
Masyarakat Adat Bau di Tana Toraja Mengalami Krisis Air Akibat Dampak Perubahan Iklim
03 September 2025 Berita Arnol Prima BuraraOleh Arnol Prima Burara
Komunitas Masyarakat Adat Bau di Kecamatan Bonggakaradeng, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan sedang mengalami krisis air bersih yang semakin serius akibat dampak perubahan iklim.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara lapangan selama dua hari terungkap betapa rentannya akses air bersih di wilayah yang sebagian besar masuk dalam kawasan hutan negara ini.
Observasi dimulai dari rumah tetua adat Pither Padondan. Untuk sampai ke rumahnya di kampung Bau, dilakukan perjalanan dari Rumah AMAN Toraya di Rantelemo pukul 06.00 WITA. Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam melewati jalan tanah berbatu, langkah pun terhenti di rumah Pither Padondan.
Di kampung Pither, sumber air utama bagi komunitas Masyarakat Adat Bau berasal dari mata air pegunungan, dialirkan menggunakan pipa dan selang plastik ke rumah-rumah warga. Namun, distribusinya bersifat bergiliran dan tanpa sistem kontrol. Tidak tersedia keran atau sistem penampungan yang teratur, sehingga air terus mengalir. Apabila bak air penampungan sudah penuh, air harus dialihkan ke rumah tetangga.
Pither Padondan menyatakan kondisi ini menunjukkan betapa terbatasnya infrastruktur air bersih yang ada di komunitas Masyarakat Adat Bau. Air harus disalurkan dari satu tempat ke tempat lain secara manual.
“Kondisi ini mencerminkan ketergantungan Masyarakat Adat Bau tinggi pada pasokan air yang tidak stabil. Sayangnya minim intervensi teknis,” kata Pither di rumahnya, Senin (22/8/2025).
Pither menambahkan situasi ini menunjukkan bahwa di komunitas Masyarakat Adat Bau saat ini sedang mengalami krisis air. Dilanjutnya, krisis air ini diperparah dengan mengeringnya sejumlah sungai yang dulunya menjadi sumber air sekunder bagi warga. Hanya beberapa anak sungai kecil yang masih mengalir, namun debit airnya jauh berkurang.
“Biasanya sungai di sini tidak pernah kering, tapi sekarang airnya sudah kecil sejak beberapa tahun terakhir,” timpal Bartholomeus Patola, pengurus adat di Bau.
Bartholomeus menuturkan fakta ini memperkuat indikasi bahwa perubahan iklim telah mengganggu siklus hidrologi lokal.
“Masyarakat Adat menjadi pihak paling terdampak atas terjadinya perubahan iklim ini karena bergantung langsung pada kondisi alam,” imbuhnya.
Bartholomeus mengatakan krisis air yang terjadi sekarang ini juga berdampak langsung pada sektor pertanian. Sepanjang perjalanan menuju Desa Bau Selatan, ladang-ladang jagung terlihat mengering. Di beberapa lokasi, warga terlihat menebang tanaman jagung yang sudah mati sebelum waktunya. Hasil panen menurun, dan tanah terlihat retak-retak akibat kekurangan air.
“Kondisi ini berpotensi mengancam ketahanan pangan di komunitas Masyarakat Adat Bau, yang selama ini mengandalkan pertanian subsisten untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.
Sungai Pambalan kering di Ollon, wilayah adat Bau. Dokumentasi AMAN
Ancaman Nyata Bagi Masyarakat Adat
Berdasarkan SK Menteri LHK No. SK.362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019, sebanyak 98% wilayah komunitas Masyarakat Adat Bau masuk dalam kawasan hutan negara. Berdasarkan data BPS 2024, total penduduk komunitas 1.740 jiwa (951 laki-laki dan 789 perempuan). Hampir seluruh ruang hidup dan sumber penghidupan Masyarakat Adat Bau berada di bawah pengelolaan negara.
Bartholomeus menyatakan status ini menimbulkan tantangan besar dalam pengelolaan sumber daya alam secara mandiri, terutama akses terhadap air bersih yang tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan lahan dan hutan sekitar.
Dikatakannya, kondisi komunitas Masyarakat Adat Bau hari ini menjadi gambaran nyata bagaimana perubahan iklim tidak hanya soal cuaca ekstrem, tetapi juga menyangkut hak hidup dan keberlanjutan Masyarakat Adat.
“Krisis air bersih, menurunnya debit sungai, serta terbatasnya akses legal terhadap sumber daya alam merupakan ancaman nyata,” tandasnya.
Bartholomeus menegaskan sudah saatnya pemerintah, lembaga terkait dan seluruh pemangku kepentingan mengambil langkah nyata untuk melindungi wilayah adat dan sumber air komunitas, mengembangkan infrastruktur air yang ramah lingkungan dan adil secara sosial, mendorong adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berbasis pengetahuan lokal, menegakkan putusan MK 35/PUU-X/2012 yakni hutan negara tidak berada di dalam wilayah adat
“Tanpa itu semua, setiap komunitas Masyarakat Adat yang ada di nusantara ini, termasuk Masyarakat Adat Bau akan terus berada dalam tekanan, dengan masa depan yang semakin tidak pasti,” pungkasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Toraya, Sulawesi Selatan