Agama ikut berperan melemahkan masyarakat adat. Agama-agama yang diakui negara membuat agama-agama lokal yang diusung masyarakat-masyarakat adat diabaikan, bahkan termarjinalkan.

Penilaian ini dikemukakan Sekjen PGI Pdt. Gomar Gultom ketika memberi tanggapan dalam simposium nasional “Tata Negara dan Re-organisasi Kelembagaan Negara” yang dilaksanakan di arena Kongres Masyarakat Adat Nusantara Ke-5 (KMAN V), di Kampong Tanjung Gusta, Deli Serdang, Sumut, Rabu, 15 Maret 2017.

Simposium ini menghadirkan banyak pembicara dan penanggap dari berbagai kalangan. Simposium dimaksudkan untuk mendiskusikan strategi relasi masyarakat adat dan negara di masa depan. Seperti apa hubungan negara dan masyarakat adat yang seharusnya, serta tantangan apa yang dihadapi setelah ada UU Masyarakat Adat.

Pdt. Gomar Gultom mengatakan, salah satu kesulitan terbesar di negara kita dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat adalah karena agama yang sudah terlanur begitu kuat dipertentangkan dengan masyarakat hukum adat. Komunitas agama, termasuk gereja-gereja, diuntungkan sekali oleh UU Nomor 1 Tahun 1965, yang menyatakan agama-agama yang diakui negara.

“Dengan inilah agama-agama masyarakat adat mulai tidak mendapat tempat di negeri ini. Lima agama yang diakui itu semua agama impor, pendatang di negeri ini. Dan agama-agama lokal yang diusung masyarakat adat lokal, nyaris diabaikan, kalau tidak mengatakan dimarjinalkan,” ujar Pdt. Gomar. “Saya orang Batak, gereja saya gereja Batak. Saya tahu betul hadirnya gereja di Tapanuli yang juga memarjinalkan Parmalim di Tanah Batak. Saya kira juga gereja-gereja lain di tempat lain melakukan hal yang sama,” lanjutnya.

Karena itu, PGI beberapa tahun belakangan berusaha mengajak gereja-gereja di Indonesia untuk bersama-sama dengan masyarakat adat melihat bangsa ini sebagai wadah bersama, yang harus dibangun bersama.

“Tidak lagi memperlakukan atau melihat masyarakat adat sebagai target yang harus dikompresi. Tapi melihat sebagai partner mewujudkan dakwah atau misi agama, yaitu kesejahteraan bersama,” tegas Pdt. Gomar.

Dalam rangka ini pula, jelas Pdt. Gomar, PGI mulai bekerja sama dengan AMAN. Pada sidang Majelis PGI di Salatiga, PGI mengundang Sekjen AMAN Abdon Nababan bersama Gunarti, wakil dari komunitas Samin atau Sedulur Sikep dari Rembang, Jawa Tengah, untuk memberi pehamaman mengenai masyarakat adat. “Mengajak gereja-gereja membayar hutang selama ini terhadap masyarakat adat,” ujar Pdt. Goma

Melalui kongres AMAN, Pdt. Gomar kembali mengajak gereja-gereja untuk memperbaiki hubungan dan membayar selama ini terhadap masyarakat adat. Agar semua agama-agama di Indonesia tidak menjadikan Indonesia, kalau Kristen seolah mesti jadi Eropa atau Israel, Islam harus menjadi Arab, dan Hindu harus menjadi India. “Mari kita bersama-sama dengan jatidiri kita sebagai bangsa Indonesia, menghargai hukum adat,” ujarnya.

Pernyataan Pdt. Gomar Gultom ini mendapat aplaus dari delegasi masyarakat-masyarakat adat yang mengikuti simposium. Meski okupasi agama terhadap agama dan kearifan leluhur sudah menjadi pemahaman di banyak komunitas masyarakat adat dan pemerhati, pernyataan tegas bernada pengakuan dari tokoh agama sepeti Pdt. Gomar Gultom ini terasa baru dan mengejutkan.

Berkaitan dengan kerugian-kerugian yang dialami masyarakat adat karena kebijakan negara, Pdt. Gomar menyarankan revisi konstitusi untuk mengakomodasi komplain. “Tampaknya ke depan, kita membutuhkan revisi undang-undang agar Mahkamah Konstitusi bisa menerima komplain dari orang-orang yang hak-hak konstitusinya terabaikan atau diabaikan dengan sengaja,” ujar Pdt. Gomar. *

Oleh: Nestor RT

Writer : Nestor RT | Jakarta