Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang diselenggarakan oleh AMAN bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah berlangsung dengan sukses secara daring. Perayaan selama satu hari penuh pada 9 Agustus 2021 itu menghadirkan rangkaian acara, termasuk sarasehan serta beragam pentas seni lewat Panggung Budaya. Ratusan peserta dari berbagai daerah dan kalangan pun melebur lewat selebrasi tersebut. Mereka ikut bergembira sekaligus menegaskan dukungan atas perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia dan dunia.

Melalui tema “Masyarakat Adat dan Kebudayaannya: Perlawanan untuk Bumi,” HIMAS tahun ini diawali dengan pidato dari Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi dan Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid. Ada perspektif baru yang penting untuk direnungkan bersama di tengah pandemi lewat hal-hal yang disampaikan oleh keduanya.

Dunia Baru dan Perlawanan Menjaga Bumi

Perayaan HIMAS tahun ini merupakan yang kedua kalinya dirayakan di tengah pandemi. Secara khusus, Rukka menyampaikan rasa duka cita atas kepergian beberapa pemimpin AMAN serta keluarga, kerabat, kawan dekat, dan sanak saudara yang meninggal di tengah situasi krisis Covid-19. Ia juga mengawali pidatonya dengan mengutarakan sejarah lahirnya HIMAS di dunia dan menghubungkan tema HIMAS pada konteks Masyarakat Adat di Indonesia.

Rukka Sombolinggi menyampaikan pidato pada HIMAS 2021. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

“Tema ‘Masyarakat Adat dan Kebudayaan: Perlawanan untuk Bumi’ merupakan cermin situasi yang dialami oleh Masyarakat Adat,” ucapnya. “Bagi Masyarakat Adat, kebudayaan adalah jalan hidup berdasarkan sistem dan nilai warisan leluhur yang mengatur hubungan dengan alam sekitar, termasuk manusia, binatang, dan tumbuhan; hubungan dengan leluhur; dan hubungan dengan Sang Pencipta. Unsur-unsur kebudayaan berupa sistem bahasa, kekerabatan, hukum, kelembagaan adat, pangan, pengetahuan, praktik tradisional dan inovasinya, spiritualitas, religi, dan lainnya, tak bisa dipisahkan dan saling menguatkan. Satu rusak, maka semuanya perlahan akan rusak.”

Dari situ, Rukka melanjutkan posisi strategis Masyarakat Adat terhadap keberlangsungan lingkungan. Saat ini, diperkirakan populasi Masyarakat Adat secara global hanya sekitar lima persen. Meski begitu, Masyarakat Adat-lah yang selama ini melindungi 80 persen kekayaan biodiversitas bumi. Rukka mengutip suatu studi yang mengatakan bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran sebagai penjaga ekosistem terbaik yang tersisa di seluruh dunia.

“Itu menunjukkan udara segar yang kita hirup, tak terlepas dari kontribusi Masyarakat Adat yang masih menjaga alam demi umat manusia. Demikian juga kita lihat selama pandemi, ternyata kampung-kampung dan wilayah adat yang masih berdaulat atas wilayah adatnya, adalah tempat yang paling berkecukupan.” Selain memberlakukan kebijakan karantina wilayah adat, AMAN selama setahun terakhir ini juga gencar membangun gerakan kedaulatan pangan di tengah pandemi. Berbagai komunitas adat yang memiliki kelebihan pangan, berbagi dengan komunitas atau desa tetangga, bahkan mereka yang berada di kota. Rukka bilang, “Itu menunjukkan bahwa kebudayaan yang kuat dan utuh, menjamin keberlangsungan dan keberadaan bumi dan umat manusia.”

Berbagai pembelajaran sukses itu dapat kita lihat salah satunya pada Masyarakat Adat di Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ia mengibaratkan orang-orang Dayak Iban di sana selayaknya “penunjuk jalan.” Keutuhan Sungai Utik dalam menjaga kebudayaan dan wilayah adatnya, termasuk praktik musyawarah dan cara memandang hutan, menunjukkan bagaimana mereka tidak pernah menempatkan diri jauh lebih tinggi dari alam. Menurut Rukka, itu membuat mereka mampu mempertahankan wilayah adat meski digempur sedemikian rupa oleh invasi pertambangan dan perkebunan berskala besar. Selama pandemi, kehidupan di Sungai Utik hampir tak terpengaruh.

“Covid-19 mengingatkan kita bahwa kita harus kembali ke akar kita,” ucap perempuan berdarah Toraja tersebut. “Jadi, itu merefleksikan perjalanan kita, bukan hanya sebagai Masyarakat Adat, tapi bangsa Indonesia. Tahun lalu, kita serukan dan baca tanda zaman. Bahwa itu menunjukkan kegagalan sistem ekonomi kapitalis. Tempat-tempat yang dianggap menjadi kekuatan sistem ekonomi tersebut, yaitu daerah urban, menjadi tempat yang paling tidak aman di bawah kolong langit selama pandemi. Sementara wilayah adat yang masih menjaga sistem dan unsur kebudayaannya, menjadi tempat yang paling aman. Ritual, ramuan tradisional, pangan, musyawarah adat, serta kepemimpinan tetua dan pemimpin adat, adalah hal-hal yang membuat Masyarakat Adat bisa bertahan.”

Namun, Rukka juga tak lupa untuk mengutarakan berbagai tantangan yang menyertai situasi Masyarakat Adat, yaitu perampasan wilayah adat yang terus berlangsung. Ia menyinggung tentang kebun-kebun Orang Sakai di Riau, - Masyarakat Adat yang dikategorikan oleh AMAN sebagai yang terancam punah - baru-baru ini justru dihancurkan oleh buldoser perusahaan sesaat menjelang panen. Tantangan lain di masa krisis Covid-19, mencakup pula ketiadaan fasilitas kesehatan, pelayanan medis, transportasi, informasi, hingga akses vaksin bagi Masyarakat Adat.

“Ketika bicara kontrak sosial baru, banyak tantangannya,” lanjut Rukka. “Di tengah ketiadaan Undang-Undang (UU) Masyarakat Adat, kita digempur UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang digunakan sebagai instrumen hukum untuk meneguhkan perampasan wilayah adat.”

Lewat pidatonya, Rukka juga menegaskan bahwa apa yang dimiliki oleh Masyarakat Adat, termasuk wilayah adat dan kebudayaannya secara utuh, punya makna dan signifikansi bagi Masyarakat Adat dan seluruh dunia.

“Kita (Masyarakat Adat) menjaga bumi, bukan karena mau menikmatinya sendiri, tapi karena kita ingin mewariskannya pada generasi berikut dan berkontribusi besar terhadap seluruh umat manusia,” ucapnya.

Tatanan “Normal Baru”

Menyambung pidato yang disampaikan oleh Rukka, Hilmar Farid pun menaruh perhatian pada situasi Masyarakat Adat yang bervariasi.

“Ada daerah yang terjaga dan relatif baik karena kedaulatan, sehingga ada lockdown di tingkat lokal dan aturan dipatuhi,” kata Dirjen Kebudayaan RI itu. “Tapi, sebagian lagi tidak punya kemewahan itu. Kita tahu sebagian dari lahan Masyarakat Adat telah bersinggungan dengan perkebunan, pertambangan, dan kota. Irisan itu akan membatasi kemampuan Masyarakat Adat untuk menerapkan mekanisme kendali yang ada secara efektif.”

Hilmar Farid menyampaikan pidato pada HIMAS 2021. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Hilmar pun menyinggung tentang kearifan Masyarakat Adat dalam melihat dan mengatasi situasi krisis. Selain pemahaman terhadap konsep mengenai pandemi, - dengan beragam istilah lokal di banyak komunitas adat - menurutnya, ikatan sosial yang kuat, otoritas yang ditaati, dan pemahaman yang solid, menjadi bekal terbaik yang dimiliki oleh Masyarakat Adat.

“Itu yang dalam bahasa sekarang, kita sebut resiliensi atau ketahanan. Penting bagi kita untuk mendokumentasikan praktik yang muncul di berbagai tempat. Karena solusi pandemi, tidak tunggal. Tak ada solusi mutlak yang berlaku sama untuk semua. Konteks lokal sangat penting,” ungkapnya.

Hilmar melihat adanya kesadaran yang berkembang selama pandemi untuk menghubungkannya pada refleksi perilaku manusia dalam berelasi dengan alam yang telah melampaui batas. Ia menyoroti tentang perubahan iklim dan kerusakan ekosistem.

“Saya kira, keanekaragaman hayati itu adalah syarat tegaknya ekosistem,” sambung Hilmar. “Ketika manusia lakukan intervensi secara besar, maka terjadi perubahan mendasar. Mengapa kita bisa begitu ceroboh menghabisi ekosistem dan melahirkan sistem yang rentan pada penyakit seperti ini? Karena kebodohan, ketidaktahuan, kesombongan, keserakahan? Selama puluhan tahun, semua sikap itu membawa kita pada situasi yang ada ini…. Sudah lama kita bicara soal pentingnya lingkungan, tapi diabaikan. Kini, kita rasakan akibatnya secara serius.”

Perubahan fundamental yang dimaksud itu, adalah pentingnya kita menaruh perhatian pada lingkungan. Menurutnya, tatanan “normal baru” yang didengung-dengungkan banyak kalangan, sepatutnya bersandar pada kearifan lokal yang telah terbukti ampuh menghadapi situasi ini.

“Normal baru bukan konsep abstrak yang disusun perencana yang jauh dari kenyataan, tapi disusun dari praktik di bawah. Normal baru ini dihidupi filosofi bahwa manusia adalah bagian dari alam dan tak boleh tenggelam dalam keangkuhan, keserakahan, dan kesombongan,” tegas Hilmar. Menurutnya, tak ada tempat terbaik untuk mempelajari tentang gagasan itu, melainkan pada Masyarakat adat.

Pidato yang disampaikan oleh Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi dan Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid, disusul dengan sarasehan yang menghadirkan Dolorosa Sinaga (pematung), Mardiana Derendana (perempuan adat dari Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah), dan Torianus Kalami (pelestari budaya dari Moi Kelim di Papua Barat). Pada sarasehan yang dipandu oleh Abdon Nababan (Dewan AMAN Nasional), pesan perlawanan menjaga bumi diutarakan dengan menegaskan keterhubungan ritual, seni, dan berbagai unsur kebudayaan dalam menjaga harmoni dan keterhubungan dengan banyak hal.

“Ritual adat bukan berarti menyembah setan. Tapi kita (Masyarakat Adat) menyampaikan ucapan rasa syukur kepada penjaga bumi,” ungkap Mardiana. Perempuan adat paruh baya itu telah berjuang melawan perampasan tanah di wilayah adatnya. Ia pernah melawan perusahaan perkebunan dengan berbagai protes di Barito Timur. Kini, perjuangannya terus berlanjut, di mana ia lebih banyak melakukan perlawanan dengan cara-cara yang diturunkan leluhurnya, terutama seni dan budaya.

Sementara di Papua Barat, Torianus Kalami punya cara lain dengan menggerakkan para pemuda adat. Tepatnya di Malaumkarta, ia dan anak-anak muda aktif melakukan upaya revitalisasi budaya, pendidikan adat, dan pemetaan partisipatif.

“Kami mengorganisir anak-anak muda dan berproses membuat peta wilayah adat. Dan itu termasuk pemetaan budaya,” ucap pria yang pernah menjadi Anggota DPRD Kabupaten Sorong tersebut. Di kampung-kampung, kearifan sasi (larangan untuk mengambil sumber daya pada masa tertentu) sebagai bagian penting dalam tata kelola lingkungan, ia perkuat untuk melestarikan laut dan hutan. “Tanah ini bukan untuk orang tua lagi! Sehingga, suka tidak suka, harus melibatkan anak muda karena ini tanah untuk generasi ke depan.”

Pematung dan akademisi di bidang kebudayaan, Dolorosa Sinaga pun berbagi pandangannya dalam melihat dan mengembangkan kebudayaan untuk menjaga bumi. “Kita ini warisan Masyarakat Adat. Kita memiliki DNA-nya. Masyarakat Adat memiliki kekuatan untuk bertahan,” ucap perempuan kelahiran Sibolga, Sumatera Utara itu. Menurutnya, berangkat dari kenyataan tersebut, - dengan asal-usul dan keberadaan Masyarakat Adat - seharusnya negara ini punya daya tahan yang kuat, bukan malah menghisap.

Dolorosa Sinaga memang kerap menghadirkan perenungan dan refleksi atas perjuangan hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia lewat karya-karyanya. Tak jarang, ia sendiri banyak terlibat dalam berbagai gerakan sosial.

“Perjuangan kita adalah perjuangan HAM, kredo utamanya adalah penghormatan atas kemanusiaan dan kehidupan,” katanya. Ia berkomentar kalau kita tak perlu mengajari Masyarakat Adat dalam memelihara dan merawat lingkungan. “Mereka sendiri melindungi hutan dan sungai sebab kehidupan mereka tergantung dengan alam dan lingkungannya. Tak mungkin mereka merusak tempat mereka menggantungkan hidupnya.”

Saat ini, AMAN mencatat terdapat sekitar 40 juta hektar hutan dengan kondisi terbaik yang masih dipertahankan oleh Masyarakat Adat. Di tengah berbagai tekanan atas perampasan wilayah adat melalui izin-izin pertambangan, perkebunan, dan berbagai proyek infrastruktur, Masyarakat Adat bertahan untuk terus menyelamatkan yang tersisa itu.

Di tengah-tengah paparannya, Dolorosa mengatakan potret ironis Indonesia, “Negara ini tak bisa kita katakan melindungi Masyarakat Adat. Apakah pernah terbukti mereka (negara) menjalankan kewajiban tugasnya melindungi Masyarakat Adat dalam perampasan tanah? Tak pernah terjadi karena yang merampas itu mereka.”

Menurutnya, tekanan-tekanan perlu terus dilakukan untuk mengubah pandangan negara terhadap Masyarakat adat.

***

Writer : Nurdiyansah Dalidjo | Jakarta