Lumbung Pangan Itu, Ada ditangan Masyarakat Adat
21 Februari 2021 Berita Eko RusdiantoAwal tahun 2020, ketika seluruh dunia, termasuk Indonesia dihantam pandemi Covid, saya mengurung diri di rumah. Mengikuti berita di saluran media, sambil menerka-nerka perjalanan hidup selanjutnya. Negara-negara dilanda kepanikan. Sekelompok orang yang memiliki uang memborong bahan makanan. Saya berdiskusi dengan istri mengenai kondisi ini. Kami menyimpulkan, pilihan terbaik tidak usah dulu berpergian jauh, tetap di rumah. Kami berbelanja pangan secukupnya. Dan saya jadi terkenang perjalanan ke berbagai pelosok di Sulawesi Selatan. Mengingat orang-orang yang hidup di wilayah Seko, Luwu Utara, di Malino, Gowa, atau di Bonto Cani, Bone. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tanah dan pekarangan yang penuh persediaan makanan. Punya kebun, sawah, padi dan aneka sayuran. Mereka memiliki lumbung pangan alam yang dirawat secara tekun agar terus menghasilkan bahan pangan dan kesehatan. Lalu, bagaimana dengan saya dan orang-orang yang kini hidup di kota? Dimana lumbung pangan kami? Sederhana menjawabya: ada di balik isi dompet dan rekening. Kalau tak punya? Itulah chaos yang terjadi. Orang-orang yang tinggal di kota, yang biasa mencari nafkah harian, pedagang, warung makanan, penjual jasa transportasi, tiba-tiba bingung mau makan apa karena tak dapat uang. Karena semua lockdown. Artinya, tingkat kerawanan menghadapi pandemik ini, ada di masyarakat perkotaan. Masyarakat modern yang hidup dari bisnis dan industri. Lalu, pada Juli 2020, daerah Luwu Utara dihantam banjir bandang yang ganas. Sebanyak 1.295 rumah ringsek dan rusak terbawa arus atau terkubur sedimen pasir. Orang-orang dari berbagai daerah berusaha memberi sumbangan. Relawan dan pasokan bahan makan berdatangan. Kejadian itu akhirnya membuat saya harus berani keluar rumah. Di tenda-tenda pengungsian di Luwu Utara, saya melihat karung-karung beras bantuan yang diberi cap aneka merek. Tapi, tunggu, di salah satu tenda saya menemukan beras dengan karung polos, tanpa cap. Aha, beras itu berasal dari Seko. Beras organik, tanpa pestisida, dengan aroma wangi yang khas. Seko primadona dalam hal kualitas beras di Sulawesi Selatan. Tapi Seko satu wilayah adat yang masih terisolasi. Untuk menjangkaunya harus mengeluarkan sewa ojek ratusan ribu. Lalu, bagaimana bagaimana mungkin tempat yang terisolir itu dapat memberikan bantuan, terutama makanan pokok?
Panen padi di Komunitas Masyarakat Adat Hono, Seko. Kab. Luwu Utara. Dok. Mahir Takaka
Dari rekaman arkeologi, Seko merupakan salah satu wilayah awal pemukiman manusia di Sulawesi. Garis kebudayaannya membentang dari Kalumpang, Seko, Rampi, hingga Bada. Pemukim pendatang awal inilah yang kemudian membentuk komunitas yang terampil mengolah lahan pertanian, membangun rumah dan beternak. Merekalah cikal-bakal masyarakat adat Seko saat ini, yang selalu surplus pangan. Mereka juga menciptakan tatanan sosial dengan aneka tradisi, memunculkan tokoh adat dan system kepercayaan spiritual. sistem ini kemudian turun temurun ke lapisan generasi dan bertahan. Di Kanpuaten Gowa, Muhlis Paraja, Ketua Pengurus Daerah AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Gowa. Ia menginisiasi gerakan anak muda untuk mengembangkan dan mempraktekkan kembali pengobatan tradisional, sebagai penopang kehidupan masyarakat dalam menghadapi pandemi. Mereka mendatangi 40 sandro yang masih ada untuk belajar meramu obat. Tentu saja, juga membudidayakan kembali tanaman-tanaman obat itu, untuk menjadi lumbung medis. “Kami yakin, pangan cukup tersedia. Tapi perut yang terjaga, tidak cukup tanpa kesehatan,” kata Muhlis. Muhlis bilang, pada masa lalu setiap rumah di Gowa memiliki, para’ lumbung tempat menyimpan beras yang ditempatkan di bagian atas plafon rumah. Setiap selesai panen, setiap orang akan mengangkat hasil panen itu ke para’, untuk kemudian menjadi tabungan. “Sekarang orang lebih suka membeli. Bagaimana jika petani tidak ada lagi, atau sebaliknya, lahan tidak ada lagi. Mau beli apa?,” lanjutnya. Akhir tahun 2020, setidaknya ada 165 perusahaan di Sulawesi Selatan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan merumahkan 8.272 karyawan karena dampak pandemi Covid-19. Pandemi memberi pukulan telak kepada seluruh lapisan masyarakat. Banyak orang pulang kampung karena kesulitan hidup di kota. “Beban desa akhirnya kembali bertambah. Saya kira yang paling penting, antar komunitas adat saling melakukan sharing, atau barter kebutuhan,” kata Muhlis. Ia yakin, masyarakat adat mampu menjaga kedaulatan pangan dan kesehatan.
Kebun tanaman obat-obatan yang dikelola oleh Pemuda Adat di Komunitas Adat Pattalasang, Kab. Gowa. Dok. PD AMAN Gowa
TAPI, tunggu dulu, tahun 2019 pemerintahan Presiden Joko Widodo mencanangkan program food estate (lumbung pangan). Rencana ini pertama akan dilakukan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, kemudian dilanjutkan di Papua, NTT, dan Sumatera Selatan. Ini karena data Kementerian Pertanian menyatakan 33,4 juta petani di Indonesia belum cukup mampu untuk menyediakan pangan bagi rakyat Indonesia. “Penyediaan pangan nasional agenda strategis yang harus kita lakukan, untuk antisipasi krisis pangan akibat Covid… Hal ini juga untuk antisipasi perubahan iklim, serta tak kalah penting, kurangi ketergantungan pada impor pangan. Ini penting,” kata Presiden Jokowi seperti dikutip dari video unggahan akun Sekretariat Presiden, 23 September 2019. Bagi pemerintahan saat ini, pangan menjadi sangat penting dan berkaitan dengan ketahanan strategis nasional. Karena itu, Kementerian Pertahanan dilibatkan menjadi salah satu koordinator pelaksanaan food estate. Dalam beberapa kajian, food estate kelak akan memanfaatkan beberapa lahan yang tak terpakai, atau ditinggalkan perusahaan. Di Kalimantan Tengah pemerintah akan memanfaatkan eks proyek lahan gambut (PLG) seluas 30.000 hektar di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas. Sebenarnya langkah ini pernah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Merauke, Papua, tahun 2010, dengan nama Integrated Food Energy Estate (MIFEE), dengan lahan seluas 1,3 juta hektar. Apa yang terjadi? Ternyata di lahan itu pemerintah memberikan aneka izin, mualai tanaman pangan, perkebunan tebu, hingga sawit, juga izin hutan tanaman industri pada 45 perusahaan. Apakah proyek food estate Presiden Joko Wododo akan berubah menjadi privatisasi perusahaan-perusahaan berskala besar yang mendapat hak istimewa seperti yang dilakukan Presiden SBY di Merauke? Takutnya. Di Sulawesi Selatan, gejala itu ada. Pada 6 Februari 2021, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memutuskan memberikan kepercayaan kepada Widodo Group untuk pengembangan agro industri. Gubernur Nurdin Abdullah menginginkan wilayahnya menjadi lumbung daging di Indonesia. Dan ia telah menyiapkan lahan seluas 5.000 hektar di Seko.
Hamparan padang sabana dan hewan ternak yang sedang merumput di Seko Tengah, Kab. Luwu Utara. Dok. Fachrudin/INFIS
Awal tahun 2019, ketika mengunjungi Seko, saya bertemu seorang peternak di Kampung Lodang. Kami menikmati angin perbukitan yang sejuk sambil menyaksikan ratusan ekor sapi dan kerbau miliknya yang merumput di padang di hadapan kami. Rencana Pemprov membuat pusat peternakan di Seko membuatnya gundah. Ia cemas padang ilalang yang terhampar luas di Seko, kelak akan menjadi hak privat perusahaan atau orang yang memiliki modal besar. “Kalau mereka melarang ternak warga masuk ke wilayahnya, bagaimana? Kami mau lepas ternak dimana? Ini kampung kami,” katanya. Ini sama dengan kecemasan Muhlis. “Beragam organisasi menginisiasi gerakan pulang kampung. Gerakan untuk mendekatkan kembali anak muda ke alam. Tapi jika kelak lahan-lahan dikuasai negara dan perusahaan, bagaimana?” keluhnya. Kegundahan Muhlis dan peternak di Kampung Lodang harus dipikirkan. Kelak irisan politik pangan food estate ada kemungkinan akan menghantam praktik hidup masyarakat adat, yang dengan sistem kehidupan dan kearifan dari leluhur yang telah berlangsung lama, bisa mempertahankan kedaulatan pangan dan kelestarian alam. Mungkin ini saatnya untuk bertanya: Apakah kelak masyarakat adat akan tumbang dihantam wabah, atau dilumat politik negara? Kedaulatan pangan itu sejatinya ada di tangan masyarakat adat. Mereka tak pernah kekurangan atau mengeluh. **Eko Rusdianto