Masyarakat Adat Sembalun dalam Cengkeraman HGU
09 November 2021 Berita Sendi AkramullahOleh Sendi Akramullah
Malam itu, Senin di awal November 2021, saya bersama sejumlah kawan menuju Sembalun untuk menyusuri jalan yang berkelok-kelok dan menanjak. Jalanan sangat sepi dan gelap. Kendaraan kami melaju pelan-pelan karena kami tidak terlalu tahu medan di sana. Beberapa kali kami hampir kecelakaan. Selama di perjalanan, kami sulit bernapas dengan tenang.
Sembalun terletak di kaki Gunung Rinjani, tepatnya di Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Timur (NTB). Setelah kurang lebih satu jam menanjak, kami masih harus bertaruh lagi dengan turunan yang tidak kalah ekstrim dengan tanjakan. Jika salah sedikit saja, maka mobil yang kami tumpangi bisa meluncur ke dalam jurang curam yang ada di sebelah kanan jalan.
“Tempat menginapnya di sana. Tidak jauh dari sini,” kata Pak Dan yang mengarahkan kami sambil menunjukkan jalan dengan mengendarai motor matic-nya. Kami mengkutinya dari belakang.
Tak berapa lama kemudian, kami tiba di tempat yang dituju.
“Silahkan masuk! Ini tempat kalian menginap. Empat tenda sudah disiapkan beserta selimut,” ucap seorang lelaki paruh baya berjenggot putih. Beliau menyambut kami dengan sangat ramah. Namanya Abdur Rahman Sembahulun, Ketua Kemangkuan Adat Tanaq Sembahulun.
Setelah kami memasukkan barang-barang ke tenda, kami duduk melingkar dan berdiskusi dengan Pak Abdur. Beliau adalah pula pemilik Pondok Pesantren Pertanian yang menjadi tempat kami menginap. Tujuan kami berkunjung memang sengaja untuk bertemu dengannya.
“Sekitar 270 hektar lahan warga rencananya akan diambil alih oleh perusahaan,” ungkapnya. “Itu lahan sudah kami garap jauh sebelum perusahaan datang ke Sembalun. Ada sekitar 800 kepala keluarga yang menggarap lahan di sana. Kalau perusahaan memaksa untuk ambil, kami akan berjuang untuk mempertahankannya.”
Abdur Rahman Sembahulun adalah satu dari sekian banyak warga Komunitas Masyarakat Adat Kemangkuan Adat Tanaq Sembahulun yang tinggal di Desa Sembalun Lawang. Mereka kini tengah berjuang mempertahankan lahan mereka yang diklaim atau dikuasai oleh PT Sembalun Kusuma Emas. Pihak perusahaan mengaku telah mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU) dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (KemATR/BPN).
Konflik Berkepanjangan
Menurut Darwate, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Sembalun, konflik atas wilayah adat di Sembalun sudah terjadi sejak 1989 ketika adanya pembebasan lahan oleh PT Sembalun Kusuma Emas dengan luas mencapai 555,56 hektar di kawasan Lendang Tinggi, Koaq, Dalam Petung, Urat Kemitan, Kebon, Aurketu, dan Kalik empit.
Darwate tengah menjelaskan asal-usul tanah yang kini ingin dikuasai oleh pihak perusahaan. Sumber foto: Dokumentasi Sendi Akramullah.
Darwate mengungkapkan bahwa waktu itu PT Sembalun Kusuma Emas mendapatkan Surat Keputusan (SK) HGU 183 hektar dari luas pembebasan keseluruhan untuk dijadikan lokasi pengembangan bawang putih. Kemudian, perusahaan melakukan pengeboran untuk mencari sumber air, namun tak ditemukan, sehingga perusahaan menelantarkan tanah tersebut.
Setelah tanah tersebut menganggur selama enam tahun, warga masuk untuk menggarap lahan tersebut pada 1996 bersama Kelompok Tani Sangkabira dan Pesantren Pertanian YAMI setelah sebelumnya mengirim surat ke PT Sembalun Kusuma Emas dan memohon izin kepada H. Mustiadi sebagai kepala desa pada saat itu. Masyarakat pun diizinkan untuk menggarap lahan terlantar tersebut.
Pada 2012-2013, PT Sembalun Kusuma Emas mengajukan izin HGU dan perpanjangan izin HGU kepada pemerintah setempat. Hal itu ditolak.
Tanggal 21 Oktober 2015, terjadi konflik dengan masyarkat penggarap yang dipicu oleh adanya pengukuran dan pemasangan tapal batas oleh pihak BPN. Saat itu, PT Sembalun Kusuma Emas menyampaikan kepada masyarakat bahwa pengukuran tersebut bertujuan untuk memperjelas pajak ke masing-masing desa karena dulu Desa Sembalun hanya satu, meski kini telah mekar menjadi tiga desa.
“Padahal, tujuan sesungguhnya dari pengukuran itu adalah untuk memenuhi persyaratan permohonan izin HGU,” lanjutnya.
Sebagai bentuk penolakan atas hal tersebut, pada 25 Oktober 2015, Masyarakat Adat mengirim surat penolakan terhadap pengkuran dan upaya pengambilalihan terhadap tanah ulayat tersebut kepada Menteri ATR/BPN kala itu sekaligus menuntut agar KemATR/BPN segera mengeluarkan legalitas bahwa tanah tersebut adalah hak ulayat Masyarakat Adat Tanaq Sembahulun.
Oleh karena itu, BPN mengundang Masyarakat Adat yang menjadi penggarap atas lahan tersebut untuk bertemu sebanyak 3 kali, yakni pada 20 Januari, 14 Maret, dan 20 Juni 2016. Pada ketiga pertemuan tersebut, Masyarakat Adat dengan tegas menolak, bahkan tiga kepala desa turut berdiri bersama Masyarakat Adat. Kemudian, pada pertemuan terakhir, pihak KemATR/BPN mengeluarkan pernyataan bahwa “sepanjang masih terjadi konflik” maka KemATR/BPN tidak akan berani mengeluarkan izin.
Menurut Darwate, sejak saat itu kasus ini sepi dan tidak pernah dibahas lagi. Namun, tiba-tiba terbit SK HGU pada 2021 sebanyak dua tahap, yaitu SK Nomor 00001/SK-HGU/ BPN 52 HP/III/2021 pada 12 Maret 2021 dan Nomor 00002/SK-HGU/BPN 52 HP/III/2021 pada 19 Maret 2021. Masing-masing memiliki luas 387.749 meter persegi dan 1.120.129 meter persegi.
“Kami terus melakukan penolakan,” katanya.
Pemerintah akhirnya menyediakan ruang untuk melakukan mediasi dengan membentuk tim yang beranggotakan sembilan orang, termasuk saya dan Abdur Rahman Sembahulun. Namun, meski kami berdua ikut dalam tim itu, kami tidak pernah dilibatkan dalam diskusi bersama anggota tim lainnya, kecuali hanya pada tanggal 8 Februari 2021, di mana kami berdua baru tahu kalau kami adalah anggota tim sembilan. Pada pertemuan itu, Sekretariat Daerah Kabupaten Lombok Timur menyampaikan tawaran PT Sembalun Kusuma Emas kepada Masyarakat Adat. Yaitu, dari jumlah tanah yang sudah digarap oleh warga seluas 270 hektar tersebut, dibagi menjadi dua bagian, mencakup 150 hektar kembali menjadi milik perusahaan dan 120 hektar menjadi bagian dari masyarakat.
Akan tetapi, Masyarakat Adat tetap tidak setuju. Alasannya sebetulnya sederhana, meski berimplikasi pada berbagai tantangan. Bahwa tanah tersebut adalah tanah adat atau tanah ulayat milik Masyarakat Adat secara turun temurun.
***
Penulis adalah staf Infokom AMAN Sumbawa.