Ia mencontohkan kasus perampasan tanah Masyarakat Adat yang berujung kriminalisasi di Tano Batak, konflik geothermal di Poco Leok, serta tekanan perusahaan yang mengatasnamakan agama di Nangahale.

“Semua ini akan kami sikapi di Rakernas AMAN VIII, karena ancaman terhadap wilayah adat semakin masif.  Ini berdampak langsung pada pengusiran dan kriminalisasi, atas nama pembangunan,” kata Eustobio dalam media briefing dengan wartawan di Jakarta pada Rabu, 9 April 2025.

Eustobio menambahkan dalam hal ini negara perlu membuka ruang dialog dengan Masyarakat Adat, terutama dalam konteks kebijakan pembangunan. Menurutnya, kebijakan rezim hari ini tidak lepas dari kesalahan masa lalu.

Eustobio menyoroti kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto seharusnya membuka diri terhadap kontribusi Masyarakat Adat. Kritik seharusnya jadi alat kontrol publik, bukan dimaknai sebagai ancaman.

“UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU Keanekaragaman Hayati—hampir seluruh kebijakan ini berdampak langsung pada wilayah adat. Prabowo harus terbuka pada masukan Masyarakat Adat, termasuk mengakomodir pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk menjembatani kebutuhan lintas sektor,” ungkapnya.

Momentum Arah Perjuangan Organisasi

Ketua Panitia Rakernas AMAN VIII Yoga Saeful Rizal menyebut AMAN adalah rumah besar bagi komunitas Masyarakat Adat di Indonesia. AMAN berdiri 17 Maret 1999, saat ini menaungi 2.596 komunitas Masyarakat Adat dengan populasi lebih dari 20 juta jiwa. AMAN memiliki struktur dari tingkat nasional hingga daerah: Pengurus Besar, 20 Pengurus Wilayah, 114 Pengurus Daerah, serta didukung oleh tiga organisasi sayap, dua badan otonom, dan tiga badan usaha.

“Seluruh kekuatan ini akan berkumpul di Rakernas AMAN VIII. Ada sekitar 500 orang lebih dari seluruh struktur organisasi akan hadir di Rakernas ini,” kata Yoga di acara media briefing.

Yoga menuturkan Rakernas AMAN VIII memiliki sejumlah agenda diantaranya dialog umum, evaluasi organisasi, pembaruan Anggaran Rumah Tangga, penajaman rencana strategis Organisasi 2022–2027, serta pagelaran budaya.

Ia menjelaskan dipilihnya Kedang Ipil sebagai lokasi Rakernas AMAN VIII bukan atas dasar keputusan seremonial,  melainkan berdasarkan pernyataan sikap dari komunitas Masyarakat Adat Kutai Sumping Layang yang saat ini sedang menghadapi tekanan besar akibat ekspansi perusahaan kelapa sawit dan proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Namun, Masyarakat Adat di Kedang Ipil tetap berdiri tegak menjaga warisan leluhur dan kedaulatan adat.

Yoga juga menyebut dari sisi pelestarian budaya, Kedang Ipil juga setara dengan Kampung Naga atau Baduy yang harus dilestarikan.

Yoga berharap Rakernas AMAN VIII di Kedang Ipil menjadi momentum penegasan sikap dan arah perjuangan organisasi AMAN ke depan. Dari Kedang Ipil, sebutnya, Masyarakat Adat berkumpul dan bersama-sama menyuarakan tuntutannya: memperjuangkan pengakuan yang sah, mempertahankan kedaulatan atas wilayah, dan memastikan keadilan bagi generasi yang akan datang.

“Rakernas kali ini bukan hanya konsolidasi internal, tetapi juga bentuk pelayanan langsung kepada anggota yang berada di garis depan perjuangan,” tegasnya.

Resiliensi Masyarakat Adat

Dalam hal ini, Yoga menyoroti lemahnya implementasi pengakuan terhadap Masyarakat Adatdi daerah. Ada beberapa Pemerintah Daerah sudah punya Peraturan Daerah (Perda), tapi implementasinya mandek.

Yoga mencontohkan di Kalimantan Timur,  provinsi ini sudah punya produk hukum, tapi di tingkat Kabupaten masih stagnan.

“Kutai Barat sampai sekarang belum ada kebijakan daerah untuk pengakuan Masyarakat Adat,” ungkapnya.

Yoga juga menyoroti pentingnya di Rakernas kali ini membicarakan soal resiliensi komunitas Masyarakat Adat yang berada dalam tekanan pembangunan.

“Kita bisa lihat, ancaman terhadap wilayah adat meningkat, kriminalisasi meningkat. Ini harus dibicarakan secara serius dalam Rakernas, termasuk soal pengakuan komunitas Masyarakat Adat Kutai di Kedang Ipil, yang menjadi lokasi Rakernas tahun ini,” jelasnya.

***

Penulis adalah staf Infokom PB AMAn

Writer : Wulan Andayani Putri | Jakarta
Tag : HKMAN Rakernas AMAN VIII