Oleh Zenba Bimbi Galuh Permata

Masyarakat Adat Osing di Dusun Dukuh, Desa Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur kembali menggelar ritual adat Gelar Pitu.

Tradisi tahunan ini menjadi bagian penting dari siklus adat yang tidak hanya merefleksikan nilai spiritual dan penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga memperkuat harmoni antara manusia, alam, dan sejarah lokal.

Ritual adat Gelar Pitu berlangsung pada hari ketujuh bulan Syawal, sesuai dengan makna namanya yang berasal dari bahasa Osing : Gelar berarti membuka atau menggelar  dan Pitu berarti tujuh. Rangkaian acara dimulai sejak malam diawali dengan Ruwatan yakni malam tirakat penuh doa dan pertunjukan seni. Dahulu ditampilkan Wayang Kulit, kini digantikan oleh kesenian Burdah sebagai adaptasi zaman.

Keesokan harinya, ritual berlanjut dengan prosesi Mendak Tirto, yang secara harfiah berarti mengambil air. Namun sebelum proses pengambilan air di sumber Penguripan, para tokoh akan mendatangi Balai Wantilan-Balai Pesinggahan-Balai Pertapan- lalu ke sumber Penguripan untuk mengambil air suci tersebut. Air kemudian dibawa menuju Makam Buyut Putri untuk disemayamkan sebentar. Selama air di semayamkan, para tokoh meletakkan sesaji lain di sumber Kamulyan. Terakhir, air diambil kembali untuk dibawa ke Balai Pesantren lalu dibawa ke rumah Ketua Adat sembari menunggu proses Ider Bumi. Di tempat-tempat tersebut, sesaji dan doa dipersembahkan, dan air suci tersebut akan ikut serta dalam proses Ider Bumi, mengelilingi kampung menuju makam Syekh Jangkung Buyut Saridin dan Buyut. Kemudian, air  digunakan untuk memandikan alat-alat kesenian serta simbol utama ritual: Kopat Gunggung.

Prosesi  Mendak Tirto turut melibatkan Mojo Putri, remaja putri yang mengenakan kebaya dan kain batik putih. Bunga melati putih menjadi satu-satunya bunga yang digunakan ketika mengunjungi makam Buyut Putri, Selain bunga melati, sesaji yang di bawa Mendak Tirto yaitu Kopat Lepet Tape Buntut atau tape terbuat dari beras ketan yang difermentasi alami  dan dibungkus daun kemiri dengan menyertakan tangkainya.  Kemudian, ada juga yang membawa Sate Galih Ayam atau  hati ayam.  Sesaji  ini diletakkan di Balai Wantilan dan sumber Penguripan.

Sementara, sesaji  yang diletakkan untuk Balai Pesinggahan menggunakan kepala ayam dan ceker ayam, untuk Balai Pertapan sesajinya kopat, pisang ambon dan bunga mawar merah yang asli. Terakhir,  sesaji yang dibawa ke sebuah makam yang dipercaya merupakan makam prajurit Pengawal Buyut Putri adalah buah salak dan bunga sundel  atau bunga sedap malam.

Puncak ritual Gelar Pitu berlangsung pada sore hari dengan prosesi Ider Bumi Kopat Gunggung. Masyarakat berarak mengelilingi kampung sambil memikul Kopat Gunggung, diiringi musik gamelan dan barong menuju makam Syekh Jangkung Buyut Saridin—tokoh leluhur yang diyakini sebagai pencetus awal tradisi ini.

Kopat Gunggung sendiri adalah gunungan anyaman ketupat yang berisi uang berbagai pecahan, termasuk koin, pecahan kecil, hingga nominal besar yang dianggap membawa berkah. Kopat Gunggung ini berasal dari swadaya masyarakat dengan ketentuan satu  kepala keluarga mengumpulkan tujuh Kopat dan untuk nominal uangnya bebas seikhlasnya.

Usai prosesi, seluruh warga duduk bersama menikmati hidangan Kopat Lepet yang telah didoakan. Uniknya, mereka membawa alas sendiri dari rumah dan makan bersama di sepanjang jalan kampung, menciptakan suasana guyub penuh kehangatan.

Ritual Gelar Pitu ditutup dengan momen paling dinanti: perebutan Kopat Gunggung. Warga berlomba mendapatkan anyaman kopat berisi uang yang diyakini sebagai simbol keberkahan dan penolak bala. Uang yang diperoleh tidak boleh dibelanjakan, melainkan disimpan, dan kopat biasanya digantungkan di pintu rumah.

Simbol Harominisasi Manusia, Alam dan Sejarah Lokal

Ketua Adat Dusun Dukuh, Lasmidi selaku pemimpin ritual menerangkan dalam ritual Gelar Pitu ini sebenarnya sudah mewakili banyak sekali unsur yang bisa dipelajari oleh kaum muda. Tidak hanya tentang identitas Masyarakat Adat melalui ritual, tapi juga cara Masyarakat Adat mempertahankan kehidupan serta menjaga keharmonisan antar sesama dengan berbagi kebaikan dalam bentuk apapun.

Lasmidi mengatakan ritual Gelar Pitu menjadi bukti bahwa di tengah derasnya arus modernisasi, Masyarakat Adat Osing tetap teguh menjaga nilai-nilai tradisi dan spiritualitas yang diwariskan secara turun temurun.

“Ritual Gelar Pitu ini harus tetap dilestarikan sebagai simbol harmonisasi manusia, alam, dan sejarah lokal,” kata Lasmidi belum lama ini.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Osing, Jawa Timur

Writer : Zenba Bimbi Galuh Permata | Osing
Tag : Oaing