Selama ini masyarakat adat sering disingkirkan dari wilayah dan hutannya karena alasan pembangunan. Tiba-tiba saja, perusahaan tambang atau kebun sawit, masuk ke wilayah warisan leluhur mereka dengan berbekal sertifikat izin dari pemerintah. Ini merupakan potret buruk pembangunan yang selalu mengedepankan investasi besar dan korporasi. Pernyataan tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, dalam webinar bertema Urgensi UU Masyarakat Adat dalam Perspektif Ekonomi dan Pembangunan, yang dihelat AMAN dan IPC (Indonesian Parliamentary Centre), Kamis (25/2/2021) sore. “Ini kompleksitas pembangunan Indonesia, ketika seluruh pembangunan hanya dilandaskan pada pembangunan ekonomi dan dianggap bahwa hanya perusahaan besar yang mampu membangun Indonesia,” ucap Rukka. Kata Rukka, situasi masyarakat adat itu makin terancam dengan disahkannya revis UU Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU Cipta Kerja pada 2020. Ia sebut UU Minerba hanya memerkuat kolonialisasi di masyarakat, dan UU Cipta kerja lebih pantas disebut sebagai UU karpet merah untuk investasi, perampasan tanah adat, kemiskinan masyarakat dan melanjutkan perbudakan. Padahal, lanjut dia, selama pandemi membuktikan, sektor ekonomi itu tidak mampu mengatasi krisis. “Ekonomi yang bertumpu pada kapital besar itu runtuh. Ternyata tidak cukup elastis untuk bisa digoncang oleh krisis. Yang terjadi di kota-kota, di tempat-tempat perusahaan, banyak sekali buruh-buruh yang kemudian dipecat. banyak sekali orang di kota yang menjadi homeless, bahkan tidak mampu untuk makan sehari-hari.” “Realitas yang terbalik adalah di wilayah-wilayah adat yang masih aman dari gangguan pemerintah dan perusahaan. Itu adalah justru menjadi tempat-tempat yang paling aman.” Valuasi ekonomi masyarakat adat Dalam webinar ini, Rukka menunjukkan valuasi ekonomi masyarakat adat yang seharusnya tidak diabaikan pemerintah. Ia membeberkan, pada 2018 AMAN bekerja sama dengan Universitas Indonesia, IPB University dan Universitas Padjajaran, menggelar studi valuasi di beberapa komunitas masyarakat adat. Hasilnya, Komunitas Adat Moi Kelim di Malaumkarta, Papua Barat, contohnya, punya total nilai ekonomi sebesar Rp156,39 miliar per tahun. Angka itu diperoleh dari produk sumber daya alam (SDA) seperti kayu, matoa, buah-buahan, umbi-umbian, hasil laut, sebesar Rp7,96 miliar per tahun, serta dari jasa lingkungan sebesar Rp148,43 miliar per tahun. Jasa lingkungan ini meliputi jasa lingkungan ini meliputi laut, sungai, pasir pantai dan pariwisata. Sementara di Komunitas Adat Kasepuhan Karang, Banten, dari produk SDA dan jasa, diperoleh angka sebesar Rp36,21 miliar per tahun. Di Komunitas adat Kallupini, Sulawesi Selatan, diperoleh nilai ekonomi Rp35,59 miliar per tahun. Komunitas adat Saureinu bisa menghasilkan angka hingga Rp34,38 miliar per tahun. Di Komunitas adat Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, nilainya mencapai Rp28,92 miliar per tahun, dan komunitas adat Seberuang, Sintang, Kalimantan Barat, punya nilai ekonomi sebesar Rp38,49 miliar per tahun. “Sekarang bolehkah pemerintah menunjukkan kepada kami berapa sih sesungguhnya pemasukan perusahaan terhadap PAD misalnya, terhadap kabupaten, provinsi di mana mereka ada?” tanya Rukka. Semua angka itu diperoleh melalui cara kerja masyarakat adat berdasarkan kearifan lokal dan prinsip pelestarian lingkungan yang berlaku di sana. “Ini adalah nilai ekonomi yang kita hitung hanya di permukaan. Dihitung dari SDA yang diakses langsung oleh masyarakat adat. Dan jasa ini belum memasukkan apa yang kita sebut (perdagangan) karbon. Karena waktu itu ada sensiftif orang berbicara karbon di internasional,” jelas perempuan asal Toraja ini. Ia menyebut perlindungan masyarakat adat merupakan investasi yang paling murah dan efektif. Selain itu, resiliensi masyarakat adat, juga memastikan resiliensi Indonesia dan global. Indonesia juga bisa menjadi champion di dunia internasional, seperti di bidang hak asasi manusia, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan SDGs (Sustainable Development Goals). Karena itu, ia mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sesuai dengan aspirasi dan realitas masyarakat adat. Ia memberi catatan draf UU yang ada saat ini masih ‘jauh panggang dari api’. Seharusnya, UU Masyarakat Adat harus mampu mengatasi sektoralisme, memberikan perlindungan dan pemajuan hak-hak perempuan adat, generasi muda, dan kelompok yang kurang beruntung. Ia juga mengingatkan, mekanisme pengakuan masyarakat adat harus murah dan efektif, legal dan legitimate (partisipatif). Ia menyarankan dibentuknya kelembagaan Komnas Masyarakat Adat untuk mengatasi sektoralisme dan jembatan untuk pembangunan indonesia bersama masyarakat adat. **Budi Baskoro

Writer : Budi Baskoro | Kalimantan Tengah