Bicara Masyarakat Adat, AMAN Bertemu Wakil Menteri Luar Negeri
11 Juni 2015 Berita Patricia Miranda WattimenaJakarta 5/6/2015 – Untuk menyamakan persepsi tentang masyarakat adat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melakukan audiensi dengan Wakil Menteri Luar Negeri, Abdurrahman Mohammad Fachir di Kantor Kemenlu Jl. Taman Pejambon No.6 Jakarta . Dalam audiensi ini Sekjen AMAN, Abdon Nababan didampingi Rukka Sombolinggi Deputi Sekejen AMAN Advokasi Hukum & Politik, Erasmus Cahyadi Tere Direktur Advokasi Kebijakan & Hukum serta Patricia Miranda Wattimena Divisi Advokasi Internasional, diterima langsung oleh Wamenlu di ruang kerjanya. Setelah saling berkenalan Abdon Nababan kemudian menyampaikan maksud dari kunjungan tersebut yaitu untuk berdiskusi dan menyamakan persepsi dengan Kementerian Luar Negeri yang dalam beberapa pertemuan Internasional seringkali pandangannya tidak selalu sama dengan AMAN. Sekjen AMAN juga mengingatkan adanya ikatan AMAN dengan pemerintahan Jokowi-JK dengan adanya konsep Nawacita pada halaman 21-22 ada 6 komitmen khusus untuk masyarakat adat. “Seharusnya itu mempengaruhi interaksi AMAN dengan Kemenlu,” kata Abdon Nababan. “Supaya komitmen Presiden Jokowi tercermin dalam diplomasi Indonesia di dunia Internasional,” Nababan menambahkan. Rukka Sombolinggi mengatakan, “selama ini dalam negosiasi internasional AMAN bisa sangat dekat dengan pemerintah Indonesia khususnya saat LOI dengan Norwegia untuk REDD +. Dalam berbagai perundingan Internasional khususnya terkait dengan perubahan iklim, kami secara resmi menjadi bagian dari delegasi pemerintah, tetapi kadang-kadang dalam pertemuan kecil wakil pemerintah Indonesia di Genewa atau di New York itu bisa berubah, terutama yang terkait dengan Indigenous Peoples . Yang terakhir di World Conference on Idigenous Peoples (WCIP), dalam pertemuan-pertemuan itu komunikasinya kurang mulus. “Ini yang perlu segera kita bicarakan supaya bisa sama-sama melihat bagaimana kita bisa saling memperkuat, karena kita sedang menuju pertemuan COP di Paris. Ada banyak sekali prestasi Indonesia untuk masyarakat adat mestinya bisa menjadi bendera Indonesia dan itu yang selalu kami coba sampaikan kepada pemerintah. Kalau pemerintah Indonesia meng-highlight capaian-capaian yang ada saat ini dalam perubahan kebijakan, program-program mestinya pemerintah Indonesai sudah bisa menjadi leading untuk konteks Indigenous Peoples,” papar Rukka. “Kami belum mampu menyakinkan perwakilan pemerintah di New York maupun di Genewa,” imbuh Rukka. Patricia Wattimena mengatakan,” tidak disangkal bahwa ada beberapa perbedaan pandangan yang terajadi ketika kita berada dalam proses di tingkat Internasional dan hal itu perlu dijembatani. Bukan hanya terkait Putusan MK No 35, tapi juga ada Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA) dan kurang lebih sepuluh Perdatentang masyarakat adat sedang dalam proses. Indonesia bisa jadi salah satu Negara dengan best practices dalam hal pengakuan terhadap masyarakat adat,” papar Patricia. “Kita selalu mengedepankan keunggulan yang kita miliki, Indonesia punya sekian etnik grup, sekian dialek bahasa dan sekian agama. Tapi sejak 1928 kita sudah cair sebagai bangsa, tapi kita tetap melindungi, mengedepankan dan memberdayakan perbedaan. Oleh karena itu sejak awal keunggulan yang kita tampilkan adalah pluralisme,” ujar Wamenlu Abdurrahman Mohammad Fachir. “Mungkin yang dimaksud dengan Indigenous Peoples itu kita semua di Indonesia.” Lanjutnya. Abdon Nababan mengatakan bahwa pengertian Indigenous Peoples inilah yang harus didiskusikan, sebab dengan kementerian-kementerian lain diskusinya sudah panjang. “Dalam pengertian Indigenous Peoples kita tidak pakai istilah pribumi, tapi kita gunakan masyarakat adat, karena masyarakat adat itulah sebenarnya saat ini bisa kita pegang sebagai jangkar dari kebhinekaan, mereka langsung terikat dengan tanah. Jadi bukan semata-mata etnisitas, tapi masyarakat adat dimana secara turun temurun mereka memang ada di wilayah adat yang jelas dan ada relasi antara kelompok manusia tersebutdengan tanah dan lingkungannya. Persepsi yang muncul di Kemlu itu seolah-olah masyarakat adat itu Papua dan mau merdeka.” “Buat kami masyarakat adat itu adalah yang memang kehidupannya, sejarahnya, kulturnya masih terikat dengan asal-usulnya, tanah,”lanjut Abdon Nababan. “Berbeda dengan pribumi yang hanya bersifat darah. Darah memang penting, lalu ada sistem sosial dan tanah. Membawa isu masyarakat adat ke isu separatis bagi AMAN sangat tidak relevan.” tambah Abdon Nababan. “Kalau mau berdiskusi ada baiknyakita bikin diskusi, workshop, atau seminar untuk menyamakan persepsi.”ujar Abdurrahman Mohammad Fachir. “Kemlu jelas bagian dari pemerintah, kalau pemerintahnya katakanlah sampai Pak Jokowi dengan Nawacita juga memprioritaskan masyarakat adat, Kemlu tidak akan jalan sendiri.”tambahnya. “Buka saja ini menjadi diskursus publik dan mengundang Kementerian Luar Negeri, dan kalau ini sudah menjadi kebijakan pemerintah tidak akan pernah Kemlu berbeda dengan kebijakan itu,” kata Wamenlu Wamenlu selanjutnya mendelegasikan Dicky Komar, Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementrian Luar Negeri guna menindaklanjuti komunikasi terkait inisiatif diskusi terkait masyarakat adat bersama AMAN dan pemangku kepentingan lainnya.**Patricia Miranda Wattimena