Ancaman Keselamatan Masyarakat Adat di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
21 Februari 2019 Berita Jakob SiringoringoJakarta (20/2), www.aman.or.id - Isu Masyarakat Adat khususnya yang hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak masuk dalam debat calon presiden putaran kedua, Ahad (17/2) lalu. Kedua pasangan sama sekali tidak menyinggung apalagi berdebat terkait persoalan krisis dan masalah di pesisir dan pulau-pulau kecil. Padahal, krisis dan masalah di pesisir dan pulau-pulau kecil itu begitu nyata, mulai dari ekspansi pertambangan dan migas, perkebunan sawit dan tebu, hutan tanaman industri (HTI), reklamasi pantai, dan pengembangan pariwisata berbasis industri.
Hal itu terungkap dalam konferensi pers “Menyoal Pemilu 2019 bagi Keselamatan Rakyat dan Lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil” yang berlangsung di sekretariat Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jln. Mampang Prapatan IV, No. 30B, Jakarta Selatan.
Adlun Fiqri dari AMAN Maluku Utara, salah satu pembicara, mengungkapkan dampak masuknya konsesi tambang seperti di wilayah adat Togutil, Maluku Utara, membuat Masyarakat Adat kehilangan akses terhadap wilayah adatnya yang nota bene merupakan hak bawaan mereka secara turun-temurun. Selain Masyarakat Adat Togutil, Masyarakat Adat Sawai juga mengalami hal yang sama.
Menurut rilis pers JATAM, selain pulau-pulau kecil, wilayah pesisir juga mengalami nasib serupa, mulai dari Donggala, Morowali, Morowali Utara, dan Banggai di Sulawesi Tengah; Halmahera Tengah, Halmahera Timur di Maluku Utara; pantai Pulau Merah di Banyuwangi dan beberapa pesisir lainnya di Indonesia.
Persoalan lain yang terus mengancam pesisir dan pulau-pulau kecil adalah terkait pengembangan industri pariwisata. Hal ini bisa ditemukan di wilayah pesisir Pulau Sumba dan Flores di NTT yang sudah dikavling korporasi nasional dan transnasional.
Selain itu, persoalan proyek reklamasi di kawasan pesisir meningkat tajam dari 16 kawasan pada 2016 menjadi 42 kawasan pada 2018. Kehadiran reklamasi telah merusak ekosistem, merampas ruang hidup nelayan dan petambak garam, dan sebagian besar hanya untuk memenuhi kepentingan perluasan properti.
Seluruh kehadiran investasi berbasis lahan ini juga tak luput dari persoalan kekerasan dan intimidasi yang berujung pada konflik sosial dan pelanggaran HAM. Dua contoh kasus data ditemukan di Pulau Romang, Maluku Utara dan Sumba Barat, NTT.
Di Pulau Romang, pelanggaran HAM sangat telanjang, mulai dari praktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang menolak tambang, hingga hilangnya akses terhadap air bersih dan rasa aman bagi warga.
Sementara di Sumba Barat, seorang Masyarakat Adat bernama Poro Duka tewas ditembak aparat kepolisian hanya karena menolak tanahnya dirampas untuk kepentingan pariwisata.
Data JATAM menunjukkan lokasi tambang di pulau-pulau kecil terdapat di 11 wilayah di Indonesia. Lokasi-lokasi tersebut merentang mulai dari Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat.
Siapa penguasa pulau-pulau kecil ini? Adlun memaparkan, konsesi seperti di Pulau Gebe misalnya sudah ada. Merujuk data JATAM, setidaknya terdapat empat orang yang tercatat namanya sebagai penguasa di Pulau Gebe.
Mereka adalah 1) Andi Arnaldi Ezra Baramuli dengan jabatan Kerabat Dewan Penasihat Partai Golkar, AA Baramuli; Komisaris PT Bartra Putra Mulia dengan perusahaan PT Bartra Putra Mulia; 2) Emir Baramuli, jabatan Kerabat Dewan Penasihat Partai Golkar, AA Baramuli; Dirut PT Bartra Putra Mulia, perusahaan PT Bartra Putra Mulia; 3) Ernawati Tahang, jabatan Ketua Bidang Kebudayaan Daerah DPP Partai Golkar; Direktur PT Bartra Putra Mulia, jabatan PT Bartra Putra Mulia; 4) Ir. zainudin Umasangadji, jabatan pernah menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Maluku Utara (2002), pernah menjadi komisaris PT Bank Malut; komisaris PT Mineral Trobos, perusahaan PT Mineral Trobos.
Bagaimanapun nasib Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti di Pulau Gebe telah dihancurkan perusahaan-perusahaan swasta. Di sisi lain, musim pemilu seperti sekarang semakin memperterang situasi. Debat pilpres putaran pertama dan kedua sudah selesai. Tapi tak satu pun membicarakan isu Masyarakat Adat, baik secara holistik maupun terpilah seperti misalnya untuk Masyarakat Adat yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Jakob Siringoringo