Dalam pembangunan, Masyarakat Adat mestinya memperoleh kebijakan afirmasi dan perlindungan. Ini karena Masyarakat Adat dalam ekonomi, sudah menciptakan eksternalitas positif, yang tidak diciptakan oleh kelompok masyarakat lain atau industri ekstraktif yang justru merusak lingkungan hidup mereka. Ekonom Faisal Basri, mengemukakan itu dalam webinar bertema Urgensi UU Masyarakat Adat dalam Perspektif Ekonomi dan Pembangunan, yang dihelat AMAN dan IPC (Indonesian Parliamentary Centre), Kamis (25/2/2021) sore. Faisal menyatakan, keberadaan Masyarakat Adat tidak bisa dinilai dengan atribut pembangunan. Ia kata, Masyarakat Adat itu bukan menciptakan nilai tambah setinggi-tingginya, tapi menjaga nilai yang tidak bisa dihasilkan secara instan. “Jadi kalau hutan itu hilang oleh pembabatan, oleh batubara, oleh nikel, oleh sawit, itu prosesnya tidak bisa membutuhkan ratusan tahun untuk dicover.” Ia menjelaskan opportunity cost bila hutan adat diambil korporasi menyebabkan nilai ekonomi lingkungan menjadi rusak tak serta-merta bisa diganti. Butuh yang namanya pemulihan lahan itu berpuluh-puluh tahun. Kalau non renewable resources itu ratusan, bahkan ribuan tahun untuk mencapai fosil. Menurut Faisal, Masyarakat Adat adalah pencipta eksternalitas positif dalam ekonomi. Ini yang selama ini yang bila dihitung nilainya sangat besar. Dengan tradisi turun-temurunnya yang harmoni bersama alam, sebenarnya masyarakat sudah menjaga supaya oksigen tetap tersedia, pemanasan global tidak bertambah, mencegah perubahan iklim, sehingga seluruh masyarakat Indonesia dan dunia menikmatinya tanpa harus bayar. “Apa perlakuan negara terhadap seseorang atau satu komunitas, yang menghasilkan eksternalitas positif, yang menikmatinya tidak harus bayar? Yaitu perlindungan terhadap kearifan mereka untuk menghasilkan eksternalitas itu, yang tidak ternilai,” jelas mantan salah satu pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) ini. Maka, lanjutnya, misalkan eksternalitas positif itu dinilai ekuivalen dengan perdagangan karbon, yang mendatangkan uang bagi Indonesia, itu sebenarnya punya Masyarakat Adat. “Inilah yang hilang dalam perspektif ini. Jadi tidak bisa dinilai dengan atribut pembangunan, modernisasi. Kalau dihitung pakai pembangunan, Masyarakat Adat adalah masyarakat yang terbelakang. Karena jumlah kilometer jalannya sedikit, ruas jalannya bagaimana, puskesmasnya bagaimana.” Ironisnya, kata Faisal, karena dianggap terbelakang, Masyarakat Adat seperti sah untuk direlokasi. Padahal, ruang hidupnya itu kemudian menjadi kegiatan perusahaan ekstraktif. “Jadi, ironis sekali, korporasi atau oligark melakukan apa yang namanya value extration. Ekstraksi saja, modal otot dan kekuasaan. Nggak modal otak. Sementara Masyarakat Adat melakukan namanya value creation. Menciptakan value yang dinikmati oleh orang banyak, tanpa orang banyak itu membayarnya.” “Kita harus melakukan afirmasi dan melindungi bagi mereka untuk menciptakan value creation,” tegasnya. Ia yakin jika diberikan kesempatan yang sama, Masyarakat Adat akan jauh lebih bisa memberikan maslahat, ketimbang korporasi yang lebih banyak menciptakan kerusakan daripada manfaatnya buat negara. “Penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam turun terus dari tahun ke tahun. Sudah nggak sampai 100 triliun. Karena apa? Proses ekstraksi yang menghasilkan nilai tambah sedikit, langsung jual. Keruk jual, tebang jual, petik jual.” Sedangkan Masyarakat Adat, apa yang ada dilingkungannya jadi bermanfaat ganda bagi manusia. “Lebih justifiable bagi kita untuk melakukan tindakan proaktif melindungi dan melakukan afirmasi terhadap mereka, untuk memastikan mereka semakin produktif dalam melakukan value creation, yang tidak mungkin kita lakukan.” **Budi Baskoro

Writer : Budi Baskoro | Kalimantan Tengah