Hadirnya perusahaan perkebunan negara dengan HGU bagi Rakyat Penunggu dinilai lebih buruk penerapannya dibandingkan masa kolonialisme Belanda dan Jepang.

“BAGINYA, SEKOLAH dan ilmu bukan hanya pendidikan formal tapi juga dari pengetahuan yang didapat dari teman-teman seperjuangannya,” ujar Arifin Saleh. Itu hal pertama yang paling membekas di ingatan Monang -sapaan akrab Arifin Saleh, saat ditanya tentang sosok ayahnya, almarhum Afnawi Noeh. Afnawi Noeh, laki-laki jangkung berbadan kurus. Ia lebih dikenal dengan sebutan “Abah”, sebutan yang datang karena ia juga menjadi seorang guru mengaji. Semasa hidup, Abah dikenal sebagai figur vokal. Ia merupakan pemimpin Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) generasi ke dua. Organisasi ini, bersama dengan puluhan perwakilan berbagai komunitas adat lain, ikut mendirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam sebuah pertemuan di Jakarta, pada 17 Maret 1999. Akses Atas Tanah di Masa Konsesi Belanda BPRPI adalah organisasi masyarakat adat Rakyat Penunggu yang mendiami wilayah Serdang, Deli, Medan, Binjai dan Langkat. Wilayah ini merupakan daerah subur karena diapit oleh dua sungai besar; Sungai Ular dan Sungai Wampu. Kedua sungai ini merupakan asal muasal sebaran Rakyat Penunggu saat merintis kampung, berladang dengan sistem pertanian gilir balik dan menjaga hutan reba yang kemudian menjadi satu kesatuan sebagai tanah adat. Terdapat sekitar 67 kampung, hutan reba dan wilayah perladangan yang luasnya mencapai 350.000 hektar. Seperti masyarakat adat pada umumnya, Rakyat Penunggu juga memiliki sistem nilai, hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya dan kelembagaan adat yang berlaku dan diwariskan secara turun-temurun. Wilayah ulayat Rakyat Penunggu utamanya merupakan daerah penghasil tembakau, kopi, teh dan coklat. Tembakau dari wilayah ini di masa lalu diekspor hingga ke Jerman dan Amerika. Hal ini yang membuat Belanda tergiur untuk melakukan investasi perkebunan dengan meminjam tanah ulayat dari Rakyat Penunggu. Edy Ikhsan dalam bukunya Konflik Tanah Adat dan Pluralisme Hukum: Hilangnya Ruang Hidup Orang Melayu Deli (2015) menulis bahwa Belanda kemudian mengeluarkan sejenis akta konsesi yang mengatur hubungan peminjaman tanah tersebut. Akta-akta konsesi tersebut utamanya mengatur soal penebangan kayu di wilayah-wilayah yang telah disepakati. Aturan normatif paling awal menurut Ikhsan salah satunya tercantum dalam Pasal 9 akta tahun 1877 yang berbunyi: “Het zan aal del bevoking ten allen tijde vrij staan in heg not nien ontgonnen gedeelte der aan del contracten ter andere zijde afgestane gronden rotting en andere boschproducten te verzamelen.” (Di bagian tanah yang belum dibuka oleh pihak perkebunan, rakyat senantiasa dapat berhak mengambil rotan dan hasil-hasil hutan lainnya.) Pasal ini kemudian direvisi di tahun 1884. Terutama frasa “rotting en andere boschproducten” yang diubah menjadi “natuurlijke producten in te verzamelen, ook brand en timmerhout, doch in het laatste alleen vor haar eigen gebruik” (hasil-hasil alam juga kayu api dan kayu untuk pertukangan, sepanjang hanya untuk kebutuhan sendiri). Frasa di atas membuktikan bahwa sejak awal, bagi Rakyat Penunggu, hadirnya konsesi asing tidak berarti pelepasan hak pemanfaatan hutan sepenuhnya. Bahwa kehadiran investasi tidak berarti pembatasan dan peniadaan akses mereka atas hasil-hasil hutan yang berguna bagi kebutuhan hidup harian Rakyat Penunggu. Selain itu, lahan konsesi yang diserahkan kepada Belanda untuk dijadikan perkebunan tembakau juga masih dapat dikelola masyarakat adat untuk menanam padi, jagung, umbi-umbian dan sayur-sayuran. Hasil-hasilnya sepenuhnya juga dinikmati oleh Rakyat Penunggu. Masa tanam terutama dilangsungkan usai panen tembakau dilakukan. Periode inilah yang turut mempengaruhi perubahan penyebutan tanah adat Rakyat Penunggu di kemudian hari yang dikenal sebagai Tanah Jaluran. Penyebutan ini datang dari model penanaman tembakau yang menggunakan lajur-lajur. Penderitaan Masa Jepang, Lanjut Berjuang Masa Kemerdekaan Hal tersebut berubah drastis ketika Jepang berkuasa. Model penguasaan dan pengelolaan tanah adat yang tadinya perkebunan dikelola oleh investor Hindia Belanda di rubah penguasaannya menjadi sepenuhnya di bawah penguasaan pemerintah kolonial Jepang. Sistem yang diterapkan berbeda seratus delapan puluh derajat. Pemerintah Jepang lalu memperkenalkan Sistem Tanam Paksa. Tujuannya adalah agar tanah-tanah adat menjadi sumber persediaan cadangan makanan ketika perang berlangsung. Di masa inilah masyarakat adat Rakyat Penunggu dipaksa menjadi buruh perkebunan palawija seperti padi, jagung dan kacang-kacangan. Hasil panen juga sebagian besar dikuasai kolonial Jepang dan hanya menyediakan sisa untuk warga anggota komunitas Rakyat Penunggu yang bekerja. Periode ini dikenang sebagai salah satu periode paling buruk dalam sejarah eksistensi Rakyat Penunggu. Banyak anggota komunitas mereka yang menjadi tewas karena kerja paksa. Arifin Saleh mewarisi cerita kelam ini dari ayahnya. Seperti anak-anak Rakyat Penunggu yang lain, Monang diajarkan bahwa periode kerja paksa adalah bentangan waktu yang tidak ingin diulang kembali. Rakyat Penunggu menolak untuk menjadi tumbal lagi bagi kolonialisme yang hanya mengeksploitasi tanah mereka dan menjadikan anggota komunitas sebagai tenaga kerja semata. “Kami tumbuh besar dan belajar bahwa masa kerja paksa di masa kolonialisme Jepang tidak bisa dibiarkan terjadi lagi. Sudah cukup kami menjadi korban dan tanah kami dieksploitasi. Generasi saya adalah generasi yang menjalani masa kanak-kanak hingga remaja dengan menyaksikan para orang kami berjuang dengan segenap daya untuk mempertahankan hak atas tanah dan hak kami sebagai Rakyat Penunggu,” jelas Monang. Masa setelah Jepang pergi dan Indonesia dideklarasikan sebagai bangsa tidak berarti akhir perjuangan bagi Rakyat Penunggu. Aset-aset pemerintah dan investor Hindia Belanda dan Jepang lalu oleh pemerintah Republik Indonesia diambil alih penguasaannya. Oleh banyak catatan sejarah, proses sentralisasi kepemilikan tanah ke dalam tangan negara ini disebut nasionalisasi. Seluruh kontrak atau konsesi yang pernah dilakukan oleh Rakyat Penunggu dengan investor dan pemerintah Hindia Belanda dianggap lagi tidak berlaku. Salah satu akibat langsungnya adalah hilangnya hak-hak Rakyat Penunggu atas tanah dan hutan adat mereka. Terutama, tanah-tanah ulayat yang di masa lalu pernah dijadikan perkebunan tembakau oleh kolonial Hindia Belanda. Menurut Monang, situasi ketidakadilan yang diakibatan oleh peralihan hak atas tanah-tanah adat Rakyat Penunggu dari pemerintah kolonial (Belanda dan Jepang) kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi titik awal lahirnya Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) di tahun 1953. Puncak perjuangan BPRPI terjadi ketika lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria di tahun 1960 yang memperkenalkan sistem Hak Guna Usaha (HGU) dalam menjalankan usaha perkebunan. Di berbagai wilayah Indonesia, tanah-tanah masyarakat adat secara otomatis dikuasai oleh negara dan diserahkan kepada berbagai PT. Perkebunan Negara melalui pemberian HGU sebagai izin kuasa untuk mengolah wilayah yang dirampas tersebut. HGU, Perkebunan Negara dan Merebut Kembali Hak atas Tanah Hadirnya perusahaan perkebunan negara dengan ijin HGU bagi Rakyat Penunggu dianggap lebih buruk penerapannya dibandingkan dengan masa kolonialisme Belanda dan Jepang. Indikatornya adalah pencopotan terhadap hak-hak komunitas adat Rakyat Penunggu atas tanah adat (tanah jaluran) sebagai alat produksi keberlanjutan hidup. Pengambilalihan yang dilakukan tanpa perundingan, diskusi dan mendengarkan aspirasi dari masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atas tanah-tanah tersebut. Bahkan, masyarakat adat Rakyat Penunggu tidak diijinkan masuk ke dalam areal ulayat yang telah diubah statusnya secara sepihak melalui HGU. Tanah-tanah ulayat Rakyat Penunggu yang sudah berada di bawah skema perizinan HGU tersebut lalu diserahkan pengelolaannya kepada PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Monang menjadi saksi bagaimana ayahnya, Arifin Noeh yang menjadi Ketua Umum BPRPI melanjutkan kepemimpinan Abdul Kadir Harun yang berlangsung selama 26 tahun. Seperti pendahulunya yang juga merupakan kakaknya, Arifin Noeh, tidak dipilih melalui pemungutan suara, melainkan ditunjuk dalam sebuah musyawarah dari anggota-anggota BPRPI. “Ayah saya hidup sederhana. Tapi saya ingat betul bahwa ia memiliki tatapan mata yang selalu memancarkan semangat. Ayah seperti tidak pernah kehabisan semangat, tidak mengenal lelah dan rasa takut,” kata Monang mengenang sosok almarhum ayahnya. Monang menceritakan bahwa ayahnya lahir pada 7 Juli 1937 dan sempat menamatkan pendidikan formal di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Kepulangan Arifin Noeh ke wilayah Deli tidak dapat dilepaskan dari keterlibatannya dalam dunia politik, terutama setelah bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). “Ayah diangkat sebagai Ketua Ranting PNI Ismaliyah, Medan. Lalu diangkat menjadi Ketua Gerakan Pemuda Marhaen. Sehari-hari, almarhum bekerja sebagai reporter harian Waspada dan Glora Maritim, selain juga menjadi kontributor di beberapa koran mingguan di Medan di dekade 70-an dan 80-an,” kenang Monang. Keterlibatan Arifin Noeh dalam PNI awalnya tidak terlalu mendapatkan sambutan hangat di internal BPRPI. Salah satu penyebabnya adalah keterlibatan Persatuan Petani Indonesia (Petani), yang merupakan salah satu organisasi sayap PNI, dalam berbagai aksi pengambialihan tanah masyarakat adat Rakyat Penunggu di masa seruan nasionalisasi oleh Soekarno. “Salah satu hal pertama yang dilakukan ayah saat baru dipercaya menjadi Ketua BPRPI adalah dengan menuntut negara untuk mengembalikan tanah adat kami yang dikenal sebagai Tanah Jaluran, yang membentang dari Sungai Ular hingga ke Sungai Wampu,” kata Monang. Di tahun 1979, Arifin Noeh memimpin demonstrasi sekaligus pendudukan tanah adat Rakyat Penunggu yang dirampas negara melalui PTPN II. Gerakan okupasi ini dimulai di Kampung Mabar dan meluas ke kampung-kampung lainnya seperti Klambir Lima, Rusip, Denai, Tanjung Gusta, dan Tanjung Mulia. Pendudukan kembali tanah ini melibatkan banyak pemuda dan dianggap sebagai salah satu periode penting dalam sejarah gerakan BPRPI. “Ayah juga membangun jaringan kerjasama dengan berbagai lembaga, terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),” kata Monang. Masa kepemimpinan Arifin Noeh mencatat beberapa capaian signifikan. Antara lain adalah terbitnya surat dari Gubernur Sumatera Utara, yang saat itu dijabat EWP Tambunan. Surat dengan nomor 14233/3/7/1980 tersebut membicarakan persoalan perihal penyelesaian keluhan dan sengketa atas tanah yang diajukan oleh BPRPI. Gubernur lalu menyerahkan penyerahan penyelesaian sengketa tersebut kepada Bupati Langkat dan Bupati Deli Serdang. Inilah dasar terbitnya surat Bupati Deli Serdang, nomor 10675/3 pada tanggal 4 Agustus 1980 . Saat itu, Teteng Ginting adalah pejabat Bupati Deli Serdang. Surat ini menjadi awal pendaftaran komunitas-komunitas yang dikategorikan sebagai Rakyat Penunggu di sepuluh kecamatan di antaranya Kecamatan Deli Serdang. Namun, pencapaian itu tak menemukan bentuk prakteknya di lapangan. Monang mengenang bagaimana almarhum ayahnya lalu menuju Jakarta untuk menghadap Menteri Dalam Negeri. Hasil dari pertemuan tersebut adalah terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (SK Mendagri) yang diteruskan kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Agraria agar ditindaklanjuti Gubernur Sumatera Utara. SK Mendagri tersebut mengatur soal perihal tanah seluas 10.000 hektar yang harus dikeluarkan dari areal HGU PTP-IX yang didistribusikan kepada Rakyat Penunggu yang berhak di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Ayah Memberi Teladan, Anak Melanjutkan Perjuangan Aktivitas sebagai Ketua BPRPI ikut berdampak langsung kepada keluarga Arifin Noeh. Monang, anak bungsunya, mengenang bagaimana keluarganya kemudian selalu berada di bawah pengawasan Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan. Arifin Noeh juga pernah mendekam di dalam penjara akibat perjuangan teguhnya merebut kembali tanah adat Rakyat Penunggu. “Saat Ayah ditahan, Ibu lalu menjadi tulang punggung keluarga. Ayah juga lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah, tapi Ibu selalu tetap setia mendukung,” kenang Arifin Saleh. Dukungan tanpa pamrih Rodiah Ginting, istri almarhum Arifin Noeh terhadap perjuangan suaminya, ikut menjadi salah satu faktor yang melandasi keterlibatan Monang dan kakaknya Harun Noeh di dalam gerakan masyarakat adat Rakyat Penunggu. Harun Noeh bahkan sempat menjadi Ketua BPRPI. Monang sendiri sempat menjabat sebagai Sekretaris Wilayah Medan BPRPI di periode 1998-2003. Empat tahun kemudian, Monang lalu ditunjuk sebagai salah satu bagian dari Pengurus Besar (PB) AMAN, jabatan yang masih diembannya hingga saat ini. Ia adalah salah satu figur kunci di balik suksesnya penyelenggaraan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V di tahun 2017. Kini Arifin Saleh memutuskan maju sebagai salah satu kandidat calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) wilayah pemilihan Sumatera Utara, daerah pemilih (dapil) 1. “Saya memutuskan untuk bertarung memperebutkan kursi di Senayan karena mengemban dua misi utama. Pertama, untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat yang hingga kini masih terkatung-katung. Kedua, sebagai juru bicara dan pembawa aspirasi kelompok masyarakat adat dan petani yang selama ini menjadi korban perampasan tanah dan konflik agraria,” jelas Monang. Ia sadar, ia memanggul beban ganda; sebagai anggota komunitas adat Rakyat Penunggu yang masih terus memperjuangkan hak atas tanah ulayat mereka, juga karena teladan yang diwariskan oleh almarhum bapaknya, Arifin Noeh. Oleh : Andre Barahamin

Writer : Andre Barahamin | Jakarta